SETELAH sekian lama di Bintan, pusat kerajaan itu dipindahkan ke Temasik atau dikenal dengan nama barunya Singapura (dari singa pura-pura). Nama baru itu diberikan oleh penguasanya kala itu, Raja Seri Teri Buana, yang memindahkan pusat kerajaannya ke Singapura pada 1324. Semua pembesar kerajaan berpindah ke Singapura, termasuk Raja Seri Teri Buana, menterinya Demang Lebar Daun (mantan Raja Palembang yang menjadi mertua Seri Teri Buana, yang berhijrah ke Bintan bersama menantunya itu sekira 1270-an), Wan Seri Beni (ibu angkat Seri Teri Buana sekaligus mertuanya juga dan mantan Raja Bintan), serta pembesar kerajaan itu sekaliannya. Ringkasnya, semua pembesar kerajaan berhijrah ke Singapura bersama rajanya sehingga di Bintan tak ada lagi pemimpin tinggi, kecuali pemimpin setingkat Datuk Kaya (lebih kurang setara bupati saja dalam sistem pemerintahan sekarang). Tak berapa lama antaranya Datuk Demang Lebar Daun, Wan Seri Beni, para menteri senior, dan diikuti beberapa tahun kemudian oleh Raja Seri Teri Buana pun mangkat di Singapura dan mereka semuanya dimakamkan di Bukit Singapura.
Setelah sekian kali pergantian raja, dari anak ke cucu, dari cucu ke cicit Seri Teri Buana atau Sang Nila Utama, sampailah generasi piut Baginda yang memerintah Kerajaan Bintan-Temasik yang berpusat di Singapura itu. Namanya Raja Parameswara atau Iskandar Syah. Lebih kurang 30 tahun Baginda memerintah, terjadilah tragedi Singapura direbut oleh Majapahit sekitar 1376 karena kerajaan dari Jawa itu mulai melebarkan kekuasaannya di nusantara kala itu. Berkenaan dengan jatuhnya Singapura, bukanlah kehebatan Majapahit yang menjadi punca utamanya, melainkan ada perkara yang lebih daripada sekadar itu. Raja Ahmad Engku Haji Tua dan Raja Ali Haji rahimahullah menuturkannya di dalam karya sejarah mereka Tuhfat al-Nafis tentang duduk perkara yang sebenarnya.
“Syahadan apabila mangkatlah Paduka Seri Maharaja itu, maka menggantikan kerajaannya puteranya yang bernama Raja Iskandar Syah, dan Raja Iskandar Syah inilah negeri Singapura dialahkan oleh Raja Manjapahit (sic). Adalah sebabnya itu Raja Iskandar Syah ada menaruh seorang gundiknya (baca: istri sah yang bukan istri gahara, bukan ‘istri pertama atau permaisuri’, HAM) daripada anak menterinya yang bernama Sang Rajuna Tapa, yang bergelar Penghulu Bendahari. Maka difitnahkan oleh seorang daripada gundiknya jua mengatakan gundik baginda anak Penghulu Bendahari bermukah (baca: berselingkuh, HAM) dengan seorang laki-laki. Maka murkalah Raja Iskandar Syah akan gundiknya anak Penghulu Bendahari itu, lalu disuruhnya seorang membunuhnya. Kemudian disuruhkannya pula pancungkan di Hujung Pasir, padahal pekerjaannya itu tiada dengan usul periksa lagi,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 3).
Itulah punca tragedi tersebut. Raja Parameswara atau Iskandar Syah membunuh istrinya tanpa usul periksa. Baginda hanya mendengarkan fitnah dari orang lain yang iri kepada istrinya yang tak lain juga putri Sang Rajuna Tapa Penghulu Bendahari. Dibakar oleh amarahnya yang teramat sangat, Baginda Sultan Iskandar Syah langsung memerintahkan untuk menghukum pancung istrinya itu di muka umum.

Kemarahan Sang Rajuna Tapa, yang juga Sang Ayah dari istri Raja Singapura yang terhukum secara kejam itu, tak dapat dibendungnya lagi. Kalau memang benar anaknya bersalah, dia rela putrinya dibunuh. Akan tetapi, hanya berdasarkan fitnah orang yang iri kepada putrinya itu, Sang Raja langsung mengeksekusinya, bahkan dilakukan di muka umum, itu yang membuat Penghulu Bendahari tak dapat menerimanya. Dendamnya kepada Sang Raja tak dapat lagi dibendungnya. (Ingat Sumpah Setia Melayu: “Jika rakyat bersalah, bahkan harus dihukum mati, silalah dihukum. Akan tetapi, jangan dipermalukan!” Menghukum pancung di muka umum itu perbuatan yang mempermalukan). Maka, nantikanlah padahnya!
Kebetulan Sultan Iskandar Syah kala itu sedang bermusuhan dengan Kerajaan Majapahit. Kesempatan untuk membalas dendam dan atau menuntut bela digunakan oleh Sang Rajuna Tapa dengan memanfaatkan permusuhan Raja Parameswara dengan Raja Majapahit. Dia dan orang-orangnya membelot ke pihak Majapahit sehingga memudahkan serangan Majapahit ke Singapura. Pada 1376 Majapahit berhasil merebut Singapura atas bantuan Sang Rajuna Tapa dan pengikutnya yang membelot dari rajanya yang dianggapnya zalim karena mempermalukannya sekeluarga di hadapan rakyat. Memang, Sang Rajuna Tapa pun karena pembelotannya itu akhirnya meninggal dunia dalam keadaan yang sangat tragis. Akan tetapi, dendamnya telah terbalaskan!
Setelah dikalahkan oleh Majapahit, Raja Parameswara Iskandar Syah, piut Seri Teri Buana, keturunan Melayu Palembang dan Bintan, akhirnya berhijrah ke Melaka. Sejak itu, secara bertahap menjadi besarlah Kesultanan Melaka, yang dibangun oleh generasi penerus dari Kerajaan Bintan-Temasik sampailah Kesultanan Melayu yang besar itu, kemudian, dikalahkan oleh Portugis di Melaka pada 1511 dan dilanjutkan ke Bintan kembali sampai 1526.
Kerajaan warisan Bintan yang bertapak di Temasik atau Singapura mengalami tragedi kemanusiaan, yang berdampak pada tragedi politik, penyebab utamanya hanya satu: pemimpinnya, yakni Raja Parameswara Iskandar Syah, tak teliti dalam memutuskan perkara. Dia dibakar amarah hanya karena mendengar fitnah orang lain. Tanpa usul periksa, dia rela membunuh istrinya yang sesungguhnya sangat setia kepadanya walaupun istrinya itu bukanlah permaisuri. Jika dia agak bersabar, melakukan pemeriksaan dengan teliti sebelum menjatuhkan hukuman, mungkin keadaannya menjadi lain. Pasalnya, istrinya itu tak seperti yang dituduhkannya, dia bukanlah istri yang menyeleweng atau berselingkuh dengan laki-laki lain. Sesungguhnya, dia sangat mencintai dan menghormati suaminya. Apatah lagi, suaminya itu adalah juga atasan ayahandanya.
Dengan merujuk kejatuhan Kerajaan Bintan-Temasik yang berpusat di Singapura di bawah pentadbiran Sultan Iskandar Syah Parameswara, satu pelajaran kepemimpinan dapat dipetik. Pemimpin tak boleh gegabah. Oleh sebab itu, dalam menghadapi situasi seperti yang dialami oleh Sultan Iskandar Syah itu, setiap pemimpin haruslah teliti. Di bawah pemimpin yang berkarakter teliti, sesebuah negeri atau negara nescaya akan terhindar dari angkara murka, yang tak jarang dilakukan pihak-pihak tertentu, sama ada kawan ataupun lawan, untuk menjatuhkan seseorang pemimpin. Tak hanya Raja Parameswara yang pernah mengalami musibah kepemimpinan yang serupa, para pemimpin sebelum itu, bahkan banyak yang sesudahnya juga, harus tersungkur dari singgasana kekuasaan karena gegabah, kurang usul periksa, dan atau kurang/tak teliti.
Bersabit dengan itulah, Gurindam Dua Belas, Pasal yang Ketujuh, bait 3 (Haji, 1847) memberikan nasihat. Seyogianya kearifan itu senantiasa diingat agar pemimpin tampil sebagai pribadi yang terhormat. Jika tidak, penyesalan tak berkesudahanlah yang akan didapat. Bukankah contohnya sangat banyak dalam riwayat.
Apabila kita kurang siasat
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat
Raja Parameswara Iskandar Syah tak hanya harus kehilangan istri yang sesungguhnya sangat mengasihinya. Baginda juga telah membuat mertua sekaligus menterinya yang sangat setia harus membelot darinya demi marwah keluarga yang dipermalukan di muka umum. Lebih dari itu, Baginda juga harus kehilangan Kerajaan Bintan-Temasik yang telah dibangun oleh nenek-moyang sebelah ibunya (dari Kerajaan Bintan) dengan perjuangan keras dan cukup lama sejak tahun 300 sebelum Masehi. Hanya karena nila setitik, rusak santan sebelanga! Pasal apa? Raja Parameswara kurang siasat dalam mentadbir negeri. Dia sangat mudah diperdaya oleh fitnah pihak-pihak yang tak bertanggung jawab dan memang senantiasa mengintip sisi kelemahan seseorang pemimpin.
Adakah rujukan yang dapat dipercaya tentang mustahaknya sikap teliti bagi manusia, lebih-lebih bagi pemimpin, selain dari kisah-kisah yang diriwayatkan oleh manusia? Ternyata, memang ada dan sumber pedomannya langsung dari Allah SWT.
“Hai, orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu,” (Q.S. Al-Hujurat, 6).
Raja Parameswara telah menimpakan musibah kepada istrinya yang sangat setia. Musibah dipermalukan lebih-lebih dirasakan oleh keluarga istrinya. Dia lebih percaya kepada berita palsu yang dibawa oleh orang yang fasik. Malapetaka yang menimpanya tak sekadar kehilangan istri, tetapi lepasnya sebuah kerajaan (negara) yang telah diperjuangkan oleh nenek-moyangnya dengan darah dan air mata. Padahal, kalaulah Baginda Sultan Bintan-Temasik itu memperhatikan peringatan Allah dengan seksama seraya mengimplementasikannya dalam kepemimpinannya, tak sekadar membaca, mendengar, dan mempercakapkannya untuk kemudian disia-siakan dalam praktik kepemimpinannya, tentulah malapetaka itu tak akan menerpa diri, keluarga, dan kerajaannya.
Sultan bertitah seraya memandang
Kepada Duri muda terbilang
Apalah yang diharapkan oleh hulubalang
Hamba nin papa bukan kepalang
Bait syair di atas merupakan nukilan dari Syair Abdul Muluk (Haji, 1846), bait 968. Syair itu menggambarkan kemurungan Sultan Jamaluddin, Raja Kerajaan Barham ketika dia berbicara dengan Hulubalang Duri (Siti Rafiah). Dia menghiba sedemikian rupa ketika mendengarkan niat dan hajat Hulubalang Duri hendak mengabdi di kerajaannya. Mengapakah Sultan Barham itu sampai bertitah memilukan hati dan mengusik sukma sedikian rupa?
Dia tak memiliki kuasa apa-apa lagi di kerajaannya. Kekuasaannya telah dirampok oleh pamannya sendiri, musuh dalam selimut, yang tak pernah diperkirakannya. Kali ini musuh datang dari kalangan sendiri, bapa saudaranya. Dikiranya karena Bahsan adalah pamannya tak mungkin saudara kandung ibunya itu tergamak menganiayainya. Lupa dia bahwa syahwat kekuasaan boleh membuat orang lupa daratan, bersedia berbuat apa saja, terhadap sesiapa saja, tak kira saudara ataupun kawan seketawa. Dia jadi lalai dan tak teliti menilai orang-orang yang berada di sekelilingnya. Akibatnya, Sultan Jamaluddin hanya dapat meratapi nasib malang yang menimpa dirinya. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian apalah gunanya.
Tak hanya Allah SWT, bahkan Rasulullah SAW juga mengingatkan umatnya agar senantiasa berhati-hati dan atau teliti dalam menghadapi semua persoalan kehidupan, apatah lagi kepemimpinan. Di antara hadits Baginda Rasul adalah berikut ini.
Rasulullah SAW bersabda, “Tergesa-gesa itu berasal dari syaitan dan berhati-hati (teliti) berasal dari Allah,” (H.R. Tirmidzi).
Itulah di antara anjuran untuk bersikap teliti, apatah lagi dalam kepemimpinan, dari Rasulullah SAW. Karakter teliti yang ada di dalam diri setiap pemimpin nescaya akan menyelamatkan diri dan kepemimpinannya karena sumber ketelitian itu sesungguhnya berasal dari Allah, sedangkan lawannya, yakni tergesa-gesa dalam membuat keputusan, bersumber dari syaitan, yang sangat tak patut untuk dijadikan tauladan.
Bersabit dengan itu, sangat ariflah syair nasihat dalam Tsamarat al-Muhimmah (Haji dalam Malik (Ed.), 2013), bait 19, yang mengingatkan pemimpin agar tak tergelincir pada pekerjaan yang salah. Kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin, antara lain karena ketaktelitiannya, dapat membuat rakyat berhati gundah, bahkan sangat mungkin mengundang murka Allah. Betapa tidak? Allah telah memerintah agar berhati-hati dan teliti dalam meningimplementasi kebijakan dan tindakan kepemimpinan, yang dilakukan malah eksperimen pembangkangan terhadap petunjuk yang seyogianya tak diragukan kebenarannya.
Jika tergelincir pekerjaan salah
Pekerjaan anakanda beroleh lelah
Rakyat tentara tentu bencilah
Barangkali datang murkanya Allah
Pekerjaan salah selalu diikuti. Itulah sebabnya, banyak terjadi dalam sejarah kejatuhan pemimpin karena dia tak teliti. Dampaknya tak hanya membabitkan dirinya secara pribadi, tetapi merugikan negara dan rakyat seluruh negeri. Sebaliknya pula, pemimpin yang berjaya membawa bangsa dan negaranya kepada kemajuan yang didambakan sudah pasti akan dihormati. Kunci kejayaannya tiada lain karena dia secara konsisten menerapkan karakter teliti sebagai cermin kepemimpinannya beroleh pancaran cahaya Ilahi. Hal itu juga bermakna bahwa dia telah berjaya menjadikan dunia sebagai tempat berbuat bakti.***