
(Sejak di Negeri Riau Tahun 1722 M Hingga di Pulau Penyengat Tahun 1895 M)
Sejak ditubuhkan, “pakatan”pemerintahan antara Melayu dan Bugis di “Kerajaan Johor yang baru” di Negeri Riau (yang kemudian bertukar ganti menjadi Kerajaan Johor-Riau-Lingga-Johor-Pahang dan Kerajaan Riau-Lingga) telah dibuhul oleh “ikatan politik” dalam bentuk Persetian atau Sumpah Setia yang berulangkali dikrarkan dan dituliskan sejak tahun 1722 M hingga 1895 M.
“Penjaga Equilibrium”
Sepanjang perjalanan sejarahnya, Sumpah Setiatersebut untuk pertama kali diikrarkan dan dituliskan setelah sultan yang pertama dalam “Kerejaan Johor yang Baru” d Negeri Riau, Sultan Sulaiaman Badrul Alamsyah menabalkan Kelana Jaya Putera Daeng Marewah sebagai yang Dipertuan Muda Riau yang pertama pada tahun 1722 M.
“Inilah permulaan bersetia Bugis dengan Melayu seperti yang tersebut dalam surat-surat setia itu adanya,” tulis Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis. Dokumen atau manuskrip sumpah setia pertama yang isinya antara lain menyebutkan bahwa ikatan dan “pakatan politik” antara pihak Melayu dan Bugis dalam pemerintahan “Kerejaan Johor yang baru” di Negeri Riau adalah bagaikan “mata hitam dan mata putih yang tidak dapat dipisahkan”.
Dalam kronik-kronik istana Riau-Lingga,Sumpah Setiayang pertama itu dikenal juga sebagai Persetian Marhum Sungai Baharu, bersempena nama gelar Yang Dipertuan Muda Riau Daeng Marewah yang mangkat dan dimakam di Sungai Baharu, di kawasan Hulu Riau, Tanjungpinang.
Dipandang dari kaca mata ilmu politik, maka ikrar Sumpah Setia antara pihak Melayu dan Bugis dalam kerajaan ini dapatlah dilihat sebagai sebuah kontrak politik pejaga equilibrium (kesimbangan) dalam internal kekuasaan dan pemerintahan ‘koalisi’ antara pihak Melayu dan Bugis di Kerajaan Johor-Riau-Lingga-dan Pahang.Salah satu alasannya, adalah karena Sumpah Setia ini berulang kali dibuat dan diikrarkan. Sumpah Setia ini tidak hanya diulang kembali ketika terjadi pergantian Sulta Yang Dipertuan Besar atau Yang Dipertuan Muda karena kemangkatannya, tetapi juga diikrarkan kembali ketika terjadi ‘pertelagahan’ dan ‘konflik politik’ diantara kedua tampuk pemeritahan itu.
Sebagai ilustrasi, ketika terjadi “perselisihan politik” yang berat antara Sultan Mahmud Muzafarsyah dengan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Abdulrahman, sebuah surat Sumpah Setia yang baru dibuat dan dikrarkan kembali.Tentang akhir penyelesaian ‘perselisihan itu, dicatat oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis sebegai berikut: “…maka Yang Dipertuan Muda [Raja Abdulrahman] mengajaklah Sultan Mahmud [Muzafarsyah] bersetia seperti setia adat istiadatnya Yang Dipertuan Muda yang dahulu-dahulu dengan Yang Dipertuan besar, yakni setia antara Bugis dan Melayu. Maka bersumpah setialah keduanya di atas balairung di bawah payung ubur-ubur kebesaran, serta sama-sama memegang Qur’an al-‘azim betapa adat sumpah setia yang dahulu-dahulu adanya…”
Sebagai penjaga equilibrium dan penyelesai konflik internal dalam pemerimtahan kerajaan sejak zaman pemerintahan Kerajaan Johor di Negeri Riau pada tahun 1722 M sehinggalah pada masa penabalan Sultan Abdulrahman Muazamsyah di Pulau Penyengat pada tahun 1895 M, telah terjadi tujuh kali pengulangan ikrar Sumpah Setia itu, sebagaimana dicatat oleh Raja Ali Kelana dalam kitab Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas (1910 M).
Menurut Raja Ali Kelana, Sumpah Setia itu diulang kembali untuk pertama kalinya pada masa pemerintahan Sultan Sultan Sulaiman Badrus Alamsyah yang pertama dan Yang Dipertuan Muda Daeng Marewah di Negeri Riau. Setelah itu, secara beturut-turut, diulang kembali oleh Yang Dipetuan Muda Daeng Celak dan Sultan Sulaiman pada tahun 1728 M. Diulang lagi pada zaman pemerintahan Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan Sultan Sulaiman pada tahun 1753; diulang kembali pada masa Raja Ali Marhum Pulau Bayan dan Sultan Mahmud Ria’ayatsyah tahun1804; dan berulang kembali pada zamanpemerintahan Sultan Mahmud Muzafarsyah dan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali (Marhum Kantor)pada 18 Juli 1845 M.
Bahkan, sumpah setia dalam “formatyang baru” dibuat pula setelah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah mangkat di Lingga pada 1883: ‘Sumpah Setia’ yang diperbaharui ini, dibuat antara ayah dan anak, yaitu antara Raja Muhammad Yusuf sebagai Yang Dipertuan Muda Riau X dan Raja Abdulrahman sebagai Sultan Yang Dipertuan Besar Kerejaan Riau-Lingga dan daerah takluknya (1885 M -1911 M) pada tahun 1895 M.
Dokumen Sumpah Setia
Hingga kini, tak sedikit orang yang meragukan keberadaan dokumen tertulis Sumpah Setia Melayu dan Bugis ini. Seperti apakah kandungan isi sumpah setia atau ’ikrar politik’ antara Bugis dan Melayu di kerajaan Johor Riau-Lingga-dan Pahang tersebut?
Pada kesempatan ini akan diketengahtiga contoh isi dokumen sumpah setia antara Melayu dan Bugis di kerajaan Johor Riau-Lingga-dan Pahang yang dibuat dalam periode yang berbeda, dan tersebab latar belakang politik atau masalah yang berbeda pula. Dua yang pertama dialih aksarakan salinan dokumenSumpah Setia yang ditulis menggunakan huruf Arab Melayu, dan dicantumkan dalam sebuah manuskrip Riau-Lingga yang berjudul Sejarah Rajaj-Raja Riau, simpanan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PERPUSNAS) di Jakarta. Adapun yang ketiga adalah hasil alih aksara sebuah dikumen Sumpah Setia yang asli.
Dokukuman yang pertama berisikan Sumpah Setia yang dibuat antara Yang Dipertuan Muda Raja Abdulrahman ibni al-Marhum Yang Dipertuan Raja Jakfar dan Duli Yang Maha MuliaYang Dipertuan Besar al-Sultan Muhammad ibni al-Marhum Sultan Abdulrahman Syah.
Adapun isi lengkapnya adalah sebagai berikut: “…Adalah Yang Dipertuan Muda Raja Abdulrahman seumpuma mata putih dengan mata hitam yang tiada sekali-kali boleh bercerai dan tiada berpaling sembah serta bertitah salah pada kebawah Duli Yang Dipertuan Besar. Dan Jikalau ia munkir seperti yang telah tersebut itu, niscaya dibinasakan Allah dan RasulNya. Tiada selamat dunia dan akhirat. Wa-Allah wa-Billah dama-Allam. Sekali-kali tiada boleh mengubahkan sumpah setia ini hingga sampailah kepada anak cucu cicitnya antara kedua pihak. Washalli-Allah-‘ala-Syaidina-Muhammad-wa-‘alihi-wa-sahbihi-ajma’in. Termaktub di dalam Negeri Riau [Pulau Penyengat] pada tarikh yang tersebut itu adanya.
Dokumen yang kedua, sebuah salinan dokumenSumpah Setia yang dikurniakan oleh Sultan Mamud Muzafarsyah kepada Yang Dipertuan Muda Raja Abdulrahman, bersempena mengkahiri sebuah “perselisisihan”, sebagaimana juga dicatat oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis.Dalam dokumenSumpah Setia yang dibuat tahun 1842 M ini disebutkan sebagai berikut: “… Maka inilah Sumpah Setia Yang Dipertuan Besar al-Sultan Mahmud Muzafarsyah ibni al-marhum Sultan Muhammad Syah dengan Yang Dipertuan Muda Raja Abdulrahman, seumpama mata putih dengan mata hitam yang tiada boleh bercerai sekali-kali. Dan Yang Dipertuan Besar tiada boleh membuangkan Yang Dipertuan Muda, serta tiada boleh bertitah salah antara keduanya, yaitu Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda, sebagaimana adat-istiadat almarhum yang dahulu-dahulu jualah antara Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda. Dan barang siapa yang munkir Dibinasakan Alllah ta’ala dan rasulNya. Tiadalah ia dapat selamat dunia akhirat. Wa-Allah wa-Billah….Sekali-kali tiada boleh mengubahkan sumpah setia yang tersebut ini turun-temurun hingga sampailah kepada anak cucu cicitnya atas yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda adanya. Intiha.”
Adapun yang ketiga, adalah sebuah dokumen Sumpah Setia antara Sultan Mahmud Muzafarsyah dengan Yang Dipertuan Muda Raja Ali Marhum Kantor yang diikrarkan pada 18 Juli 1845. Dokumen ini adalah Sumpah Setia yang dibuat oleh Sultan Mahmud Muzafarsyah pada masa pemerintahannya di Daik-Lingga (1841-1857).
Dokumen asli Sumpah Setia yang telah delaminating ini masih ada, dan menjadi bagian dari pusaka keluarga yang berada dalam simpanan Tengku Husin ibni Tengku Muhammad Saleh di Tanjungpinang.
Isi lengkap dokumenSmpah Setia yang dibubuhi stempel kebesaran Sultan Mamud Muzafarsyah dan Raja Ali Marhum Kantor yang letaknya dalam posisi sejajar pada bagian atas baris-baris isi Sumpah Setia itu, adalah sebagai berikut:
“Kepada hijrat al-Nabi Sali-Allah-‘Alaihi-wassalam sanah 1261 kepada ampat belas hari bulan Rajab kepada hari Jum’at waktu jam pukul satu siang inilah Sri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar menyatakan telah diperbuat surat setia perjanjian antaranya Raja Muda dengan Yang Dipertuan Besar menyatakan setia yang tiada boleh diubah-ubah kerana sudah ridha antara keduanya. Inilah yang diperbuat oleh Raja Muda dengan Yang Dipertuan Besar seperti badan dengan nyawa. Maka tiadalah sekali2 boleh menyangkal lagi yang akan datang barang sebagainya titah.”***