Maman S. Mahayana
Di manakah posisi tokoh Hang Tuah dalam Hikayat Hang Tuah?Sebagai tokoh fiktif yang bersumber dari peristiwa sejarah yang faktual atau sebagai tokoh sejarah yang dikemas-sajikan dalam fiksi?Atau lagi, sebagai tokoh sejarah yang dihadirkan dalam karya sejarah “versi” tradisi Melayu.Berbagai pandangan tentang fakta—fiksi Hikayat Hang Tuah sampai kini justru makin menegaskan posisinya yang berada di antara tarik-menarik fakta—fiksi; di antara peristiwa sejarah dan pasemon.
Bermula dari Francois Valentijn (17 April 1666—6 Agustus 1727),peneliti pertama yang memperkenalkan Hikayat Hang Tuah pada masyarakat Eropa.Ia memuji begitu tinggi Hikayat Hang Tuah sebagai mahakarya yang disebutnya: “intan yang jarang ditemui” dan “yang terbaik dari semua karangan Melayu, dan terutama Kitab Hantoewa… sebagai buku Melayu yang amat patut dibaca.” Begitu dikatakannya dalam Oud en Nieuw Oost-Indie (Jilid 5, 1726; 316-317).
Meskipundemikian, Teeuw meragukan objektivitas pandangan Valentijn ini. Alasannya: (1) Valentijn sebagai orang yang sombong … apakah pendapatnya didasarkan pada penyelidikan yang mendalam.Bagi Teeuw, pujian Valentijn boleh jadi sekadar usaha mempertinggi status dan reputasinya sebagai peneliti dunia Melayu. (2) Valentijn dianggap mencampuradukkan Kitab Hang Tuah dengan Sulalat as-Salatin yang lebih dikenal sebagai Sejarah Melayu. “Jadi mungkin sekali naskah yang ada pada Valentijn itu bukan naskah Hikayat Hang Tuah, melainkan naskah Sejarah Melayu.”
Jika mencermati kepakaran Valentijn mengenai bahasa dan sastra Melayu, tampaknya pujian itu tidak berlebihan. Mengenai bahasa Melayu, misalnya, ia mengatakan, “ …Orang yang tidak bisa berbicara bahasa ini (: Melayu) akan dianggap sebagai orang Timur yang kurang pendidikan.Dikatakannya lagi, “Bahasa itu indah, bagus sekali, merdu bunyinya, dan kaya, yang di samping bahasa Portugis, merupakan bahasayang dapat dipakai di seluruh Hindia sampai ke Parsi, Hindustan, dan negeri Cina. … Bahasa itu sekarang… ada dua macam, pertama: yang Tinggi yaitu bahasa Melayu yang dipakai orang-orang besar di istana-istana dan dalam urusan yang berhubungan dengan agama Islam, dan kedua: bahasa Rendah, yaitu bahasa pasar, Melayu pasar yang dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat.”
Hikayat Hang Tuah, selain menggunakan bahasa Melayu tinggi, juga memperlihatkan pengarangnya yang berwawasan luas dan memahami situasi pemerintahan pada zamannya. Dikatakan Braginsky, “Hikayat Hang Tuah menduduki salah satu tempat paling atas dalam jenjang seni kebahasaan Melayu, bukan karena pengarangnya berhasil memuaskan hati pegawai negeri dengan pasemon tentang peristiwa-peristiwa aktual. … keunggulannya sebagai karya sastra yang indah dan tanggapan etikanya yang mendalam dan penuh pengetahuan tentang budi pekerti manusia.”Oleh karena itu, dapat dipahami jika si pengarang menyamarkan nama-nama dan peristiwa faktual.
Braginsky (1998: 358) memaknainya sebagai pandangan pengarang untuk membangun “persatuan raja dengan para hambanya yang setia dan tidak dapat berpecah belah menjadi jaminan kejayaan politik Malaka, dan terselenggaranya kemakmuran negeri.”Dengan begitu, penulisan Hikayat Hang Tuah dapat dianggap sebagai pesan terselubung kepada raja tentang pentingnya penyatuan raja dengan rakyat.Tokoh Hang Tuah adalah adalah representasi kesetiaan yang tidak boleh terbelah. “… betapapun lalimnya, perintah seorang raja haruslah ditaati, bukan demi memuliakannya, tetapi demi mencegah kerusuhan dan pemberontakan.” Hal tersebut juga tersurat dalam kata pengantar naskah Hikayat Hang Tuah sebagaimana dikutip Kassim Ahmad (1968: 1): “Ini Hikayat Hang Tuah yang amat setiawan pada tuannya dan terlalu sangat berbuat kebaktian kepada tuannya”
Itulah yang dikatakan Braginsky, bahwa Hikayat Hang Tuah sebagai alegori sejarah, sebuah pasemon untuk menyembunyikan fakta dengan cara halus dan simbolik dengan “menggambarkan pertikaian antara kerajaan-kerajaan Johor dan Jambi dan berkedok pada perselisihan antara kerajaan Malaka dan Majapahit.”Ada semacam perubahan urutan diakronis menjadi sinkronis dan penggantian tokoh-tokohnya menjadi semacam pseudo-sejarah yang memiliki arti sebagai perlambang-perlambang.Itulah yang dimaksud Hikayat Hang Tuah sebagai pasemon.
Perbincangan Braginsky tentang Hikayat Hang Tuah akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa: “… Hikayat Hang Tuah merupakan sebuah contoh karya epos, yang memadu ciri-ciri epos kepahlawanan dengan epos sejarah, dan benar-benar bersemangat kebangsaan.Epos ini menceritakan sejarah, sesuai dengan pengertian tradisi Melayu, sebagai riwayat hidup tokoh utama, dan dengan jalan demikian mengurai isinya yang didaktis.”
John Leyden yang menerjemahkan Sejarah Melayu ke dalam bahasa Inggris (1823), juga memberi penghargaan yang tinggi atas Hikayat Hang Tuah.Ia menyebutnya sebagai a historical romance. Pujian yang sama juga disampaikan seorang Jerman bernama Hans Overbeck yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Jerman. Ia menyebutnya sebagai “… karya yang terindah dari kesusastraan Melayu.” Tetapi, bagaimana dengan pendapat John Crawfurd yang mengecam Hikayat Hang Tuah sebagai: “… karya yang tidak masuk akal. Ia tidak mengandung fakta-fakta sejarah yang sedikit-dikitnya dapat dipercayai, ia sama sekali tidak mempunyai tanggal …”
***
Begitu banyak perhatian para peneliti terhadap naskah Hikayat Hang Tuah, sehingga kita dapat membaginya ke dalam empat kelompok: (1) menolak naskah itu sebagai karya sejarah, tetapi menempatkannya sebagai karya sastra yang unggul; (2) membuka kemungkinan sebagai karya sejarah, dan menempatkannya sebagai karya sastra yang agak kacau; (3) menempatkannya sebagai karya sastra yang unggul dan membuka kemungkinan adanya fakta sejarah; (4) menambah kekacauan atas tafsir naskah Hikayat HangTuah.
G.H. Werdly (1736), misalnya, menyebutkan, bahwa Hang Tuah sebagai penulis naskah itu, dan asal-usul raja yang terdapat dalam naskah itu berasal dari Iskandar Zulkarnaen. Overbeck yang memuji Hikayat Hang Tuah sebagai karya sastra terbaik dalam khazanah sastra Melayu, mencermati, bahwa naskah itu sebagai riwayat hidup seorang pahlawan Melayu, tetapi lama kelamaan, karena masyarakat begitu banyak memasukkan dongeng ke dalamnya, maka naskah itu lebih merupakan naskah ciptaan bersama masyarakat Melayu. Dengan begitu, pahlawan sejarah di sana berubah menjadi dongeng sejarah.
Sementara itu, Hooykaas (1937) menempatkan Hikayat Hang Tuah sebagai jenis sastra: legendarische roman, yaitu roman yang bersifat legendary, mengingat di dalamnya, terdapat begitu banyak legenda, sebagaimana ditafsirkan Overbeck. Yang perlu dicatat di sini adalah pandangan Boris Borisovitch Parnickel, seorang peneliti sastra Melayu asal Rusia.Dikatakannya, Hikayat Hang Tuahsebenarnya lebih merupakan kisah tentang pertentangan kelas: kaum feodal versus rakyat jelata yang didukung kelas menengah. Jadi, awalnya, Hikayat Hang Tuah sebagai cerita rakyat.Lalu, ketika naskah itu sampai ke tangan kaum feodal, diubahlah sosok Hang Tuah yang semula membela rakyat jadi tokoh demokratis yang setia pada rajanya sebagai bentuk mempertahankan sistem feodalisme.
Pandangan Kassim Ahmad lain lagi (1959). Ia menafsirkan Hikayat Hang Tuah sebagai karya sastra; sebagai karya seni yang hakikatnya sebagai sebuah kesatuan (artistik). Meskipun ia tak menolak, bahwa di dalam cerita Hang Tuah, tidak sedikit tokoh sejarah yang disebutkan, yang justru penting ditelaah adalah persoalan penokohan dan struktur karya itu. Dari sana, Kassim Ahmad coba membandingkan ketokohan Hang Tuah—yang dikatakannya sebagai tokoh konservatif, dan Hang Jebatsebagai tokoh revolusioner. Kesimpulannya: tidak ada pahlawan ideal dalam hikayat ini. Jika Hang Tuah ditempatan sebagai pahlawan, Jebat pun tak kalah heroiknya.Dengan begitu, sebagai karya sastra, Hikayat Hang Tuah adalah sepenggal sejarah sosial yang luar biasa.Sebuah mahakarya dunia Melayu yang fenomenal dan monumental.
Dari simpang-siur pandangan para peneliti tentang Hikayat Hang Tuah, pandangan A. Teeuw kiranya perlu diperhatikan. Bagaimanapun, terjadinya semacam sisipan dan tambahan dalam alur utama cerita Hang Tuah, bagi Teeuw, mesti dipahami sebagai punya makna lain. Setiap bagian dalam karya sastra mesti dicurigai punya makna.Oleh karena itu, penafsiran dan pemahaman terhadap teks Hang Tuah, mesti coba mengaitkan sisipan dan tambahan yang seolah-olah tidak ada hubungannya dengan alur utama dalam keseluruhan cerita.Dengan begitu, Hikayat Hang Tuahsebagai karya sastra dapat hadir secara utuh dalam satu kesatuan. Sangat mungkin sisipan dan tambahan itu sengaja dihadirkan dengan maksud lain. Tugas peneliti untuk menguak keterkaitannya dan mengungkap makna yang berada di sebaliknya.
***
Apa maknanya kesimpangsiuran pendapat dan tafsir para peneliti atas Hikayat Hang Tuah bagi kita kini? Itulah yang nyaris tidak terungkapkan dalam perbincangan Hang Tuah. Berbagai tanggapan itu menegaskan, bahwa Hikayat Hang Tuah bukanlah sekadar karya biasa.Ia salah satu masterpiece kesusastraan Melayu. Kecenderungan menempatkan posisi ketokohan Hang Tuah sekadar sebagai abdi negara, sebagai sosok yang loyal dan setia pada negara dan posisi Hang Jebat dengan segala pandangan posisif—negatifnya, sesungguhnya mereduksi sebuah mahakarya yang telah dihasilkan leluhur kita.Kebesaran karya itulah yang perlu digaungkan terus menerus, bahwa Hikayat Hang Tuah adalah salah satu karya besar yang pernah dihasilkan pujangga masa lalu kita.
Demikianlah!