Suasana pembacaan Barzanji pada sebuah surau di Kampung Tande, Daik-Lingga. Foto: aswandi)

Perayaan Maulud atau Maulid Nabi sempena memperingati tarikh kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. pada setiap tangga 12 Rabiulawal dalam kalender hijriah, telah dirayakan umat Islam sejak abad ke 7 Hijriah atau sejak sekitar tahun 1300 Miladiah. Konon, perayaan Maulud itu bermula di Irak, lalu menyebar keseluruh dunia Islam, termasuk ke Alam Melayu di Nusantara ini.

Dalam perjalanan sejarahnya, perayaan Maulud yang esensinya adalah untuk memuliakan Nabi akhirulzaman itu telah berkembang sedemikian rupa. Menciptakan beragam kekayaan intelektual, seni, dan budaya ‘baru’, yang berbancuh dengan warna-warna kebudayaan setempat. Di pusat kebudayaan Jawa (di Yograkarta dan Surakarta) umpamanya, perayaan Maulud telah melahirkan tradisi Sekaten atau Grebeg Maulud yang sangat terkenal. Dulu, dan juga hingga kini, orang Melayu masih merayakan Maulud Nabi dengan Kenduri Maulud yang telah beradaptasi dengan semangat zamannya.

Selain telah menciptakan mozaik dan warna-warna dalam kebudyaan, perayaan yang telah berusia tujuh ratus tahun lebih itu telah juga memberikan sumbangan tidak kecil dalam mengilhami lahirnya karya-karya sastra yang berharga dalam khazanah sastra bernafaskan Islam di Alam Melayu.

***

Perayaan Maulud di Madinah (kota tempat Nabi Muhammad S.A.W. dilahirkan pada tahun 632 Miladiah), telah mengilhami ulama dan sekaligus imam Masjid Nabawi (masjid peninggalan Nabi S.A.W.) yang terkenal, Jaʿfar bin Ḥasan bin ʿAbd al-Karīm bin al-Sayyid Muḥammad bin ʿAbd al-Rasūl al-Barzanjī (1690-1766) menulis sebuah kitab do’a dan sejarah Nabi S.A.W  yang digubah dalam bentuk syair berjudul ‘Iqd al-Jawahir (KalungPermata), sebuah kitab yang dipandang sebagai sebuah karya sastra yang penting dalam khazanah tradisi tulis Islam.

Di Alam Melayu, kitab ini paling dikenal ketimbang ketab-kitab Maulud yang lain, dan dikenal luas sebagai kitab Maulud al-Barzanji atau kitab Barzanji: sebuah nama yang diberikanbersempena nama keluarga dan nama negeri asal leluhur penulisnya (Jaʿfar al-Barzanji), yakni sebuah negeri bernam Barzinji, yang terletak bagian Selatan Kurdistan.

Menurut Martin Van Bruinessen (1995: 89), arti penting dan ‘kadar pluralitas’ kitab Barzanji ini di Alam Melayu (Nusantara) berada di bawah Al-Qura’an. Kitab ini tidak hanya dibacakan pada perayaan Maulud Nabi setiap tanggal 12 Rabiulawal, tapi juga pada banyak upacara yang lain, seperti aqiqah, upacara potong rambut bayi, atau dalam wirid-wirid berjamaah yang dilakukan secara rutin: “Barangkali tidak ada orang Islam di Nusantara (Alam Melayu) yang tidak pernah menghadiri kenduri dan pembacaan Barzanji paling sedikit sekali dalam hidupnya” tulis Bruinessen.

***

Arti penting dan popularitas kitab karya Jaʿfar bin Ḥasan al-Barzaji ini di Alam Melayu juga tergambar pula dari banyaknya karya-karya adaptasi atas Kitab Barzanji ini oleh sejumlah ulama yang terkenal di Alam Melayu. Paling tidak, hingga kini, telah dikenal pasti 24 karya yang merupaka hasil adaptasi atas kitab’Iqd al-Jawahir atau kitab Bazanji tersebut. Di Pulau Jawa saja, umpamanya, terdapat kitab berjudul Madarij Su’ud Ila Iktisah Al-Burud karya Muhammad Nawawidari Baten, danBadr al-Daji Fi Tarjamam Maulud Al-Barzanji  karya M. Mizan Asrari Zain Muhammad dari Rembang.

***

Sekitar seratus tahun setelah Jaʿfar bin Ḥasan al-Barzanji wafat di Madinah, Raja Ali Haji di Pulau Penyengat menulis pula sebuah syair tentang Maulud Nabi Muhammad S.A.W. Syair yang disebut oleh Hasan Junus sebagai sebuah ‘nyanyian angsa’ (atau karya terakhir seorang penulis) ini dirampungkan oleh Raja Ali Haji menjelang beliau wafat pada tahun 1873. Syair Maulud Nabi karya Raja Ali Haji tersebut sesungguhnya adalah sebuah hasil adaptasi kreatif atas kitab al-Barzanji dan variannya, seperti Syarf al-Anam.

Syair yang diterbitkan dalam format cetak typogrphyoleh Mathba’ah al-Riauwiyah Pulau Penyengat ini selesai dicetak pada 28 Syakban1313 Hijriah bersaman dengan 5 Maret1894 Miladiah atas usaha Said Ali bin Ahmad al-Attas, yang menjabat sebagai kepala Mathba’ah (percetakan) milik Kerajaan Riau-Lingga di Pulau Penyengat ketika itu. Judul lengkapnya  adalah: Bahwa Inilah Syair Yang Bernama Sinar Gemala Mestika Alam  Terhias di Dalamnya Kisah Maulud al-Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam Yang Amat Indah Ceteranya.

Narasi syair pendek tentang Maulud Nabi ini berisikan kisah-kasahyang bemula sejak Nabi Muhammad S.A.W. masih dalam kandungan hingga diangkat menjadi nabi dan rasul, tentang keelokan budi dan tingkah-laku semasa hidupnya, sehinggalah kepada waktu wafatnya. Seluruh isi syair ini dibagi dalam delapan penggal atau pasal yang diawali dengan sembilan belas bait pengantar atau pembuka, dan diakhiri dengan penutup yang behiaskan untaian do’a yang dimelayukan (doa’a dalam bahasa Arab yang diterjemahkan kedalam bahasa Melayu).

Dalam bait-bait penutup yang berhiaskan do’a yang dimelayukan itu, jelas disebutkan bahwa kisah al-Nabi Rasul yang seksama ini diterbitkan dalam bahasa Melayu agar kisah Maulud yang biasanya dinazamkan menggunakan bahasa Arab pada setiap perayaan Maulud Nabi dapat dipahami dengan mudah oleh orang awam.

Bahasa Melayu disyairkan sudah

Sekalian kita tidaklah gundah

Mencari pahamnya jadilah mudah

Tiada panjang tunduk tengadah

Di Pulau Penyengat pada masa lalu, pengaruh dan daya pikat kitab Barzanji karya Jaʿfar bin Ḥasan al-Barzanji  tidak berhenti pada zaman Raja Ali Haji saja. Seorang pengarang penerus Raja Ali Haji, yang bernama Raja Muhammad Sa’id bin Raja Muhammad Tahir, juga dicatat pernah menterjemahkanBarzanjikarya Jaʿfar bin Ḥasan al-Barzanjikedalam bahasa Melayu.

Terjemahan pertama kitab al-Barzanji kedalam bahasa Melayu yang dihasilkan Raja Muhammad Sa’id ini berupa sebuah syair yang diberi judul Gubahan Pertama Mutia, dengan judul imbuhan Bacaan Maulid Nabi AslinyaIkddul Zauhar [‘Iqd al-Jawahar]fi Maulid al-Nabi al-Azhar. Hasan Junus menyebut syair yang dicetak secara lithography di Pulau Penyengat pada tahun 1909 ini sebagai ‘saudara kembar’ Syair Sinar Gemala MestikaAlam karya Raja Ali Haji ini.

***

Pada zaman kerajaan Riau-Lingga, Raja Ali Kelana dan anggota Rusydiah Club Riouw Pulau Penyengat selalu membacakan Syair Sinar Gemala Mestika Alamyang disandingkannya dengan pembacaan Barzanji karya Jaʿfar al-Barzanji pada setiap perayaan Maulud Nabi di gedung perkumpulan cerdik cendikia Kerajaan Riau-Lingga itu, di Kampung Baharu, di Pulau Penyengat. Tradisi pembacaan syairSyair Sinar Gemala Mestika Alam  pada setiap perayaan Maulud di Pulau Penyengat berakhirberasamaan dengan berakhirnya  Kerajaan Riau-Lingga pada tahun 1913.

Pada awal tahun tahun 1970-an, pembacaan syair Syair Sinar Gemala Mestika Alam karya Raja Ali Haji ini pernah dihidupkan kembali (untuk pertama kali dan terakhir kalinya atas prakarsa Raja Abdul Razak, pemilik Museum Swasta Kandil Riau, dan Hasan Junus) dalam perayaan Maulud yang diselenggarakan di Masjid Kampung Melati, Tanjungpinang. Setelah itu?

Alangkah baiknya, bila pembacaan Syair Sinar Gemala Mestika Alamkarya Raja Ali Hajidan SyairGubahan Pertama Mutiakarya Raja Muhammad Sa’idini  dhidupkan kembali, atau disandingkan dengan pembacaan Barzanjipada setiap perayaan Maulud di Pulau Penyengat dan tempat-tempat lain di Kepulauan pada masa kini, dan masa-masa yang akan datang!***

Artikel SebelumDari Pantun ke Puisi Modern (2-Habis)
Artikel BerikutOrang Muka Kuning Di Pulau Batam Tahun 1847
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan