Oleh : Mu’jizah
Pendahuluan
Pantun salah satu khazanah sastra Melayu yang dikenal di Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand. Karya budaya ini bukti kesenangan orang Melayu dalam penggunaan bahasa yang indah dengan kata-kata yang terselubung dan sugestif. Kreativitas dalam berpantun memperlihatkan kecerdasan orang Melayu dalam berbahasa. Pantun ini digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengungkapkan perasaan dan pemikiran masyarakatnya.
Di Indonesia pantun tersebar di berbagai wilayah sesuai dengan ketersebaran suku Melayu, seperti di Sumatra: Kepulauan Riau, Riau daratan, Bengkalis, Jawa: Betawi, dan di Kalimantan: Banjarmasin, Pontianak, Sambas, dan Sintang, Sulawesi: Manado, Buton, dan wilayah lainnya seperti Ambon, Ternate, Tidore, bahkan sampai di Papua. Suku Melayu di Maluku menyebut pantun dengan pantong. Beberapa suku di Indonesia, selain Melayu, juga memilikinya, seperti Bugis-Makassar mempunyai elong, Jawa dan Sunda memiliki parikan, Bali mempunyai paparikan, Batak mempunyai umpasa. Menurut LiawYock Fang (1994 dikutip dari Prampolini, 1951) tradisi pantun juga dikenal di Eropa, seperti Spanyol dengan copla, Prancis dengan pantoum, dan Italia dengan ritornello-nya. Di Cina sejenis pantun disebut syi cing.
Pada awalnya pantun merupakan sastra lisan dan digunakan dalam berbagai ranah kehidupan. Dalam laman Yang Indah itu bahasa, Tenas Effendy mencipta Sejuta Pantun Melayu. Katanya “Di mana orang berkampung, di sana pantun bersambung. Di mana ada nikah kahwin di sana pantun dijalin. Di mana orang berunding di sana pantun bergandeng. Di mana orang bermuafakat di sana pantun diangkat. Di mana ada adat dibilang, di sana pantun diulang. Di mana adat di bahas di sana pantun dilepas”. Hal itu menandakan bahwa pantun merupakan tradisi yang kuat yang menjadi bagian dalam kehidupan. Ketika masyarakat mengenal sistem tulis, pantun direkam dalam tulisan dan membaginya atas bait: dua larik pertama sampiran dan dua larik berikutnya isi. Pantun dalam tradisi tulis pertama kali digunakan dalam Sejarah Melayu (Shellabear, 1928).
Telur itik dari Senggora
pandan terletak dilangkahi
darahnya titik di Singapura
badannya terhantar di Langkawi.
Dalam sastra klasik terdapat satu naskah berjudul “Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu” (Ml.370 dari W.276), Koleksi Perpustakaan Nasional). Balai Pustaka pernah juga menerbitkan buku Pantun Melayu (1978). Pantun juga terdapat dalam hikayat dan syair yang sering selipkan di antara cerita, seperti Hikayat Nakhoda Asyik dan Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak.
Kondisi pantun kini termarjinalisasikan, daya hidupnya menurun dan cenderung terancam. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan daya hidupnya, di antaranya melalui pencatatan dan pendaftaran. Pencatatan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) nasional dalam kategori tradisi dan ekspresi lisan oleh Dirjenbud. Meskipun banyak suku yang memiliki pantun, tetapi sampai 2018 hanya tiga daerah yang mencatat dan menetapkan pantun sebagai warisan budaya daerahnya, yakni (1) Pantun Betawi (warisan bersama, 2013 dengan No. Penetapan: 201300023), (2) Pantun Melayu (Kepri, 2014 dengan No. Penetapan: 201400111), (3) Pantun Atui (Riau, 2018 dengan No, Penetapan 201800645). Sadar akan kekayaan budaya ini, Indonesia sudah mengajukan pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda ke UNESCO (warisan budaya bersama dengan Malaysia) pada tahun 2018. Ajuan tersebut masih dalam proses perbaikan dan semoga tahun ini bisa ditetapkan.
Dalam rangka pengajuan tersebut, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) membuat Bunga Rampai Pantun yang ditulis oleh berbagai pakar pantun dari Asia Tenggara dan Belanda. Jika UNESCO telah menetapkan pantun sebagai warisan tak benda dari Indonesia dan Malaysia, Indonesia dan Malaysia sebagai negara pengusul sekaligus pemilik budaya tersebut, wajib mengembangkan, memelihara, dan merevitalisasi pantun. Hal itu dilakukan agar pantun hidup kembali dalam tradisinya sehingga daya hidup pantun dapat meningkat kembali.
Pantun sebagai Sebuah Tradisi
Pantun berasal dari akar kata tun, yang bermakna ‘baris’ atau ‘deret‘. Asal kata “pantun” dalam masyarakat Melayu-Minangkabau, diartikan sebagai ‘panuntun’ (penuntun) oleh masyarakat Riau disebut sebagai tunjuk ajar yang berkaitan dengan etika. Dalam pantun ditemukan ditemukan kehalusan budi, sopan santun, dan kebaikan orang Melayu, di antaranya untuk sabar, penuh hormat kepada orang lain, rendah hati, dan tulus. Di dalam masyarakat Melayu, pantun memiliki peran sosial yang penting sebagai alat komunikasi dalam kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi.
Sebagai karya sastra, pantun mempunyai nilai estetika, etika, dan logika yang mencerminkan kehidupan masyarakatnya. Estetika pantun sangat dirasakan jika dipertunjukan, misalnya dalam sebuah ritual adat atau pementasan yang lainnya. Di dalam alunan pantun terdapat musikalitas/melodi (struktur dan bunyi) yang dinyanyikan dengan ritme tertentu yang membentuk rentak, seperti beat dalam musik. Perangkat pementasan pantun diperindah oleh kostum, gerak, dan akting serta mimik para pemantunnya. Keindahan ritme tersebut diterjemahkan atau diinterpretasi ke dalam pantun tertulis menjadi bait, larik, dan rima.
Pantun tertulis terdiri atas satu bait atau lebih. Setiap bait terdiri atas empat larik dengan pola bunyi akhir a-b a-b kadang-kadang ada pantun dari suatu daerah berima a-a a-a (seperti syair). Larik pertama dan larik kedua merupakan sampiran, larik ketiga dan keempat merupakan isi (gagasan dan tanggapan yang hendak dinyatakan). Antara keduanya kadang memiliki kaitan arti dan kesejajaran bunyi. Tiap larik umumnya berisi empat kata dan masing-masing 8 sampai 12 suku kata.
Seuntai pantun tersebut memiliki keteraturan bunyinya, semua kata terkait berpasangan oleh pengulangan bunyi kata. Kata 1–9 dan 7–15 berpasangan ulangan kata lengkap: 2–10, 3–11, 4–12, 5–13, 6–14 berpasangan rima; dan 8–16 berpasangan rima dan asonansi. Dengan uraian itu, jelas sekali bahwa pantun memiliki kesamaan bunyi larik-lariknya (berpasangan). Wilkinson (1907, hlm. 53) pasangan-pasangan ini dianggap sebagai struktur pantun. Pembahasan itu diuraikan dengan rincian sebagai berikut.
1 | 2 | 3 | 4 |
jika | Dilurut | Pecah | batangnya |
5 | 6 | 7 | 8 |
disambar | Ayam | Dengan | bijinya |
9 | 10 | 11 | 12 |
jika | Diturut | Susah | datangnya |
13 | 14 | 15 | 16 |
menampar | Alam | Dengan | isinya |
Sampiran umumnya berupa lukisan alam dan sering berupa citraan dan simbolik. Citraan ini dipakai untuk membangun puitika yang berkaitan dengan hal-hal yang indah dan memiliki arti tertentu dalam kehidupan.
Di dalam pantun biasanya tergambar semua unsur kehidupan, seperti tanah, rumah, kebun, ladang, sawah, sungai, laut, gunung, hutan, pepohonan, buah-buahan, binatang, burung, ikan dan hal-hal yang ada dalam kehidupan keseharian. Nilai etika atau nilai moral biasanya berkaitan dengan adat istiadat/kebiasaan kearifan lokal, pemikiran, kepercayaan dan perasaan, termasuk cinta (Tuhan, nabi, sesama manusia, dan cinta kasih lelaki dan wanita). Pesan ini dimasukkan pada bagian sampiran. Nilai-nilai sangat terbuka luas diberikan pada bagian ini.
Pada bagian akhir Kitab Bustanul Katibin karya Raja Ali Haji diuraikan tentang pantun yang baik dan pantun yang cacad. “Bermula adapun pantun yaitu seperti tembangan sya’ir juga. Ada juga yang bagus saja‘nya ada juga yang [ca]cat dirasa dikit. Akan tetapi tidak ketara jika dibaca(k)nya dan jika disuratkan ketara juga. Adapun yang kurang sedikit bagusnya inilah misalnya yang tiada berbetulan saja‘nya pada pasangannya.
rumah bertangku di hulu
atapnya bata siak tenggiling
syaithan siapa datang mengaru
nasi ditana’ serasa lilin
Secara filosofis, pantun Melayu menjunjung tinggi berbagai nilai dalam kehidupan: keseimbangan, harmoni, dan fleksibilitas dalam interaksi hubungan manusia dan alam. Dalam hubungannya dengan alam, ia mencari harmoni, dan dipandang sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki hak dan caranya sendiri. Oleh karena itu, hubungan yang harmonis antara keduanya hanya dapat dicapai jika Pantun digunakan untuk mengekspresikan alam dan untuk belajar dari gerakan alam dan perilaku, seperti yang digarisbawahi dalam pepatah adat “alam terkembang menjadi guru”. Berikut beberapa contoh bentuk pantun di Indonesia
Apa guna pasang pelita,
kalau tidak ada sumbunya?
apa guna bermain mata,
kalau tidak ada sungguhnya? (Melayu)
Beli pepaye beratnya ditimbang
belinye di pasar Kramat Jati
roti buaye sebagai lambang
selalu setie sehidup semati (Melayu Betawi)
….
Roti buaye jumlahnye due
ade laki ade perempuan
selalu setie sampe tue
tak tergode jande dan perawan
Kaluak paku kacang belimbing
tampuruang lenggang-lenggangkan
anak dipangku kemanakan dibimbing
urang kampuang dipatenggangkan. (Pantun Minangkabau)
Cubadak ambiak kagulai
talatak di tengah padang
apo nan titah dipegawai
ditiliek dalam undang-undang
Sai sarion ma i antong di bonana,
Jala ranggason ma antong di punsuna
Sai unang ma antong idaonna rupa ni arta
Molo dilatehon arta ni so umboto sala (UmpasaPantun Batak)
Wong luwe ora kongang ngadeg
Wis suwe ora mangan gudheg
wani mbanting oleh dedeg
ayo mancing golek dheleg
saben dina sangu rantangan
isine rantang katon methuthuk
Aku pancen bubar mangan
ning ora mangan gethuk (Parikan/Jawa)
Tuttumpaja riajapi
Bulupi tasi’ede
Kuaddampeng soro
Setelah bintang kejora di barat
Laut menjadi gunung
Baru aku menarik diri (Elong Bugis)
Kuatnya tradisi pantun pada masa lalu dibuktikan dengan banyaknya pakar yang membahas pantun, terutama pada awal abad ke-19. Branstetter, seorang sarjana berkebangsaan Swiss membahas asal usul pantun. Pakar lainnya Pijnappel (1883), C.A. Van Ophuijsen (1904) , Wilkinson (1907), Overbeck (1914), Hoesein Djajadiningrat (1933), Winstrdet (1958), Braginsky, (1998), dan Teuku Iskandar (1999). Para pakar ini membas aneka persoalan berkaitan dengan pantun, di antaranya hubungan antara sampiran dan isi serta keindahan lainnya.
Masa kejayaan pantun tampaknya mulai terputus saat ini karena sikap masyarakat telah berubah sesuai dengan perkembangan zaman, masyarakat global banyak mengalihkan perhatian dari tradisi ke sesuatu yang modern. Di sisi lain generasi tua, para pemantun, tidak mengajarkan lagi kepada anak-anaknya, ranah tempat tradisi pantun hidup juga sudah banyak yang hilang. Kondisi ini membuat pantun semakin lemah posisinya dan mulai terancam.
Kondisi ini semoga segera disadari masyarakat pemiliknya. Untuk itu, beberapa pakar dan komunitas mengumpulkan pantun dan menginventarisasinya. Salah satu kumpulan pantun yang dapat dirujuk adalah Kurik Kundi Saga Merah, Kumpulan Pantun Melayu, dan beberapa laman dalam dunia digital mulai melestarikan pantun dalam bentuk inventarisasi pantun.
Jejak Pantun dan Transformasinya dalam Sastra Indonesia
Dalam perjalanan sejarahnya, pantun di Indonesia mengalami masa pasang surut. Pasang dan populer pada masanya lalu surut pada masa kini. Tradisi pantun termarginalisasikan, ditinggal oleh masyarakat dan para penerusnya. Hanya ada beberapa pemantun yang masih setia mengawal kekayaan budaya ini, seperti Mumammad Ali di Kepri, Albatawi, di Betawi.
Jika kita melihat jejak pantun dalam karya sastra, khususnya puisi, sedikit sekali sastrawan Indonesia yang meneruskan tradisi pantun dalam karyanya. Beberapa sastrawan yang yang melanjutkan ini dalam tradisi bersastranya, antara lain Hartojo Andangdjaja, Soebagio Sastrowardojo, dan Sitor Situmorang. Jejak pantun dalam sajak Hartojo Andangdjaja pada puisinya yang berjudul “Pantun Memori”. Perhatikan bait dan larik sajak tersebut berikut ini.
Pantun Memori
.....Buat nisan ibunda
Kembang kutabur dalam ziarah
kembang cintaku salamku yang ramah
Begitu kau berkubur dan kita pun berpisah
dekat padamu merangkul nenek marhumah
Bayang-bayang sepi dan hati menunduk di sini
dan jauh di seberang kali ada orang mengaji
Begitu kau pergi aku mengangguk mengerti:
mati ialah janji, sudah terpahat dalam diri
Burung pun pulang ke sarangnya karena senja tiba
ada cahaya yang meredup kembali menyala di pokok kemboja
Begitu kau rela demi usia yang tua
terlalu tua buat hidup yang selalu meremaja
Meskipun dalam sajak tersebut bernada pantun, tetapi, tidak seutuhnya lagi pantun. Rima puisi itu adalah aa-aa, seperti syair. Dalam bait 1, bait 2, dan bait 3 terdapat layaknya sampiran dan isi. Sampiran pun masih menggunakan benda-benda alam. Namun, jumlah kata tidak lagi tetap dalam 1 larik empat kata, tetapi ada kebebasan dalam jumlah kata. Masih terlihat hubungan makna antara sampiran dan isi, misalnya antara ziarah dan berkubur. Sajak Hartojo Andangdjaja lainnya berjudul “1964”
1964
Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang lembut bernama puisi
ketika, seperti Brecht pernah berkata:
bicara tentang pohon pun hampir suatu dosa
di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang sayup bernama puisi
ketika, seperti kini kita derita:
bicara tentang kebenaran adalah dosa
maka aku pun tahu kini
kenapa Voltaire dibenci
tinggal ia di Ferney, di bumi Swiss
jauh dari Perancis
maka aku pun mengerti
kenapa Pasternak sepi sendiri
dan Mayakowsky
akhirnya bunuh diri
Rima dalam sajak tersebut adalah ab-ab. Jumlah kata sudah tidak beraturan dalam larik, ada yang 5, 4, 3, bahkan 2. Jejak sampiran dan isi masih ditemukan, hanya sampiran tidak lagi bermain dengan kosa kata bernuansa alam. Dalam sajak ini ditemukan paralelisme antara bait 1 dan 2 dan pada tiap larik dalam bait-bait tersebut.
Jejak pantun juga ditemukan dalam sajak Sitor Situmorang dalam sajaknya yang berjudul “Surat Kertas Hijau”. Dalam sajak ini dua bait pertama masih terdiri atas 4 larik, tetapi pada bait ketiga bait itu sudah terdiri atas 6 larik. Rima dalam bait pertama bersajak itu ab-ab dan pada bait kedia rimanya aa-aa. Dalam jumlah kata juga sudah terdapat kebebasan, kata dalam larik-larik tidak lagi empat kata, melainkan 5, 4, dan 3 kata.
Surat Kertas Hijau
Segala kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
Mengimbau dari seberang benua
Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan.
Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini Sebelum kapal dirapatkan.
Di samping kedua penyair tersebut terdapat juga penyair Sitor Situmorang yang dalam sajaknya masih terlihat bentuk pantun. Sajak dalam satu bait itu berbunyi seperti berikut.
Batu tandus di kebun anggur
pasir teduh di bawah nyiur
abang lenyap hatiku hancur
mengejar bayang di salju gugur
Pola pantun ditemukan juga dalam salah satu sajak Chairil Anwar yang berjudul “Derai Cemara”. Dalam sajak ini pada bait pertama rimanya aa-aa dan pada bait ke tiga rimanya ab-ab, dan pada bait ketiga ab-ab juga. Kata dalam tiap larik ada yang empat dan lima. Permainan bunyi masih sangat terasa dalam sajak ini.
Derai-Derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada satu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Penyair masa kini yang masih menerapkan pantun dalam karyanya di antaranya H. Iberamsyah Barbary dari Banjarmasin, Zahrudin Ali Al Batawi, Taslim dari Rokan dan Abdul Kadir Ibrahim (Akib) dari Kepulauan Riau. Perhatikan sajak dari penyair Iberamsyah Barbary dan Akib berikut ini.
Pancasila
Kesatria menaiki kuda jantan
Bangsawan bersama rembuk cedekia
Pancasila ideologi kesatuan
Berkedaulatan negara Republik Indonesia
Kesatria bersumpah siaga setia
Luar dalam dijaga ketat
Pancasila falsafah negara Indonesia
Dasar Hukum negara berdaulat
Akib dalam kumpulan dikunyahkan Rindu: Sergam Puisi Cinta. Milaz Grafika, 2019. Tanjung Pinang Abdul Kadir Ibrahim.
Sejati
Kalau berlayar sampai ke laut
Kalau berkayuh sampai ke Pulau
Kalau hajat jangan diugut
Kalau kerja usahakan dilampau//
//bukan angin daun mendesah
Bukan rindu terbayang gelinjang
Bukan menang karena bersalah
Bukan hidup merasa seorang//
//lupa diri bersebab iri
Lupa teman bersebab dengki
Lupa anak bini tersebab mimpi
Lupa nasib bersebab keji//
//berpuas diri karena janji
Lega hati karena budi
Berbuat bakti karena mati
Diulang lagi senapas rabbi
Tanjungpinang 9 Agustus 2019.
Selain pantun bertransformasi dalam sajak modern, pantun juga bertransformasi dalam bentuk lagu, terutama lagu dangdutnya Rhoma Irama. Penyanyi yang banyak memasukkan pantun dalam lagu-lagunya adalah Rhoma Irama dan Elvi Sukaesih, seperti lagu pantun cinta berikut ini.
Banyak bunga di taman Cuma
satu kupetik
banyak anak perawan Cuma
adik yang cantik
Banyak buah semangka dibawa
dalam sampan
banyak anak jejaka cuma
abang yang tampan
Berjuta bintang di langit
satu yang bercahaya
berjuta gadis yang cantik
adiklah yang kucinta
Pandai Abang merayu, hatiku rasa malu
rumah atapnya tinggi Terbuat dari bambu
cuma Adik kupilih dan yang
selalu kurindu
Gunung puncaknya tinggi
tertutup oleh salju
memang Abang kupilih dan
yang selalu kurindu
Pada masa kini, pantun juga bertransformasi ke dalam ranah yang lebih populer, seperti pantun yang muncul dalam acara TV untuk pembukaan Opera Van Jawa, Faceboker, dan acara musik “Dahsyat”. Dalam ranah ini pantun sering digunakan untuk bercanda.
Revitalisasi Pantun sebagai sebuah Tradisi
Pantun sebagai salah satu khazanah sastra di Indonesia patut dikembangkan sesuai dengan berbagai peraturan yang ada. Pengembangan yang dimaksud dalam hal ini adalah dibina dan dilindungi dengan berbagai cara, seperti penelitian, peningkatan jumlah pantun, penerjemahan, dan publikasinya. Sementara pembinaan berkaitan dengan peningkatan kreativitas dan apresiasi masyarakat, pelatihan, dan pelindungan berkaitan dengan pendataan, pendaftaran, konservasi, serta revitalisasi.
Revitalisasi berupa pemberdayaan kembali pantun. Upaya ini untuk membangkitkan kembali apresiasi dan daya hidup pantun dalam tradisi masyarakatnya. Cara yang dilakukan berupa pengajaran, baik formal maupun informal, serta nonformal. Pantun perlu diajarkan kembali kepada masyarakat masa kini, terutama generasi muda. Pengajaran pantun dapat menarik jika diajarkan oleh pemantun, para orang tua, kepala adat, dan maestronya yang mahir berpantun. Perlu dipikirkan cara transmisi yang sesuai dengan generasi kaum muda saat ini untuk menyenanginya.
Kegiatan lain yang sangat perlu dilakukan adalah inventarisasi, dokumentasi, pendaftaran pantun sebagai aset budaya. Kegiatan ini akan memancing memori masyarakat yang hampir melupakannya. Cara ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pelestarian pantun. Pencatatan pantun akan meningkatkan kesadaran dalam konservasi alam dan lingkungan seperti yang banyak terdapat dalam sampiran yang merujuk pada unsur-unsur lingkungan alam. Pantun dapat diucapkan oleh siapa saja tergantung pada ranahnya dan dapat digunakan kapan saja dalam kehidupan manusia.
Secara lokal dan nasional, pantun akan meningkatkan kebanggaan dan martabat para pemiliknya. Secara regional pantun dapat dijadikan perekat dalam meningkatkan kerja sama, terutama antara negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Thailand yang berkewajiban melestarikan warisan budaya ini bersama-sama. Secara global, pantun akan menarik perhatian dunia jika dilestarikan dan dimodifikasi serta diaktualisasikan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dokumentasi atas kekayaan pantun harus segera dilakukan. Pangkalan data dengan sistem digital (melalui laman) harus dikreasi. Siapa saja yang pandai berpantun dapat mnegisi laman ini dengan pantun-pantunnya. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran akan penting pantun sebagai kekayaan budaya di kalangan masyarakat. Data ini akan membuka wawasan dunia akan kekayaan pantun dan memberikan promosi sebagai warisan budaya takbenda terutama di negara serumpun Melayu. Dengan begitu, status pantun dapat memberinya prestise dan memperkuat rasa bangga, kasih sayang, dan penghargaan, khususnya orang Melayu terhadap Pantun.
Penutup
Pantun pada awalnya merupakan tradisi lisan. Tradisi ini berkembang ketika masyarakat Melayu mengenal sistem tulisan. Pantun dalam bentuk tulisan terekam dalam naskah atau sastra klasik. Pantun digunakan oleh masyarakat Melayu dalam berbagai ranah kehidupan. Pada kenyataannya bukan hanya orang Melayu yang memiliki khazanah pantun, beberapa suku juga mempunyai bentuk ini, seperti Sunda dan Jawa, Bugis-Makassar, dan Batak. Pantun saat ini sudah termarjinalkan dan daya hidupnya menurun. Untuk itu berbagai upaya perlu dilakukan untuk memelihara kekayaan budaya ini.
Pantun sama halnya karya sastra yang lain memiliki estetika. Estetika pantun sangat khas. Selain unsur keindahan pantun juga dijadikan penuntun dan tunjuk ajar yang memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat, berupa ajaran etika dan moral. Pantun sampai saat ini dilestraikan dengan berbagai cara, baik melalui pencatatan, pendaftaran, dokumentasi. Pantun juga harus direvitalisasi dan diaktualisasikan agar pantun tetap hidup dan berkembang sehingga daya hidupnya dapat meningkat.