Oleh : Bastian Zulyeno
Staf Pengajar Prodi Arab FIB-UI

Pulau Penyengat adalah salah satu destinasi wisata bagi Provinsi Kepulauan Riau.Setiap Sabtu-Ahad, kecuali bulan Ramadan, Penduduk Tanjung Pinang dan sekitarnya, berziarah ke makam Raja Ali Haji (1808-1873), Raja Haji Fisabilillah (1725-1784), dan bebebrapa makam lainnya. Para peneliti dan mahasiswa dari Malaysia, Singapura, Brunei, dan Pattani, rutin pula dalam setiap semester mengadadakan kunjungan wisata edukasi kesana.

Raja Ali Haji dan Raja Haji Fisabilillah, keduanya diangkat pahlawan nasional. Jika Raja Haji Fisabilillah lantaran perlawanannya menentang pasukan Belanda dalam perang Teluk Ketapang, Raja Ali Haji ditempatkan sebagai salah seorang pujangga besar Melayu. Abdul Hadi WM menyebutnya sebagai Bapak Bahasa. Ia dianggap sebagai pelopor [penulisan sejarah lewat mahakarya Tufat Al-Nafis, Orang pribumi pertama yang menyusun kamus monolingual, menawarkan kelas kata dalam tata Bahasa melayu, dan berhasil memperkenalkan model puisi (baru( yang bukan pantun, bukan pula bidal. Ia menyebutnya gurindam. Karyanya Gurindam Dua Belas, sampai kini terus menjadi bahan kajian para peneliti dalam dan luar negeri. Naskah aslinya masih terawat dengan baik di Perpustakaan Nasional.

Jika ditelusuri lebih jauh situasi gerakan literasi pada masa itu, kita akan sampai pada bukti autentik berupa naskah-naskah yang dihasilkan para penulis Melayu. penemuan itu didukung oleh adanya bangunan bersejarah peninggalan masa lalu yang kini tinggal puing-puingnya belaka. Pada 1894, misalnya, di Pulau Penyengat berdiri percetakan dan penerbitan pertama milik pribumi, yaitu Mathba’at al Riawiyah dan Mathbaat al Ahmadiah.

Adanya percetakan dan penerbitan itu mendorong berlahirannya para penulis produktif dari kalangan elite istana. Pulau Penyengat menjadi pusat keilmuan dan aktivitas intelektual dunia Melayu. Puncaknya terjadi lewat gerakan literasi kaum intelektual yang terhimpun dalam “Rusydiah Klab”, Sebuah institusi cerdik-cerdikia independen yang syarat penerima keanggotaannya harus sudah pernah menghasilkan buku. Menurut beberapa sumber, yang tercatat menjadi anggota institusi ini, antara lain Raja ALi HAji, syekh Al-Hadi (Melayu), dan Haji Hasan Mustapa (Sunda). Al-Hadi kemudian mendirikan majalah al-Iman di Singapura dan menjadi perintis penulisan novel Modern di Semenanjung Melayu. Sementara itu, Hasan Mustapa kembali ke tataran Pasundan mengembangkan kariernya sebagai penulis dan penerjemah Sunda.

Menurut beberapa katalogus, diantaranya Juynbell (1899), van Ronkel (1909 dan 1921), Amir Sutaarga (1972), Ricklefs dan Voorhoeve (1977), dan UU Hamidy (1985), naskah-naskah dari Pulau Penyengat ini tersebar di mancanegara, diantaranya Indonesia, Belanda, Inggris, dan India. Di Indonesia sendiri, selain di Perpustakaan Nasional, naskah-naskah Pulau Penyengat masih tersimpan dan dirawat oleh keturunan kerajaan Riau-Lingga, sampai kini masih setia menjaga dan memelihara naskah-naskah Pulau Penyengat.

Dari kediaman Raja Malik inilah kami memulai penelusuran naskah-naskah tersebut. Rumah panggung yang berdiri di atas bibir pelantar dermaga Pulau Penyengat, Raja Malik menyimpan rapi dalam kotak plastik ratusan koleksi naskah kuno. Raja Malik yang juga ketua Yayasan Indera Sakti, menuturkan, selama ini naskah-naskah ini tersimpan di kantor Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat, tetapi karena saat ini bangunan yayasan sedang direnovasi, untuk sementara koleksi naskah diamankan dirumahnya.

Kondisi Bangunan kantor yayasan tempat menyimpan koleksi naskah itu memang memprihatikan. Kontras dengan nilai-nilai kekayaan sejarah yang melekat pada keberadaan naskah-naskah itu sebagai bukti tajamnya pena para cendikiawan Melayu. Guru besar linguistik, Harimurti Kridalaksana dalam bukunya Bustanulkatibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa : Sumbangan Raja Ali Haji dalam Ilmu bahasa Melayu (1983) menyebutkan, kitab Bustanul Katibin memuat penjelasan Raja Ali Haji mengenai pembagian kelas kata, yang bersumber pada pembagian kelas kata bahasa Arab.

Seperti Kasidah Burdah, Raja Ali Haji juga menulis naskah Syair Sinar Gemala Mestika aLam. Isinya berupa pujian kepada Nabi Muhammad saw. Dalam Khazanah sastra Melayu klasik, puja-puji dan doa pengangungan kepada Nabi Muhammad saw, lazimnya ditulis dalam bentuk hikayat. Raja Ali Haji justru menulisnya dalam bentuk syair. Sejauh pengamatan, boleh jadi Syair Sinar Gemala Mestika Alam merupakan syair satu-satunya yang berisi tentang pujian kepada Nabi Muhammad. Penulis Gurindam Dua Belas ini adalah salah satu model cendikiawan Melayu, dimana cendikiawan biasanya juga penyair. Tipologi cendikiawan seperti ini juga yang kerap menghiasi zaman keemasan Islam jadi parameter keilmuan, sebut saja Ibnu Sina (980-1037) yang setengah dari karyanya dalam bentuk puisi dan Umar Khayyam (1048-1131) Astronom dan matematikawan juga meninggalkan karya dalam bentuk syair “Rubaiyyat Khayyam”.

Sebuah naskah berjudul Perjalanan Istinthaq setebal 36 halaman berisi tentang astronomi. Ada semacam kajian ilmu falak disertai gambar dan simbol-simbol. Yang menarik dari naskah itu selain deskripsi tentang astronomi yang mengisyaratkan pemahaman yang baik penulisannya atas dunia perbintangan dan ilmu falak, juga dalam setiap pasalnya, diawali dahulu dengan semacam keterangan yang disusun dalam bentuk syair berirama.

Ada juga naskah tentang perobatan herbal Melayu, rajah, syair madah, pelipur lara, surat wasiat, adab dan hukum Islam, doa dan firasat, silsilah raja, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan bahasa, dan ramalan. Terdapat juga beberapa hikayat dan Persia yang diterjemahkan dan dinarasikan ke dalam versi Melayu. Sebagian besar naskah itu ditulis dalam bentuk syair. Sebutlah diantaranya, Hikayat Syahinsyah, Hikayat Pahlawan Farhad, dan Hikayat Ali Syaar.

Diantara sejumlah naskah yang berisi tentang berbagai ilmu pengetahuan, terselip satu naskah berjudul Kitab Perhimpunan Gunawan. Naskah ini ditulis Raja Hakim, generasi kedua setelah Raja Ali Haji, seorang hakim kerajaan yang sangat disegani karena ketawaduan dan pengetahuannya yang mumpuni dalam ilmu agama. Lalu, apa isi naskah Kitab Perhimpunan Gunawan itu? Naskah itu berisi sejumlah gambar yang menjelskan secara cukup terperinci tentang gambar-gambar itu.

Ternyata isi naskah itu semacam Kamasutra versi Melayu. Jika mencermati karya para peneliti sastra melayu, seperti Braginsky, Liaw Yock Fang, Teuku Iskandar, Amin Sweeney, dan entah siapa lagi, yang tidak ada satu pun yang menyinggung Kamasutra, maka boleh jadi, naskah ini satu-satunya Kamasutra versi Melayu.

Melihat bukti akan kejayaan intelektual Melayu masa lalu, dapat dipahami jika Raja Ali Haji dalam pembukaan Kitab Bustanul Katibin (1857) menulis sebait syair berbahasa Persia yang terjemahannya bermakna : Berkata pena aku adalah raja dunia/Yang menggunakanku kan kubawa keberintungan/ Bila dia sial maka aku bukan darinya tapi menjadi bernilai dan kubawa kepada keberuntungan MAksudnya : sesial-sialnya orang yang menulis (dan membaca) buku, ia tetaplah akan beroleh keberuntungan.

Pulau Penyengat dengan segala kekayaan naskah dan sejarah masa lalunya, mestinya menjadi situs kebanggaan nasional. Oleh karena itu, patut dipertimbangkan usaha melakukan pemugaran bangunan-bangunan bersejarah disana.

Sumber : Harian Republika edisi Minggu, 29 Juli 2019

Artikel SebelumTapak Pabrik Sagu Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883)
Artikel BerikutMenyelamatkan Cagar Budaya di Kepri

Tinggalkan Balasan