Punya Perwakilan di Pulau Penyengat
Kehadiran majalah Peringatan sebagai pers (berbahasa Melayu) pertama dan sekaligus menjadi tonggak penting dalam sejarah pers di Kepulauan Riau pada tahun 1939, tidak lepas dari peranan dan pengaruh yang dimainkan Singapura sebagai tempat akhbar-akbar (surat kabar) berbahasa Melayu di rantau ini mula bertapak.
Tidaklah berlebihan bila mengatakan bahwa perjalanan sejarah pers awal di Kepulauan Riau mengambil jalan yang berbeda dari perjalanan sejarah pers di daerah lainnya di Indonesia: karena yang menjadi rujukan dan “kiblat” para perintis sejarah pers awal di Kepulauan Riau di Tanjungpinang pada awal-awal abad ke-20 bukanlah kota-kota pers yang penting di Jawa dan Sumatra, akan tetapi Singpura.
Hal ini bukan saja kerena letak geografis Kepulauan Riau yang memungkinkan komunikasi dengan Singapura pada masa lalu lebih mudah dan cepat jika dibandingan dengan “pusat denyut sejarah” di Sumatra dan Jawa, tapi juga karena kait-kelindan sejarahnya. Selain itu, sejak akhir akhir abad ke-19 hingga awal-awal abd ke-20, Singapura yang telah berkembang menjadi salah satu bandar penting di rantau ini, dan telah tampil sebagai tempat berseminya “gagasan-gagasan” kemajuan dan pembaharuan di kalangan “generasi Melayu baru” yang sedang berdepan-depan dengan dengan “kuasa Barat” sebagaimana telah didedahkan oleh William R. Roff dalam bukunya yang sangat terkenal, The Origins of Malay Nationalism (1975).

Halaman muka Akhbar Jawi Perenakan edisi Nomor 214, 28 Maret 1881. (foto: dok. aswandi)
Laman kutubkhnah minggu ini akan menyibak peran Singapura yang penting artinya bagi awal sejarah pers (berbahasa Melayu) di Kepulauan Riau melalui sebuah akhbar (surat kabar) bernama Jawi Peranakan yang sangat terkenal dan telah ditahbiskan sebagai surat kabar berbahasa Melayu pertama dalam sejarah pers Melayu di Alam Melayu.
Seperti tergambar dari namanya, akhbar berbahasa Melayu pertama yang terbit di Singpura ini diterbitkan oleh sekelompok orang Islam keturunan India (anak-anak kacukan, yang berasal dari perempuan Melayu yang menikah dengan laki-laki India muslim, terutama yang berasal dari Malbari atau Malabar). Dari merekalah lahir kelompok masyarakat yang disebut jawi perenakan.
Seperti halnya sejarah penerbitan dan pencetakan buku-buku berbahasa Melayu, sejarah awal pers di Negeri-Negeri Selat (Singapura-Pulau Pinang-Melaka) dan Kepulauan Riau, tak lepas dari peranan kelompok masyarakat jawi peranakan yang telah banyak melahirkan munsyi-munsyi sekelas Abdullah bin Abdulkadir Munsyi yang terkenal itu.
Demikianlah, pada tahun 1876, beberapa munsyi terpelajar di Singapura berikhtiar menerbitkan sebuah akhbar (surat kabar) yang mereka beri nama Jawi Peranakan, yang kemudian tampil dengan gemilangnya dalam perjalanan perjalanan sejarah pers berbahasa Melayu di Alam Melayu.
Pada mulanya akhbar bersejarah yang bertahan hingga tahun 1896 ini dipimpin oleh Munsyi Alie al-Hindi. Selepas itu, tampuk pimpinan akbar ini kemudian diambil alih oleh Munsyi Muhammad Said bin Dadad Muhyiddin dengan dibantu oleh Haji Muhammad Siraj, seorang entrepreneur asal Jawa, pemilik pecetakan dan kedai buku terkenal di Singapura pada kahir abad ke ke-19 hingga tiga dekade pertama abad yang lalu.
Sebagai sebuah akhbar mingguan, Jawi Perenakan terbit setiap haris Isnin (Senin) tarikh Miladiah (tahun dan bulan Islam). Menurut Ahmad Adam (1994), Akbar Jawi Peranakan dicetak secara tipografis (menggunakan huruf timah) aksara jawi atau huruf Arab Melayu oleh Mathba’ah al_Saidi milik Muhammad Said yang beralamat di No. 431, Victoria Street (Kampung Gelam) Singapura.
Pada awalnya, Akhbar Jawi Peranakan menggunakan cogan kata “Tawakal Itu Sebaik-Baik Bekal” sebagai mottonya. Namun dalam perkembangannya (dalam tahun 1888, umpamanya) cogan kata itu diperbaharui menjadi “Tawakal Itu Sebaik-Baik Bekal Kepada Yang Berakal Peliharalah Sampai Kekal”.
Sebagai sebuah surat kabar berbahasa Melayu pertama di Singapura, Akhbar Jawi Peranakan tampaknya telah merintis sebuah pers yang positif dengan suguhan jurnalistik (pengkhabaran) yang objetif dan benar adanya. Dengan ungkapan yang berani dan menantang, hal ini ditegaskan oleh para pengelolanya dengan mencantumkan kalimat berikut ini pada setiap halaman pertama Akhbar Jawi Peranakan: “Adapun akhbar ini semata-mata benar pengkhabaran dan akhbar inilah yang dijadikan Tuhan tauladan diantara akhbar Melayu yang lain-lain itu adanya”.
Suguhan jurnalistiknya mencakupi berbagai hal semasa. Mulai dari berita politik dan pemerintahan hingga informasi penting berkenaan dengan ekonomi dan perdagangan semasa. Cakupan wilayah perkabarannya meliputi Singapura, Tanah Semenanjung, dan negeri-negeri serantau di Hindia Belanda yang penduduknya mampu membaca tulisan jawi atau Arab Melayu.
Seperti halnya Johor Baharu, Larut, Melaka, Pulau Pinang, Perak, Perlis, Tapah, Serawak (di Malaysia), Padang (Pulau Pertja atau Sumtara), dan Paris (Perancis), Kepulauan Riau-Lingga yang ketika itu merupakan wilayah Kerajaan Riau Lingga dan daerah zelfbestuur dalam pemerintahan Residentie van Riouw juga menjadi salah satu wilayah jangkauan jaringan sirkulasi Akhbar Jawi Peranakan ini.
Di Kepulauan Riau-Lingga akhbar Jawi Peranakan mempunyai perwakilan di Pulau Penyengat: yang terajunya dipercakan kepada Datuk Syahbar Riau, yakni salah seorang cucu Syahbandar Haji Ibrahim Orang Kaya Muda Riau, yang bernama Datuk Syahbandar Encik Ismail.
Melalui Datuk Syahbandar Encik Ismail inilah khalayak pembaca di Kepulauan Riau-Lingga yang menguasai tulisan jawi, paling tidak di Pulau Penyengat, untuk pertamakalinya berkenalan dengan pers modern berbahasa Melayu dalam arti yang sesungguhnya.
Selama sekitar dua puluh tahun kehadirannya di panggung sejarah pers berbahasa Melayu di Singapura dan Semenanjung, Akhbar Jawi Peranakan telah meninggalkan bekas yang mendalam dalam cara pandang orang Melayu terhadap situasi bangsa dan negerinya ketika itu. Sebagai pionir, kehadirannya telah memicu dan memberi laluan lahirnya enam belas pers Melayu lainnya di Singapura dan Semenanjung sepanjang akhir abad ke-19 hingga dua dekade pertama abad yang lalu.
Lantas apa yang membekas dari pengaruh akhbar Jawi Peranakan dalam sejarah pers berbahsa Melayu di Kepulauan Riau-Lingga? Sedikitpun saya tak meragukan bahwa keterlibatan orang seperti Raja Ali Kelana dan Khalid Hitam dalam majalah al-Imam yang diterbitkan oleh Syekh Muhammad Thahir dan kawan-kawan di Singapura pada trahun 1906, tidak terlepas pengaruh Akhbar Jawi Peranakan ini.
Sebagai sebuah proses berkelindan yang mengalir dalam ruang dan waktu, terbitnya Majalah Peringatan di Pulau Penyengat pada tahun 1939 tentu juga tak terlepas dari ‘saham sejarah’ yang telah ditanamkan oleh akhbar Jawi Perananakan melalui perwakilannya di Pulau Penyengat hingga tahun 1896.***