
TELAH menjadi fitrahnya. Tak ada manusia ingin hidup sendiri di dunia ini. Oleh sebab itu, manusia mendambakan hidup bersama keluarga dan masyarakat.
Tak sesiapa pula yang berniat atau berani berharap keluarganya hidup sengsara. Tak sesiapa pun rela keluarganya diremehkan orang dalam pergaulan hidup di lingkungan masyarakat. Tak sesiapa juga yang sampai hati melihat anggota keluarganya senantiasa didera kepahitan hidup. Intinya, tak seorang manusia pun sampai hati melihat, apatah lagi menjadi penyebab, keluarganya gagal meraih kebahagiaan hidup.
Kegagalan membahagiakan keluarga merupakan kenyataan yang sangat menyakitkan. Pasalnya, bukan hanya manusia yang bersatu dalam keluarga itu gagal membangun keluarganya, melainkan juga, terutama, kepala keluarganya gagal memimpin keluarganya untuk meraih harapan dan cita-cita sejati hidup berkeluarga. Jadi, pemimpin keluargalah sebetulnya yang paling bertanggung jawab terhadap berjaya atau gagalnya sesebuah keluarga menikmati kebahagiaan hidup yang telah disediakan oleh Allah di dunia ini, bahkan juga di akhirat kelak.
Tanggung jawab kepemimpinan di dalam keluarga umumnya dilakukan oleh suami atau bapak, yang didampingi oleh istri atau ibu bagi rumah tangga yang masih lengkap suami dan istri. Lumrah pula, jika suami telah meninggal dunia, istri atau ibulah yang menggantikan suaminya menjadi kepala keluarga. Begitulah tanggung jawab kepemimpinan keluarga silih berganti atau secara bersamaan di antara bapak dan ibu.
Sesiapa pun yang menjadi pemimpin keluarga, dia mestilah memiliki kemampuan, cekap, dan sepenuh hati memimpin keluarganya. Jika tidak, keluarga akan berantakan atau porak-peranda. Pasalnya, setiap perjalanan hidup berkeluarga pastilah mengalami pelbagai permasalahan, sama ada besar ataupun kecil. Nyaris tak ada keluarga yang tak menghadapi persoalan di dalam hidup ini.
“Sedangkan lidah lagi tergigit, inikan pula hidup berkeluarga,” kata orang tua-tua. Maknanya, setiap orang yang hidup berkeluarga pastilah akan menghadapi pasang-surut kehidupan. Tinggal bagaimana kita mengelolanya saja dengan baik, terutama kepala keluarganya, sehingga tak ada kesulitan hidup yang tak dapat diatasi. Di tangan kepala keluarga yang arif, baik, pandai, cekap, dan bertanggung jawab segala permasalahan di dalam keluarga akan dapat diselesaikan dengan baik. Hal itu bermakna kepemimpinan dalam keluarga bukanlah beban, melainkan tugas mulia yang seyogianya dapat dilaksanakan atau ditunaikan dengan sebaik-baiknya, sepatut-patutnya, dan seanggun-anggunnya Oleh sebab itu, kemampuan atau kecekapan memimpin keluarga menjadi penanda kehalusan budi manusia dalam perhubungannya dengan keluarga yang dicintainya.
Karya Raja Ali Haji rahimahullah, yakni Syair Abdul Muluk, mendedahkan perihal kearifan dan kecekapan memimpin keluarga. Inilah nukilan bait syair yang sangat memikat itu.
Siti Rahmah sempurna bicara
Rafiah dibuat seperti saudara
Serta dengan bela pelihara
Sedikit tak mau nama cedera
Syair Abdul Muluk
Bait syair di atas menceritakan kearifan, kepiawaian, dan kecekapan Siti Rahmah memimpin keluarganya dalam mendampingi suaminya, Sultan Abdul Muluk. Walau Siti Rafiah adalah madunya, dengan ikhlas dia membimbing dan mengajari istri kedua Abdul Muluk itu karena usia Siti Rafiah memang masih sangat muda. Rahmah tak pernah menganggap Rafiah sebagai saingannya, bahkan diperlakukannya sebagai saudara yang memang wajib dibimbingnya. Motivasinya tiada lain supaya nama baik keluarga mereka tetap terpelihara. Alhasil, kelak memang terbukti bahwa Siti Rafiah menjelma menjadi seorang perempuan pembela keluarga yang tiada tolok bandingnya. Kesemuanya itu adalah buah manis dari keikhlasan Siti Rahmah yang membela, memelihara, mendidik, dan memperlakukan Siti Rafiah dengan baik sebagai manusia sekaligus sebagai anggota keluarga.
Penggambaran watak dan tindakan tokoh-tokohnya di dalam bait syair tersebut jelas menyiratkan amanat yang hendak disampaikan oleh pengarangnya, Raja Ali Haji. Nama baik keluarga akan terjamin jika pemimpin keluarganya arif, piawai, dan cekap dalam mengendalikan segenap anggota keluarga. Di dalam bait syair di atas kualitas kearifan, kepiawaian, dan kecekapan itu disandang oleh Siti Rafiah, istri pertama Sultan Abdul Muluk. Dengan kepemimpinan yang sejuk, anggun, lagi penuh kasih sayang, dia berjaya membawa keluarganya ke pintu gerbang kebahagiaan. Jadi, kecekapan memimpin keluarga menjadi indikator kehalusan budi di dalam keluarga, yang seyogianya dimiliki oleh setiap pemimpin keluarga.
Kecekapan memimpin keluarga banyak dikisahkan oleh Raja Ali Haji di dalam Tuhfat al-Nafis. Di antaranya yang sangat terkenal ketika Sultan Mahmud Riayat Syah (Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-Johor-Pahang 1761—1812) membuka Pulau Penyengat dan membagi-bagi rezeki di Lingga dan Riau kepada para anggota keluarganya. Karena kearifan Baginda memimpin itu, tak terjadi persengketaan di antara anggota keluarga besar Baginda Sultan. Berikut ini petikannya.
“Syahadan kata sahibul hikayat sekali persetua (sic!, mestinya “peristiwa,” A.M.) pada suatu masa maka bertitahlah baginda Sultan Mahmud kepada paduka adinda baginda Engku Puteri di hadapan beberapa raja-raja seperti Raja Mahmud putera Tengku Panglima Besar putera baginda Marhum Sultan Sulaiman, demikian bunyinya titahnya, Hai Raja Hamidah, adalah saya membuat Pulau Penyengat ini dijadikan negeri sudah cukup dengan istana kota paritnya. Maka Raja Hamidahlah saya buatkan jadi miliklah kepada Raja Hamidah. Syahadan lagi daripada fasal negeri Riau ini daripada hasilnya dan lainnya, iaitu makanan dan milik Raja Hamidahlah adik beradik, iaitu segala putera-putera Marhum Raja Haji fi sabil Allah. Maka tiadalah saya campur lagi barang suatunya. Adapun negeri Lingga maka, iaitu bahagian si Komenglah (iaitu puteranya Tengku Abdul Rahman) dan janganlah Raja Hamidah adik beradik campuri lagi daripada pihak hasil-hasilnya dan kerajatnya,” (Matheson, 1982:254—255).
Teks di atas tak hanya menyiratkan sifat adil Sultan Mahmud Riayat Syah di dalam memimpin keluarga besar, tetapi juga sifat arif, bijak, dan cekap Baginda. Dengan begitu, kerukunan di dalam keluarganya tetap terpelihara dan nama besar keluarga Baginda tetap harum di kalangan rakyat dan bangsanya. Itulah tauladan pemimpin keluarga yang memiliki budi yang halus, yang diimplementasikannya dalam kepemimpinan di lingkungan keluarga.
Dari kutipan karya-karya Raja Ali Haji di atas dapatlah disimpulkan bahwa sesebuah keluarga memerlukan seseorang yang arif, piawai, dan cekap untuk memimpin keluarganya. Pemimpin keluarga yang hebat seperti itu akan sanggup membuat keluarganya berbahagia dan sejahtera. Dengan demikian, kearifan, kepiawaian, dan kecekapan memimpin keluarga merupakan kualitas kehalusan budi manusia yang berhubung dengan pemeliharaan keluarganya sehingga segenap anggota keluarga beroleh kebahagiaan hidup.
Keluarga (anak-anak dan istri) merupakan bahagian dari amanah Allah. Oleh sebab itu, setiap pemimpin keluarga haruslah mampu menjaga amanah itu dengan sebaik-baiknya. Salah satu syaratnya adalah kepala keluarga mestilah memiliki keahlian, kearifan, dan kecekapan dalam memimpin keluarganya. Allah SWT memang mewajibkan manusia untuk menjaga amanah-Nya, termasuk amanah yang berhubung dengan pembinaan keluarga.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui,” (Q.S. Al-Anfaal:27).
Telah disebutkan bahwa keluarga merupakan salah satu amanah Allah kepada manusia. Di dalam firman Allah yang dipetik di atas secara tegas dan jelas Allah memerintahkan manusia, khasnya orang-orang yang beriman, supaya tak mengkhianati amanah-Nya. Oleh sebab itu, setiap kepala keluarga seyogianya dapat memimpin keluarganya dengan sebaik-baiknya sebagai bukti bahwa dia menjaga amanah Allah. Hal itu juga bermakna dia sanggup menjaga dirinya sebagai pemimpin keluarga dari murka Allah.Oleh sebab itu, diperlukan keahlian dan kecekapan di dalam memimpin keluarga. Jadi, secara tersirat, kearifan, kepiawaian, dan kecekapan memimpin keluarga memang dianjurkan oleh Tuhan.
Rasulullah SAW juga mengingatkan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya, termasuk pemimpin keluarga. Sehubungan dengan itu, pemimpin keluarga haruslah mahir dan cekap supaya keluarganya tidak melencong atau menyimpang ke arah yang salah di dalam perjalanan hidup ini. Hal itu berarti bahwa kepiawaian dan kecekapan memimpin keluarga juga dibenarkan oleh Rasulullah SAW yang seyogianya dipedomani oleh setiap pemimpin keluarga.
Dari Ibnu Umar r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah, tiap-tiap kamu sekalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu sekalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi anggota keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu pimpin,” (H.R. Muslim).
Berdasarkan firman Allah dan sabda Baginda Rasulullah SAW itu, jelaslah bahwa setiap pemimpin keluarga dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Oleh sebab itu, pemimpin keluarga haruslah memiliki kemahiran dan kecekapan memimpin keluarganya sehingga anggota keluarga yang dipimpinnya menjadi manusia yang baik.
Kenyataan itu membuktikan bahwa tanggung jawab membina dan membahagiakan keluarga sejalan dengan ajaran agama Islam. Dengan demikian, amanat Raja Ali Haji tentang perkara itu melalui karya beliau tergolong baik dan mengandungi nilai kebenaran. Dalam hal ini, arif, bijak, dan cekap memimpin keluarga merupakan perbuatan yang mulia lagi terpuji. Jadi, pemimpin keluarga yang memiliki kualitas itu termasuk manusia yang halus budi pekertinya. Pemimpin keluarga seperti itu dapat dipastikan akan senantiasa mendapat perlindungan dan bimbingan dari Allah Azza wa Jalla.
Andai negeri atau negara kita analogikan sebagai sebuah keluarga besar, maka segenap rakyatnya merupakan anggota keluarga itu. Berbahagia atau menderita anggota keluarga besar itu sangat tergantung kepada kualitas pemimpinnya, apa pun sebutan bagi pemimpin tersebut. Kualitas itu tak hanya berkaitan dengan kemampuannya mengelola sumber daya negeri atau negaranya, tetapi lebih-lebih terletak pada kehalusan budinya terhadap rakyat, bangsa, negeri, dan atau negaranya.
Jika budi baik itu yang menjadi niat, yang pada gilirannya diimplementasikannya di dalam kepemimpinannya, maka dia akan menjelma menjadi pemimpin besar yang senantiasa mendapat hidayah dan inayah dari Allah. Bersamaan dengan itu, doa tulus dari seluruh rakyat untuk kebaikan dan kesejahteraan baginya akan mengalir sepanjang masa. Alhasil, jaminan keselamatannya tak semata-mata di dunia, tetapi kehidupan akhiratnya pun sangat jelas tempatnya di sisi Allah. Pasalnya, dia telah berjaya menjaga amanah yang dipercayakan kepadanya oleh Sang Khalik.***