Lokasi Makam Sultan Abdul Rahman Syah (1812 – 1832).

Penulis : Zaid, ST
Pranata Humas Kementerian Agama Kabupaten Lingga

Sultan Abdul Rahman Syah (1812-1832) dianggap Sultan Lingga yang paling perhatian pada bidang agama. Beliau sangat alim dan taat beribadah. Semasa kepemimpinan beliau, semangat dan semarak kehidupan beragama di Kerajaan Lingga berlangsung dengan baik.

Menurut keterangan Tuan Lazuardy Bin Oesman, seorang ahli cagar budaya asal Kabupaten Lingga menyebutkan kalau Sultan Abdul Rahman Syah (1812-1832) merupakan Sultan yang sangat perhatian di bidang agama. Sehingga beliau sangat disegani dan dihormati oleh rakyatnya.

Adapun salah satu yang menjadi perhatian beliau semasa kepemimpinannya adalah semarak riuh rendah ketika akan menyambut Idul Adha atau Idul Qurban. Sultan sangat detail dalam pelaksanaan Qurban, yakni mulai anjuran berqurban kepada para saudagar dan kerabat istana, pemilihan hewan, lokasi penyembelihan, tata cara penyembelihan hingga pendistribusian. Sultan ingin seluruh rakyatnya bisa merasakan riuh rendah berqurban.

Menurut sumber lisan menyebutkan bahwa hewan qurban, yakni lembu dan kambing. Awalnya lembu dan kambing ini di datangkan dari luar Lingga. Di masa itu, jarang orang beternak lembu. Namun, seiring berjalannya waktu, atas perintah Sultan lembu dan kambing diternak dan dikembangbiakkan oleh rakyat. Makanya, ada muncul sebutan Padang Lembu, Tenaga Lembu di Daik.

Paling menarik pada bagian ini adalah terkait lokasi penyembelihan. Sultan menganjurkan di tanah lapang. Selain di tanah lapang, mungkin juga di tanah lapang sekitar istana. Ada sumber menyebutkan pemotongan dilaksanakan di alun-alun Kota Parit tempat istana semasa Ayahndanya, yaitu Lapangan Hang Tuah sekarang. Atau ada juga yang menyebutkan di Istana Dalam berlokasi di Pangkalan Kenanga.

Hal ini menunjukkan bahwa Sultan ingin seluruh rakyat ingin membaur bersama-sama. Selain itu juga, kalau kita lihat apa yang dilaksanakan Sultan saat itu adalah sebuah keputusan yang sangat cerdik. Mengapa pemotongan tidak dilaksanakan di masjid atau seputaran masjid?, Karena pertimbangan sisa kotoran dan darah hewan qurban yang akan membusuk jika tidak dibersihkan dengan sempurna. Apalagi jika musim panas sehingga bisa mengganggu penciuman jamaah ketika melaksanakan sholat lima waktu. Jika petugas kebersihan masjid/surau tidak sigap dan hanya membersihkan sisa darah dan kotoran ala kadarnya, maka dipastikan selama 3 (bulan) bau tidak enak akan menggangu penciuman bagi jamaah yang sholat di masjid/surau tersebut.

Selain itu, jika pemotongan dilaksanakan di lingkungan masjid dan hewan yang dipotong lebih dari 1 (satu) ekor dipastikan waktu pembersihan, pengulitan dan pembagian daging akan sangat panjang. Dipastikan ketika masuk waktu sholat masih ada yang bekerja. Tentunya kondisi ini tidak enak dipandang dan memberikan contoh yang kurang baik. Memang sebaiknya di lapangan, sehingga ketika masuk waktu sholat, jamaah yang ada di masjid tidak terusik dan terganggu.

Lalu bagaimana dengan tatacara penyembelihan? Sultan yang menunjuk dan menentukan. Pastinya bukan orang sembarangan. Tentunya, Sultan memilih orang alim (berilmu) pilihan beliau untuk mengeksekusi hewan sembelihan. Seorang penyembelih harus sudah memiliki pengetahuan yang cukup soal bagaimana menyembelih tanpa ada rasa membunuh.

Menyembelih dan membunuh adalah dua kondisi yang sangat jauh berbeda. Mulai dari pemilihan pisau qurban, teknik menumbangkan, hingga penyembelihan tentu harus dikuasai oleh seorang penyembelih. Hewan Qurban pun mati dengan tanpa siksaan. Karena yang dilakukan adalah dalam rangka ibadah kepada Sang Khaliq. Jadi, pisau qurban harus benar-benar tajam sehingga tidak menyiksa kondisi hewan qurban.

Usai pemotongan, yang terkadang sering disepelekan adalah adab dalam menyiang dan menguliti hewan qurban. Sultan tidak mau sembarangan artinya para pembantu penyembelih harus punya adab dalam bekerja. Mereka harus menutup aurat karena semua proses masih dalam satu rangkaian ibadah. Bukan soal cepat atau lambat selesai penyembelihan dan penyiangan hewan qurban tapi lebih kepada adab dalam beribadah.

Setelah seluruh daging qurban terkumpul, tentunya dibagikan sesuai dengan ketentuan syariat, yaitu dibagi 3 bagian. Sepertiga untuk yang berqurban, sepertiga untuk dihadiahkan dan sepertiga lagi untuk dimasak dan dimakan bersama.

Di zaman dulu, wadah yang digunakan mendistibusikan daging adalah menggunakan daun yang lebar atau piring dari tanah. Tidak ada yang menggunakan kantong plastik seperti saat ini. Selain belum ada kantong plastic saat itu tapi juga kurang baik bagi kesehatan pengkonsumsi. Dulu daging langsung habis dibagikan pada hari pelaksanaan qurban, yaitu 10, 11,12,13 Zulhijjah. Kenapa demikian? Karena di zaman itu belum ada teknologi pengawet berupa pendingin dan pengalengan. Adapun solusi saat itu adalah dengan cara merebus daging hingga matang agar tidak busuk untuk dibagikan kepada sanak famili yang agak jauh.

Hal ini menunjukkan kalau Sultan di masa itu, bukanlah orang biasa-biasa saja dan hidup tanpa ilmu. Justru di masa itu, Sultan memiliki hubungan yang kuat dengan ulama sebagai penasehat atau guru agama yang selalu membersamai beliau. Tunjuk ajar dari tuan guru tentu menjadi pedoman dan panduan dalam menjalankan kehidupan. Apapun yang beliau anjurkan kepada rakyatnya, barang tentu sudah dikonsultasikan dengan ulama kerajaan, khususnya yang berkaitan dengan tradisi dan budaya. Ulama di saat itu merupakan orang yang tidak punya kepentingan apapun kecuali sebagai bentuk pengabdian kepada Sultan dan beribadah kepada Allah SWT.

Momen Idul Qurban 1440 H, mari segenap masyarakat yang tergolong mampu mengeluarkan hartanya untuk ikut andil dan berbagi terhadap sesama. Wabil khusus para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki penghasilan tetap setiap bulan. Hal ini perlu adanya himbauan ataupun anjuran dari pimpinan, mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah, RT/RW untuk bersama-sama mengajak PNS, pengusaha atau warganya yang mampu untuk menyemarakkan Idul Qurban dengan melaksanakan penyembelihan hewan qurban di mulai dari lingkungan kantor hingga desa-desa dan sudut kampung.

Membaca dari ulasan di atas, memang dianjurkan agar pelaksanaan penyembelihan tidak di lingkungan masjid/surau. Hal ini tentunya untuk menjaga kebersihan tempat ibadah dari najis dan kotoran. Boleh saja di sekitaran masjid/surau tapi harus dipastikan betul-betul pasca pemotongan tidak ada sedikit pun najis atau kotoran yang tertinggal maupun berbekas. Efeknya sangat buruk sekali bagi penciuman jamaah, jika sisa kotoran tidak dibersihkan ataupun ditanam.

Cari dan tunjuklah penyembelih yang berpengalaman dan berilmu. Ingat juga, para pembantu yang ikut menguliti hewan qurban harus menutup aurat. Pembagian daging qurban harus sesuai dengan ketentuan syariat dan tidak istilah kepala hewan yang sudah dipotong menjadi milik penyembelih sebagai upah potong.

Mari kita tiru semangat Sultan Abdul Rahman Syah (1812-1832) dalam pelaksanaan Idul Qurban. Sehingga syiarnya sampai ke seluruh penjuru Negeri. Kita kirimkan Al Fatihah untuk almarhum yang dimakamkan di Bukit Cengkih Daik Lingga.

Artikel SebelumKitab Nūr al-Salāh Karya Tengku Muhammad Saleh (1901-1966): Internalisasi “Salat” Perspektif Tradisi Melayu
Artikel BerikutTapak Pabrik Sagu Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883)

1 KOMENTAR

  1. As.wr.wb, terlalu berlebihan cerite tentang Sultan tu sdre,……masak ye Sultan nengato sampai ke soal Qurban………Numpang Nanye Ape Gunenye ade MUFTI di Istane . Kalau semue hal dipekekan Sultan Pecah Kepale Hotak Die………dan tak gunelah Ade Mangku Bumi, Temenggong, Laksemane, Mufti dllnye.

Tinggalkan Balasan