SETAKAT ini pendidikan karakter menjadi isu utama pemerintah, khasnya dalam bidang pendidikan. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak atau budi pekerti anak bangsa, pendidikan karakter pun diharapkan mampu menjadi asas (fondasi) utama untuk menyukseskan Indonesia Emas 2045. Suatu isu yang memikat dan bermartabat.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 13, ayat 1 disebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan informal, formal, dan nonformal. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan, yang berperan dan berkontribusi strategis dalam pencapaian keberhasilan pendidikan, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik. Pasalnya, 70 persen waktu peserta didik berada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh sebab itu, karakter anak-anak mencerminkan karakter keluarga dan masyarakatnya.
Berhubung dengan kewajiban menerapkan pendidikan karakter terhadap peserta didik, terlebih dahulu karakter keluarga dan masyarakat harus terpelihara sebagai contoh atau tauladan manusia yang berkarakter baik. Jika tidak, pendidikan karakter yang diperoleh peserta didik dalam pendidikan formal akan sia-sia belaka karena tak disokong oleh lingkungan sekitar yang kondusif.
Selama ini pendidikan informal, terutama di lingkungan keluarga, cenderung belum memberikan kontribusi yang berarti dalam menyokong pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Ironisnya, justeru, karakter individu peserta didik Indonesia, bahkan, terasa di ambang yang sangat mengkhawatirkan, khususnya di beberapa wilayah negeri ini, terutama di kota-kota.
Media cetak dan elektronik selalu menyoroti rekaman yang sungguh mengerikan berhubung dengan kekerasan yang dilakukan oleh peserta didik. Di antaranya yang menyayat hati adalah perilaku penyakatan (bullying), perampokan, pengedaran narkoba, sampai kepada pembunuhan. Selain itu, perkelahian massal kerap terjadi di kalangan pelajar, nyaris menjadi kebanggaan. Bahkan, tak jarang terjadi seseorang atau sekelompok peserta didik mencabar gurunya untuk berkelahi di ruang kelas. Lebih malangnya, dalam konteks yang disebut terakhir itu, ada pula orang tua yang mendukung perilaku negatif anaknya.
Sebenarnya, kesemuanya itu adalah masalah bersama kita sebagai bangsa. Oleh sebab itu, diperlukan penanggulangan yang tepat dan cepat. Slogan revolusi mental yang dikedepankan pemerintah pun seolah-olah tak mendapat perhatian yang memadai dan sungguh-sungguh. Ironisnya, realitas yang diperikan di atas, justeru, terjadi pada era slogan itu digaungkan secara luas kepada masyarakat.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)āsekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaanātelah menerbitkan Kebijakan Pendidikan Karakter melalui Rencana Aksi Nasional (2010ā2014). Dalam hal ini, pendidikan karakter adalah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, dan pendidikan watak. Tujuannya adalah mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang telah baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Kemendiknas, 2010; Pusat Kurikulum, 2010).
Sejalan dengan itu, Kemendiknas juga menetapkan tiga fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa, antara lain, (1) pengembangan, yakni mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi yang berperilaku baik, khasnya bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa, (2) perbaikan, yakni memperkuat peran pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermarwah atau bermartabat, dan (3) penyaring, yakni menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat (Kemendiknas, 2010; Pusat Kurikulum, 2010; Malik, 2014).
Untuk menangkal kejadian-kejadian seperti kekerasan dan perilaku negatif lainnya yang cenderung terjadi, perlu diupayakan secara bersungguh-sungguh pemahaman cara menanam dan menumbuhkan karakter seperti pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, dan pendidikan watak di lingkungan keluarga (Malik & Shanty, 2019; Zuriah, 2008). Sejalan dengan nilai-nilai itu, secara substantif, ada tiga unjuk perilaku yang saling berkaitan dan sangat mustahak bagi anak-anak, yakni: (1) moral knowing; (2) moral feeling; dan (3) moral behavior (Lickona, 2013). Kesemuanya itu harus diterapkan dalam pendidikan karakter.
Keluarga merupakan faktor internal yang palingberpengaruh terhadap perkembangan karakter anak-anak. Peran orang tua menjadi mata tombak yang sangat menentukan dalam pembentukan seseorang anak menjadi pribadi yang berkarakter positif. Akan tetapi, memang ada juga perspektif yang berbeda. Dalam hal ini, ada pendapat bahwa penentu seseorang anak-anak menjadi baik atau tidak tergantung pada guru. Pernyataan yang disebutkan terakhir itu dapat dipastikan tak sepenuhnya benar walaupun peran guru dalam pendidikan formal memang sangat signifikan dan tak boleh dinafikan. Hanya, guru tak mungkin bertepuk sebelah tangan tanpa sokongan yang berarti dari orang tua dan masyarakat.
Sebagian besar waktu kanak-kanak dihabiskan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Mereka merekam semua peristiwa yang terjadi hari demi hari di lingkungan sehingga tersimpan dengan baik dalam memori mereka. Hal ini sangat riskan. Pasalnya, semua kejadian itu terekam, baik positif maupun negatif. Di sinilah peran orang tua dan masyarakat sangat dipelukan untuk mengantisipasi hal itu, terutama pengalaman negatif (Malik, 2015). Oleh sebab itu, penerapan pendidikan karakter kepada anak-anak di lingkungan keluarga mesti dilaksanakan sejak dini.
Pemikiran tentang kewajiban memberikan pendidikan, termasuk dan lebih-lebih pendidikan karakter, terhadap anak-anak sesuai benar dengan kearifan yang tersurat dalam Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kesepuluh, bait 3, karya Raja Ali Haji rahimahullah (Haji, 1847).
Dengan anak janganlah lalai
Supaya boleh naik ke tengah balai
Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kesepuluh, bait 3, Raja Ali Haji
Dalam bait gurindam di atas terkandung amanat tentang kewajiban utama orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Orang tualah pihak pertama yang paling bertanggung jawab terhadap baik-buruk pendidikan dan, pada gilirannnya, karakter anak-anak mereka. Jika ibu-bapak gagal memberikan pendidikan yang baik, benar, dan bermanfaat, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter buruk seperti contoh-contoh perilaku negatif yang diperikan di atas, yang menerpa peserta didik kita.
Tentu, tugas itu selanjutnya terbebankan juga kepada masyarakat secara nonformal, terutama tentang contoh-contoh sikap dan perilaku yang baik dalam masyarakat sehingga dapat ditauladani oleh anak-anak. Dalam masyarakat yang selamba terhadap sebarang jenis penipuan, apa pun bentuknya misalnya, anak-anak tak mendapatkan contoh perilaku yang berkarakter baik sehingga praktik menipu mereka anggap biasa atau normal saja. Begitu pulalah perilaku negatif lainnya.
Selanjutnya, guru secara formal memang ditugasi untuk melaksanakan tanggung jawab mulia itu sesuai dengan profesi mereka. Dalam hal ini, pendidikan akademik dan pendidikan karakter harus diberikan kepada peserta didik secara proporsional. Semakin rendah jenjang pendidikannya, porsi pendidikan karakter seyogianya lebih banyak daripada pendidikan akademik.
Di negara-negara maju, bahkan, masalah karakter telah selesai begitu anak-anak menamatkan pendidikan dasar. Artinya, anak-anak tamatan sekolah dasar telah berasa sangat malu untuk berbuat kesalahan, baik secara hukum, sosial, maupun moral. Itulah sebabnya, di Jepang, misalnya, seseorang pejabat yang baru menjadi tertuga berbuat kesalahan, dengan suka rela mengundurkan diri dari jabatannya.
Berhubung dengan guru pula, ada baiknya dihayati nasihat Gurindam Dua Belas, Pasal yang Keenam, bait 2.
Cahari olehmu akan guru
Yang boleh tahukan tiap seteru
Gurindam Dua Belas, Pasal yang Keenam, bait 2
Setiap guru–sejati seyogianya mampu memberikan pedoman dan tauladan bersikap, bertutur, dan berperilaku kepada anak didiknya. Dia tak hanya sekadar mengajarkan anak didiknya tentang ilmu-pengetahuan atau pendidikan akademik saja. Lebih daripada itu, guru yang sebenarnya guru mampu membentuk karakter anak didiknya menjadi manusia yang berkarakter terala (luhur dan mulia) dengan guru itu sendiri sebagai contoh terbaiknya.
Pokok-pangkal tentang pendidikan anak-anak, terutama pendidikan karakter, memang tertumpu kepada orang tua. Perkara itu telah ditunjukkan dengan sangat jelas oleh Rasulullah SAW dalam salah satu hadits Baginda.
Rasulullah SAW bersabda, āApabila seseorang telah meninggal dunia, maka putuslah seluruh amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya,ā (H.R. Muslim).
Hanya anak-anak yang berkarakter baik yang dapat menjadi anak shalih. Anak-anak dengan kualitas unggul itu baru wujud kalau mendapat pendidikan yang benar dan baik dari orang tuanya, sama ada pendidikan duniawi ataupun pendidikan agama. Pada akhirnya, anak-anak yang berkarakter shalih itu pulalah yang dapat menyelamatkan orang tuanya dalam persidangan akhirat di hadapan Sang Khalik dengan doanya, bukan anak yang berkarakter buruk.
Bersabit dengan pentingnya, Tim Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji telah beberapa kali melakukan sosialisasi tentang pendidikan karakter di lingkungan keluarga masyarakat Kota Tanjungpinang. Pelaksanaannya melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat, yang menjadi salah satu darma dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kegiatan yang dilaksanakan, terutama, dalam bentuk (1) sosialisasi tentang pendidikan karakter dan (2) pelatihan implementasi pendidikan karakter di lingkungan keluarga.
Pelaksanaan kegiatan umumnya meliputi empat aktivitas utama. Pertama, sosialisasi, yakni memberikan sosialisasi tentang pendidikan karakter kepada para peserta; kedua, pelatihan implementasi, yakni melatih para peserta mengimplementasikan pendidikan karakter kepada anak-anak di lingkungan keluarga; ketiga, penerapan, yakni para peserta melaksanakan pendidikan karakter kepada anak-anak dan atau adik-adiknya masing-masing; dan keempat, pemantauan, yakni pelaksana memantau semua aktivitas peserta dari awal sampai akhir kegiatan seraya dilakukan penilaian berdasarkan tanya-jawab, diskusi, dan praktik impelemtasi yang dilaksanakan oleh peserta.
Dalam kegiatan itu, delapan belas nilai karakter diterapkan di lingkungan keluarga. Nilai-nilai karakter itu adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Pusat Kurikulum, 2010; Zuriah, 2008).
Implementasi pendidikan karakter itu diintegrasikan dengan kearifan lokal yang terdapat di dalam masyarakat. Unsur budaya Melayu yang ada di Kepulauan Riau sangat kaya akan nilai pendidikan karakter. Kesemuanya itu dapat digunakan sebagai bahan atau sumber pendidikan karakter, antara lain, (1) lagu mengulik (mendodoikan anak), (2) lagu-lagu tradisional, (3) pantun, (3) syair, (4) gurindam, (5) cerita rakyat, (6) petatah-petitih, (7) tarian tradisional, (8) pantang-larang, (9) teater tradisional: bangsawan, mendu, makyong, dan lain-lain.
Selama kegiatan berlangsung, diperoleh banyak keluhan yang disampaikan para orang tua tentang gejala anak-anak mereka yang semakin kurang positif karakternya. Tak jarang pula para orang tua agak kewalahan menghadapi gejala negatif yang dialami oleh anak-anak mereka. Tambahan lagi, para orang tua memang tak memahami program pemerintah tentang pendidikan karakter di lingkungan keluarga. Alhasil, mereka tak memahiri penerapan sistematis pendidikan karakter kepada anak-anak.
Kenyataan yang agak membimbangkan itu menunjukkan gejala ini. Program pendidikan karakter yang diandalkan oleh pemerintah belum tersosialisasikan dengan baik di lingkungan keluarga dan masyarakat. Data ini menjadi kejutan tersendiri. Sebelum dilaksanakan kegiatan, penguasaan peserta (orang tua) tentang pendidikan karakter hanya 44 persen. Indikatornya meliputi pengetahuan, pemahaman, kemahiran, kebiasaan, dan sikap dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di rumah tangga. Di dalamnya termasuklah penguasaan dan kemahiran menerapkan kearifan lokal budaya daerah untuk pendidikan karakter anak-anak.
Alhamdulillah, setelah dilaksanakan pelatihan sekitar tiga bulan, persentase itu naik secara signifikan. Dalam hal ini, kenaikan rata-ratanya 47 persen sehingga para orang tua yang menguasai pendidikan karakter menjadi rata-rata 91 persen untuk semua indikatornya. Kenyataan itu membuktikan lagi bahwa sebenarnya para orang tua tak terlalu asing terhadap pendidikan karakter, lebih-lebih yang nilai-nilainya terdapat dalam kearifan lokal budaya mereka. Persoalannya hanyalah mereka kurang menyadarinya selama ini dan tak terbiasa menerapkannya secara sistematis dalam pendidikan anak-anak di rumah tangga.
Berhubung dengan fakta yang ditemukan itu, para pihak yang berkepentingan, terutama pemerintah, hendaklah memperhatikan perkara ini secara bersungguh-sungguh. Pertama, pendidikan karakter harus lebih intensif disosialisasikan kepada masyarakat. Pasalnya, sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya memahami cara menerapkannya dalam pendidikan informal di lingkungan keluarga. Kedua, nilai-nilai karakter yang terdapat dalam kearifan lokal tempatan seyogianya terus digali agar dapat diterapkan dalam program pendidikan karakter di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, sumber pendidikan karakter benar-benar berasal dari budaya positif masyarakat. Alhasil, anak-anak tak berasa asing dengan materi yang diterapkan kepada mereka.
āWahai, orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan(-Nya),ā (Q.S. At-Tahrim, 6).
Memelihara keluarga, khasnya anak-anak, memang menjadi tanggung jawab kita bersama. Untuk itu, pendidikan karakter harus diterapkan sejak anak-anak masih dini usianya. Jadilah tauladan yang elok bagi anak-anak kita. Berhentilah berpura-pura dan bercitra semu yang tak ada faedahnya. Hanya dengan cara itu kita akan berjaya mewujudkan generasi Indonesia Emas 2045.
Janganlah kesemuanya itu menjadi slogan kosong sebagai penghias bibir belaka. Pasalnya, generasi anak-cucu kita yang akan menanggung beban dan padahnya. Entahlah kalau kita memang tak lagi menaruh setetes kasih pun kepada mereka.***