Barisan korps sukarelawan (vijwilligerskorps) Kerajaan Riau-Lingga yang dipimpin oleh Tengku Besar Umar. Berbaris Padang Semen di depan Istana Keraton di Pulau Penyengat tahun 1910. (foto: dok. aswandi syahri)

Sekitar setahun setelah penandatanganan kontrak politik (Contract met Lingga, Riouw en Onderhoorigheden) oleh Sultan Abdulrahman Muazamsyah dari Kerajaan Riau-Lingga dan Resident Riouw, William Albert de Kanter, dari pihak pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 18 Mei 1905 , hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda di Tanjungpinang dan istana Riau-Lingga di Pulau Penyengat semakin genting.

Isi kontrak politik itu menjadi salah satu isu penting yang dibahas dalam meeting kelompok oposisi (verzerpartij), yakni para anggota Rusydiah Club Riouw Pulau Penyengat, yang dipimpin oleh Raja Ali bekas Kelana Riau-Lingga (mantan calon Yang Dipertuan Muda Riau) di kediamannya di Bukit Bahjah, Pulau Penyengat. Lebih-lebih sejak pihak pemerintah Hindia Belanda mengusulkan sebuah “kontrak politik baru” yang akan menggantikan kontrak politik yang dibuat tahun 1905 itu.

Raja Ali bekas Kelana dan anggota Rusydiah Club Riouw Pulau Penyengat yang menjadi teras utama kelompok oposisi ini  selalu memperbandingkan keadaan kerajaan Riau-Lingga saat itu dengan masa-masa kejayaannya di masa lalu. Mereka juga selalu memberikan pandangan-pandangan politis dan pemahaman kepada Sultan Riau-Lingga, Sultan Abdulrahman Mu’azzamsyah, dengan mengatakan bahwa selama ini baginda Sultan tidak hanya telah banyak menyerahkan uang, tapi juga harga diri dan marwahnya kepada pemerintah Hindia Belanda.

Ketegangan politik antara Kerejaan Riau-Lingga dan Resident Riouw (yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah Hindia Belanda di Kerajaan Riau-Lingga) mencapai puncaknya ketika kelompok oposisi pimpinan Raja Ali bekas Kelana (melalui Tengku Besar Umar) berhasil merubah fikiran Sultan Abdulrahman.  Sultan akhirnya menolak menandatangani kontrak politik “baru” tahun 1910 dan menarik semua komitmennya dengan pemerintah Hindia Belanda. Menurut pandangan kelompok oposisi dari Bukit Bahjah, kontrak politik yang baru itu akan semakin menghilangkan wibawa dan kekuasaan Sultan Riau-Lingga. Jika kontrak politik pengganti itu ditandatangani, maka status Kerajaan Riau-Lingga dan daerah takluknya tidak lagi sekedar kerajaan pinjaman (leenrijk) di mata pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi menjadi wilayah takluk Belanda dalam pengertian yang sesungguhnya:  menjadi daerah yang diperintah Belanda secara langsung (rechtstreekbestuur).

E.B. Kielstra dalam laporannya yang berjudul Nederland’s betrekkingen tot Riouw (1912), yang terbit sekitar setahun setelah pemakzulan Sultan dan Tengku Besar Kerajaan Riau-Lingga, mancatat adanya perubahan besar dalam sikap politik Kerajaan Riau Lingga itu mulai tampak sejak tahun 1906. Sejak saat itu dan seterusnya, perlahan-lahan Kerajaan Riau-Lingga mulai mengabaikan peringatan serius perihal bendera (penggunaan bendera Riau-Lingga dan bendera Belanda) yang pernah disampaikan langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Willem Rooseboom, kepada Sultan Abdulrahman Muazamsyah dan Raja Ali Kelana ketika keduanya memenuhi panggilan “wakil raja Belanda” tersebut di istana Gubernur Jenderal di Bogor pada tahun 1903. Bahkan Sultan Abdulrahman telah melupakan permohonan maaf terkait pengabaian bendera Belanda pada tahun 1902 yang pernah disampaikannya secara langsung kepada Gubernur Jenderal Willem Rooseboom di Bogor pada tahun 1903.

Setelah tahun 1906, bebepaka kali terjadi tindakan pengabaian teradap bendera Belanda. Di kapalnya, Sultan Abdulrahman Mazamsyah memasang panji-panjinya tanpa didampingi Bendera Belanda. Bendera Kerajaan Riau-Lingga, bendera putih bertengkuk hitam,  juga pernah dipasang di tiang bendera Istana Kedaton tanpa didampingi oleh bendera Belanda ketika Resident Riouw mengunjungi istana Sultan yang terletak di Pulau Penyengat itu. Bahkan, pada tahun 1910, Tengku Besar Kerajaan Riau-Lingga telah mempunyai bendera sendiri tanpa sepengatahuan Resident Riouw.

Sikap perlawanan itu tidak hanya ditunjukkan melalui penggunaan bendera. Pada tahun yang sama (1910), di Pulau Penyengat ditubuhkan sebuah perkumpulan yang disamarkan sebegai perkumpulan olahraga (sportvereeniging) yang dengan cepat beralih fungsi menjadi korps sukarelawan (vijwilligerskorps). Korps sukarelawan ini dilatih oleh aggota keluarga dari Kerajaan Johor di Semenanjung dan dipimpin langsung oleh Tengku Besar Umar. “Yang lainnya dalam proses pembentukan, benar-benar diluar pemerintahan kita, semua pengawal seperti tak bersalah bekerja besuka-suka, ekspresi kesombongan tampak; disini mereka tanpa ragu-ragu, terutama ketika tahu bahwa Tengku Besar (calon pengganti Sultan) terikat ba’iat dengan pihak yang bermusuhan dengan kita (pihak Rusydiah Club Riouw Pulau Penyengat)”, tulis E.B. Kielastra.

Reaksi-reaksi dan sikap politik yang diperlihatkan oleh kelompok oposisi dari Bukit Bahjah ini telah membuka laluan bagi Resident Riouw di Tanjungpinang untuk memulai dan memutuskan sebuah kebijakan dan tindakan politik baru: antara lain dengan mengawasi secara langsung segala pergerakan dan manuver politik istana Riau-Lingga dan daerah takluknya, yang kelak bermuara pada sebuah tindak militer dan politik berupa pemakzulan Sultan, dan Tengku Besar (calon pengganti Sultan), yang kelak, diikuti dengan penghapusan Kerajaan Riau-Lingga.

Keputusan untuk melaksanakan tindakan politik dan militer itu akhirnya benar-benar terjadi pada pagi hari Rabu tanggal 3 Februari 1911. Hampir semua surat kabar besar yang terbit Negeri Belanda dan Batavia ketika itu, melaporkan bahwa situasi dan hubungan politik antara Kerajaan Riau-Lingga dan pemerintah Hindia Belanda ketika telah berada pada taraf konflik, yang “titik didih” tertingginya terjadi pada 11 Februari 1911.

Surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant yang terbit di Rotterdam pada 11 Februari 1911, umpamanya, melaporkan pergerakan tiga kapal uap Koetai, Java, dan Tromp yang dikirim dari Pulau Jawa. Dengan moncong meriam yang diarahkan ke Pulau Penyengat, ketiga kapal perang Angkatan Laut Hindia Belanda itu menggelar formasi tempur di Kuala Riau (perairan antara Tanjungpinang dan Pulau penyengat) dan di laut depan Keraton Kerajaan Riau-Lingga di Pulau Penyengat,

Di atas ketiga kapal perang itu telah bersiap pasukan marechaussee (marsose), pasukan elit seperti yang pernah digunakan untuk mengakhiri perlawanan Rakyat Aceh tahun 1903, yang akan mendarat dan mengepung sejumlah tempat di Pulau Penyengat. Dapatlah dibayangkan betapa mencekamnya situasi ketika itu. Ditambah pula, ketika tindakan militer pemerintah Hindia Belanda ini dilakukan, Sultan Abdulrahman sedang berada di  Daik-Lingga.

Rakyat ketakutan. Surat Pemberitahuan yang isi antara lain mengingatkan agar penduduk Pulau Penyengat tidak melawan ditempelkan di sejumlah tempat. Selanjuynya, serdadu-serdadu marechaussee yang telah berjaga-jaga di Pulau Penyengat mulai mengepung Istana Kedaton, Istana Tengku Besar, istana bekas Kelana Raja Ali di Bukit Bahjah, serta tempat-tempat lainnya di Pulau Penyengat.

Apa sebenarnya yang terjadi di sebalik suasana yang mencekam itu semakin jelas setelah Controleur H.N. Veemstra datang dari Tanjungpinang membawa sepucuk surat pemberitahuan dari Resident Riouw ketika itu, G.F. de Bruinyskop. Surat  yang dibacakan di gedung Perdirian Rusydiah Club Riouw Pulau Penyengat itu menyatakan sebagai berikut :

Dengan nama Jang Dipertuan Besar Governeur General Betawi  dichabarkan Maka adalah Seri Paduka  Governement  Hindia Nederland menimbang fardu, ini hari djuga  Sri Padoeka Tuan Sultan Abdulrahman Mu’adzam Syah dan Tengku Umar  Kerajaan Riau Lingga serta daerah takluknya diberhentikan dari pada pangkatnya itu.

Maka tuan Sultan diberhentikan dari pangkatnya itu sebab banjak kali melanggar Politik Contract; beberapa kali djuga diberi nasehat oleh Sri  Paduka Governeur Generaal Betawi dan Sri Padoeka Toean Besar Resident Tanjoeng Pinang. Maka itu dengan tiada Tuan Sultan mengindahkan atau mengingatkan perdjandjian yang akan mengubahkan apa-apa jang tiada patut itu. Dan tiada sekali-kali  akan melanggar Polotik Contract lagi dan menurat segala perintah  dan aturan Sri Padoeka  Gouverneur dan wakilnya.

Dan djuga Tuan Sultan hendak menjalankan dan mengaturkan bersama-sama Wakil Governeur pemerintah yang adil dalam negerinya. Maka mungkirlah ia didalam perjanjiannya dan juga melanggar aturan yang menentang pasal memakai Bendera Holanda.

Maka Tengku Besar diberhentikan dari pangkatnya itu disebabnya sekali ianya mengikutkan orang yang berniat bemusuhan dengan Sri Padoeka Governeur Hindia Nederland dan ialah membujuk sampai anjurannya tidak menghindahkan sekalian nasehat Wakil Sri Padoeka Governeur itu. Maka itu Tuan Sultan juga sama sekali mengikutkan orang yang berniat kejahatan itu.

Maka mengikut pasal 6 ayat pada politik Contract t tahun 1905 maka ketiadaan Sultan maka pemerintahan itu di pengang oleh kita Sri Padoeka Toean Besar Resident Riouw dengan daerah takluknya sekalian.

Maka sekarang segala kepala-kepala dan Bumi putra dari kerajaan Riau Lingga dengan daerah takluknya sekalian hendaklah mengaku dengan sesungguhnya akan menjungjung dan  menghormati. Maka Sri Padoeka Toean Resident Riouw Lingga dengan daerah takluknya sekalianya yang memengang dengan sjah  pangkat Sultan di dalam kerajaan ini.

Maka pemerintah  ini akan dipeganag dengan segala keadilan  dan apa juga dijalankan suapya negeri-negeri di bawah pemerintah kita ini bertambah-bertambah dengan Keramaian dan kesentosaan, maka hendaklah kepala-kepala menolong kita didalam pekerjaan ini.”                                                                         

Oleh karena Sultan Abdulrahman Muazamsyah berada di di Daik-Lingga, maka Resident Riouw, G.F. de Bruynskop, memerintahkan Controluer P. Scheffer berangkat ke Daik-Lingga untuk memberitahukannya kepada  Sultan Abdulrahman Muazamsyah.

Sumber lisan di Pulau Peyngat dan jurnal (catatan harian) Abang Djahja, Datuk Syahbandar Lingga, mencatat adanya sebuah upaya perlawanan dari pihak istana Riau-Lingga. Bahkan dari tangan tokoh-tokoh utama dalam lingkaran kelopok perlawanan dari Bukit Bahjah, seperti Raja Ali Kelana serta Raja Khalid Hitam, disita sejumlah senjata api. Namun demikian, laporan-laporan surat kabar sezaman menyebutkan tidak terjadi kerususan (de rust niet is gestoord). Regalia alat-alat kebesaran kerajaan diserahkan kepada Belanda dan disimpan di kediamaan Resident Riouw di Tanjungpinang.

Menyusul tindakan militer dan kebijakan politik Belanda ini, terjadi exodus besar-besaran penduduk Kerajaan Riau-Lingga dan daerah takluknya ke Singapura dan Johor. Pada malam Sabtu 12 Februari 1911, dengan menggunakan kapal diraja bernama Sri Daik yang dinakhodai oleh Nakhoda Ninggal atau Wak Serang, Sultan Abdulrahman Mu’azzamsyah bersama Tengku Ampuan permaisuri baginda dan serta sanak keluarganya juga meninggalkan Pulau Penyengat menuju Singapura. Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam, dan anggota kelompok oposisi dari Bukit Bahjah menyusul beberapa hari kemudian.

Selanjutnya, dua tahun kemudian, berakhirlah kerajaan Riau-Lingga dan daerah takluknya setelah pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang penghapusan Kerajaan  Riau-Lingga pada tahun 1913 yang kemudian diumumkan dalam stadblad  (Lembaran Negara) No. 19 tahun 1913.***

Artikel SebelumDua Versi Gurindam Dua Belas
Artikel BerikutKitab Panduan Kanak-Kanak
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan