Oleh Hasan Aspahani

SIAPAKAH yang pertama kali menulis atau menerjemahkan pantun dalam bahasa di Eropa? Dengan kata lain siapa yang membawa dan memperkenalkan bentuk itu pertama kali ke publik sastra Eropa? 

Aswandi Syahri menulis di Jantung Melayu (www.jantungmelayu.com) setelah melakukan penelusuran teks dan pustaka dan menemukan ada serangkai pantun tradisional yang terbukti menjadi spesimen awal masuknya pantun ke Eropa. 

Mula-mula William Marsden (1754 – 1836)  yangmenerjemahkan “Pantun Kupu-kupu Terbang Melintang”(Baca Lampiran 1, 2, dan 3), pada 1812, ke dalam bahasa Inggris. Lalu Ernest Fouinet (1799 –1845), yang menerjemahkan pantun yang sama ke dalam bahasa Prancis.  Terjemahan Fouinet tak muncul ke publik sampai Victor Hugo  (1802-1885) yang menyertakan pantun terjemahan itu ke dalam catatan antologi buku puisinya Les Orientales”(1829).

Buku “Les Orientles” berisi 41 puisi. Victor Hugo saat itu tampaknya sedang mabuk sastra Timur. Pada sajak ke-27,  Nourmahal-La-Rousse(Baca Lampiran 6), Hugo membuat anotasi hingga sembilan belas halaman, di mana ia menampilkan sajak-sajak yang menginspirasi sajaknya itu. Ia menyebut dan mengutip dua belas sajak dari Rumi, Rafiuddin, Champour Ahbari, hingga yang terakhir pantun “Kupu-kupu Terbang Melintang” yang diterjemahkan oleh Fouinet(Baca  Lampiran 2).

Hugo menjelaskan kata ‘nourmahal’adalah kata yang ia ambil dari Arab yang berarti cahaya dari rumah. Ia membuat metafora untuk rambut merah yang membuat kecantikan perempuan timur menjadi bercahaya. Dengan jujur Hugo mengakui bahwa sajaknya itu dipengruhi oleh  pesona dan pengaruh oleh puisi-puisi timur.  Dia katakan:

…Walaupun tulisan ini tidak dipinjam dari teks Oriental manapun, kami percaya bahwa ini adalah tempat untuk menyamarkan beberapa kutipan puisi timur yang sama sekali tidak dipublikasikan yang bagi kami luar biasa dan membangkitkan rasa ingin tahu.

Dan Hugo ingin membagikan pesona itu.  Ia mengagumi terjemahan-terjemahan Ernest Fouinet yang kerap berkorespondensi  – antara lain dengan mengirimkan sajak-sajak terjemahannya – kepada Hugo.  Hugo menyebut pantun sebagai nyanyian Melayu yang orisinal dan nikmat.  Dan bersama bentuk-bentuk sajak dari khazanah budaya Timur lain (ghazal, rubaiyat, dll) yang menginspirasinya ia menyebut, “… Ini adalah hanya beberapa permata berharga yang kita ambil dengan tergesa-gesa di tambang besar dunia Timur”.

Dari kekaguman dalam anotasi Hugo itulah agaknya pantun menjadi dikenal dan terkenal. Menjadi bentuk formal puisi yang mapan, dan dicoba oleh banyak penyair. Yang banyak disebut sebagai pantun asli bahasa Prancis yang memukau adalah karya Charles Baudelaire “Harmonie du Soir” (baca lampiran 4 dan 5).Meskipun menyebut karya itu sebagai pantun agak menganggu juga, karena rimanya yang ganjil.  Mungkin Baudelaire memang sengaja menyusun rima seperti itu, atau karena dia tidak terlalu paham timbangan pantun. Di Eropa dan Amerika, pantun dianggap menjadi bagian dari bentuk puisi lirik berdampingan dengan sonata, ode, himne, dan bentuk-bentuk sajak lirik lainnya.

Pantun, Sastra Melayu Lama

Di tanah air, pantun  kini bertahan sebagai pemanis pidato, basa-basi percakapan, atau pantun jenaka.Kadang sekadar untuk lucu-lucuan, pembangun suasana gembira. Padahal pantun jenaka hanyalah salah satu dari beberapa jenis pantun yang dibedakan berdasarkan fungsi dan tema. Dengan bentuknya yang tetap, pantun memang seharusnya dengan lentur bisa dikembangkan ke dalam berbagai tema. Pantun politik, misalnya. Atau tema-tema lain. Penyair Rendra pernah menggubah pantun reformasi.

Amir Hamzah (dalam “Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya”, 1942) menyebutkan pantun – bersama hikayat – sebagai produk dari sastra Melayu Lama zaman klasik dan pertengahan. Hikayat adalah tuturan naratif, bisa dituliskan dalam bentuk tetap (syair) atau prosa dengan bentuk bebas. Temanya cenderung didaktis atau historis. Sastra sebagai sarana pendidikan (nasihat, adab, atur-cara raja-raja) dan pencatatan sejarah diadopsi dari tradisi sastra Arab, yang banyak dibawa oleh pedagang-ulama pada masa sastra Melayu Lama pada era klasik dan pertengahan. Zaman baru, kata Amir, menghasilkan roman dan sanjak. Amir Hamzah belum memakai istilah ‘puisi’.

Pantun berkembang di tengah rakyat banyak. Tak ada penyakralan atas bentuk ini. Ia  sastra yang lahir dari masyarakat yang egaliter. Siapa saja boleh berpantun, siapa saja bebas menggubah pantun. Tapi sebagai seni ia tentu bisa memberi jalan penapis siapa yang punya bakat sebagai pemantun yang mahir, siapa yang hanya semenjana.

Pantun Akar Sajak Liris

Pernah ada sementara kalangan kita yang suka mencemaskan dominasi perkembangan sajak liris di Indonesia. Tentu saja siapa saja boleh mencemaskan apasaja. Juga tak ada larangan bagi siapa saja untuk menulis bentuk sajak apa saja. Saya setuju untuk ikut cemas apabila sajak liris yang hadir hanya sebagai penyinambungan dan pengulangan, sama sekali tak memawa pembaharuan atau perubahan.

Kita perlu bertanya kenapa sajak liris begitu populer? Saya kira karena ia dekat dengan pantun. Karena itu ia sebenarnya menyinambungkan sebagian dari tradisi pantun kita, dan pada bagian lain mengubah dan memperbaharuinya. Pada awalnya sajak liris dibedakan dengan sajak naratif dan sajak dramatik.

Apakah sajak liris ? Saya memakai definisi sederhana ini: sajak yang mengekspresikan emosi atau perasaan personal seseorang. Ciri-cirinya? Kaya dengan bunyi dan rima, biasanya pendek, dan memberdayakan metrum (sebelum bentuk bebas menjadi lebih diminati).  

Sapardi Djoko Damono merumuskan: untuk menuliskan sajak liris yang baik, penyair harus cermat mengamati dan mencatat perasaan-perasaan sendiri dan peristiwa-peristiwa di alam sekitarnya (“Keremang-remangan Suatu Gaya”, 1999).  

Seorang penggubah pantun memang bekerja seperti seorang penulis sajak liris. Keduanya, seperti kata Sapardi di atas, harus cermat merumuskan pikirannya dan perasaannya (untuk dituangkan sebagai isi), dan cermat mengamati alam (untuk dijadikan sampiran). Pantun ini mungkin bisa jadi contoh:

Riuh rendah di tepi teluk
Lihat orang duduk bertenun
Tengah malam ayam berkokok
Serasa tuan datang membangun

Yang disampaikan pada bagian isi pantun yang dikutip oleh Amir Hamzah dari khazanah pantun lama ini adalah rasa rindu yang sedemikian parah dari seseorang kepada seorang lain, sehingga ayam berkokok pun serasa sebagai suara sang kekasih yang membangunkan. Ada kiasan atau simile di sini. Ada kontras antara keriuhan di larik-larik sampiran dan kesunyian malam di baris isi. Bukankah dengan demikian pantun lama ini  –  abaikan anonimitasnya  –  sesungguhnya adalah sajak liris yang memenuhi ukuran sajak modern?

Dalam sejarah puisi Indonesia, sajak liris (dalam bentuk soneta, dan kemudian sajak-sajak bebas) seakan-akan datang sebagai sebuah pembaharuan, perlawanan terhadap sajak lama, termasuk pantun.  Saya kira ini yang perlu juga dikoreksi. Bukankah soneta dan pantun di Eropa sana sama-sama disejajarkan sebagai varian bentuk dari sajak liris?  Dengan cara pandang seperti Eropa itu pantun menjadi bentuk yang sangat produktif dan terasa modern, dan terus memperbaharui diri. Pada 2007, grup musik Rush menulis lagu dalam bentuk pantun, The Larger Bowl (A Pantoum), yangbahkan judulnya pun memakai pantun (Baca Lampiran 7).

Dengan memperbaiki cara pandang dan mendudukkan pantun dengan cara demikian, maka kita misalnya bisa memahami kenapa sajak liris menjadi sedemikian populernya di Indonesia ini, yaitu karena pantun memang lahir dari masyarakat dan bahasa Melayu, bahasa yang kemudian kita kembangkan bersama-sama menjadi bahasa Indonesia.

Kemudian pasti kita mungkin menemukan cara untuk memperbaharui bentuk pantun ini menjadi puisi yang bisa terus-menerus memperbaharui diri. Ia boleh tetap menjadi pantun dengan fungsi dan perannya sebagai sastra lisan dalam untuk berbagai kepentingan adat, tapi ia tak boleh hanya berhenti pada peran, dan estetika yang hanya begitu-begitu saja. 

—  Hasan Aspahani adalah penyair dan pengelola situs www.haripuisi.com.

Lampiran 1

kupu-kupu terbang melintang
terbang di laut dan di hujung karang
hati di dalam menaruh bimbang
dari dahulu sampai sekarang

terbang di laut di hujung karang
burung nasar terbang ke Bandan
dari dahulu sampai sekarang
banyak muda sudah kupandang

burung nasar terbang ke Bandan
bulunya lagi jatuh ke Patani
banyak muda sudah kupandang
tiada sama mudaku ini

bulunya jatuh ke Patani
dua puluh anak merpati
tiada sama mudaku ini
sungguh pandai membujuk hati

Lampiran 2.

PANTOUM MALAIS.
Les papillons jouent à l’entour sur leurs ailes;
Ils volent vers la mer, près de la chaîne des rochers.
Mon cœur s’est senti malade dans ma poitrine.
Depuis mes premiers jours jusqu’à l’heure présente.

Ils voient vers la mer, près de la chaîne des rochers…
Le vautour dirige son essor vers Bandam.
Depuis mes premiers jours jusqu’à l’heure présente,
J’ai admiré bien des jeunes gens.

Le vautour dirige son essor vers Bandam…
Et laisse tomber de ses plumes à Patani.
J’ai admiré bien des jeunes gens;
Mais nul n’est à comparer à l’objet de mon choix.

Il laisse tomber de ses plumes à Patani…
Voici deux jeunes pigeons I
Aucun jeune homme ne peut se comparer à celui de mon choix,
Habile comme il l’est à toucher le cœur.

(Diterjemahkan ke Bahasa Prancis oleh Ernest Fouinet)

Lampiran 3

Pantoum Malais

The butterflies flit about on butterfly wings;
They fly to the sea, near the line of rocks.
My heart has ached in my breast,
From the start of my days to this present moment.

They fly to the sea, near the line of rocks…
The vulture sets his course and ascends toward Bandam.
From the start of my days to this present moment,
I have truly admired the young.

The vulture sets his course and ascends toward Bandam.
And lets a few feathers fall at Patami.
I have truly admired the young;
But nothing compares to the object of my desire.

It lets a few feathers fall at Patami.
Here are two young pigeons!
No young man compares to him I desire.
Clever as he is at touching my heart.

(Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris olehGeoffrey Barto)

Lampiran 4

Charles Baudelaire
Harmonie du soir

Voici venir les temps où vibrant sur sa tige
Chaque fleur s’évapore ainsi qu’un encensoir;
Les sons et les parfums tournent dans l’air du soir;
Valse mélancolique et langoureux vertige!

Chaque fleur s’évapore ainsi qu’un encensoir;
Le violon frémit comme un coeur qu’on afflige;
Valse mélancolique et langoureux vertige!
Le ciel est triste et beau comme un grand reposoir.

Le violon frémit comme un coeur qu’on afflige,
Un coeur tendre, qui hait le néant vaste et noir!
Le ciel est triste et beau comme un grand reposoir;
Le soleil s’est noyé dans son sang qui se fige.

Un coeur tendre, qui hait le néant vaste et noir,
Du passé lumineux recueille tout vestige!
Le soleil s’est noyé dans son sang qui se fige…
Ton souvenir en moi luit comme un ostensoir!

(Dari Fleurs du mal / Flowers of Evil,1857)

Lampiran 5

Charles Baudelaire
Harmoni Malam Itu

Musimnya tiba, bergelayutan di cabang-cabang
Segenap bunga – seperti pedupaan – bernapas
Suara dan wanginya, mengisi udara malam
Mengalunlah waltz nan sendu, meneduhlah vertigo

Segenap bunga – seperti pedupaan – bernapas
Biola gemetar bagai hati yang tersiksa;
Mengalunlah waltz nan sendu, meneduhlah vertigo
Langit murung, berdelau, bagai altar besar.

Biola gemetar bagai hati yang tersiksa;
hati lembut, yang membenci kelam kehampaan!
Langit murung, berdelau, bagai altar besar.
Matahari terbenam dalam darahnya yang beku

Hati lembut, yang membenci kelam kehampaan!
Kumpulkan kepingan dari masa lalu yang terang!
Matahari terbenam dalam darahnya yang beku
Kenangan dalam diri berkilau sebagai monstransa!

(Diterjemahkan oleh Hasan Aspahani)

Lampiran 6

Victor Hugo
Nourmahal-la-Rousse

Kami tidak takut menjadi trobada.
Joan Lorenzo Segura dari Astorga.
Tidak ada binatang buas yang ada di sana.

Di antara dua batu hitam kayu hitam
Apakah engkau melihat Halloween gelap itu?
Siapa yang berbulu di dataran
Serta sejumput wol
Di antara tanduk domba jantan itu?

Di sana, dalam bayangan yang tak jelas,
Menggeram harimau terluka,
Singa betina, ibu yang takut,
Serigala, hyena loreng,
Dan macan tutul.

Di sana, monster berbagai rupa
Bersimaharaja: – berwangi mimpi,
Kuda nil berperut besar,
Dan boa, besar dan rusak rupa,
Seperti batang pohon yang hidup.

Kelopak mata dengan kelopak mata merah,
Ular, monyet yang usil,
Bersiul seperti sekawanan lebah;
Gajah dengan telinga besar
Hancurkan bambu dengan kakinya.

Di sana, tinggal keluarga liar
Siapa yang berdecit, berdengung, dan mengaum.
Seluruh kayu melolong dan berkerumun.
Di bawah setiap semak mata bersinar,
Di setiap ruang, suara mengaum.

Baiklah! Sendiri, telanjang bermandi busa,
Di kayu ini aku akan lebih baik
Itu sebelum Nourmahal-la-Rousse,
Dia yang berbicara dengan suara lembut
Dan menatap dengan matanya manis.

25 November 1828.

Lampiran 7

Neil Pert/RUSH
The Larger Bowl (A Pantoum)

If we’re so much the same like I always hear
Why such different fortunes and fates?
Some of us live in a cloud of fear
Some live behind iron gates

Why such different fortunes and fates?
Some are blessed and some are cursed
Some live behind iron gates
While others only see the worst

Some are blessed and some are cursed
The golden one or scarred from birth
While others only see the worst
Such a lot of pain on the earth

The golden one or scarred from birth
Somethings can never be changed
Such a lot of pain on this earth
It’s somehow so badly arranged

Somethings can never be changed
Some reasons will never come clear
It’s somehow so badly arranged
If we’re so much the same like I always hear

Some are blessed and some are cursed
The golden one or scarred from birth
While others only see the worst
Such a lot of pain on the earth

(Dari album “Snake and Arrow”, 2007)

Artikel SebelumTradisi, Transformasi, dan Revitalisasi Pantun Nusantara
Artikel BerikutFungsi Imej Bunga dalam Pantun

Tinggalkan Balasan