
(Desember 1867- Mei 1868)
Dalam adat diraja Melayu di kerajaan Lingga-Riau di masa lalu, bila seorang sultan yang sedang memerintah bermastautin atau tinggal di suatu tempat untuk jangka waktu yang lama atau singkat, maka disebut bersemayam. Adapun rumah atau gedung tempat ia bersemayam itu disebut pula istana.
Oleh karena itulah, bukan hanya di Daik dan Penyengat saja, tapi juga Tanjungpinang pernah menjadi tempat bersemayam Sultan Lingga-Riau, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ibni Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah yang memerintah antara tahun 1857 hingga 1883. Selama lebih kurang enam bulan lamanya beliau bersemayam di Tanjungpinang. Sejak awal Desember 1878 hingga akhir Mei 1867. Mengapa beliau bersemayam di Tanjungpinang? Dan bagaimana reaksi Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf di Pulau Peyengat ketika itu?
***
Setahun setelah Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf berkunjung ke Batavia pada bulan Maret 1866, Sultan Lingga-Riau, Sulaiman Badrul Alamsyah yang ketika itu bersemayam di Daik-Lingga, juga mendapat persetujuan pemerintah kolonial Belanda untuk membawa rombongan mengunjungi Kota Batavia yang kini bernama Jakarta. Orang Melayu menyebutnya Bandar Betawi Darul Masyhur. Dari Daik, rombongan diraja itu bertolak ke Pulau Jawa melalui pelabuhan Negeri Riau Tanjungpinang, dan tiba di Batavia pada 21 Oktober 1867.
Lebih kurang tiga bulan lamanya rombongan diraja Lingga-Riau itu berada di Bandar Betawi Darul Masyhur. Selain mengadakan pertemuan resmi dengan Gubernur Jenderal Pieter Meijer, Sultan Sulaiman Barul Alamsyah dan pengiringnya juga sempat membuat beberapa sesi foto di studio foto Woobury & Page yang terletak di Kawasan Rijswijk, dan tentu saja, ‘makan angin’ keliling Kota Batavia.
Sekitar awal Desember 1868, rombongan diraja itu bertolak kembali ke Negeri Riau Tanjungpinang, dan tiba pada awal Desember 1868. Setelah tiba di Tanjungpinang, Yang Dipertuan Besar Lingga-Riau itu tidak langsung kembali ke Daik-Lingga, dan tidak juga bersemayam di Pulau Penyengat. Sebaliknya, baginda Sultan memilih Tanjungpinang sebagai tempat bersemayam dan beristirahat selama kurang lebih enam bulan lamanya. Mengapa?
Peristiwa ini dijelaskan, dengan dukungan bahan sumber arsip yang dapat dipertanggungjawabkan, oleh Jan va der Putten dalam salah satu bagian kitab khatam kajinya (disertasi) di Universitas Leiden yang berjudul His Word Is The Truth Haji Ibrahim’s letters and other writings (2001:199-205).
Laporan politik (politiek verslag) Resident Riouw, E. Netscher tahun 1868 yang dikutip Jan van der Putten, menyebutkan bahwa Sultan Lingga-Riau itu, Sulaiman Badrul Alamsyah, lebih suka bergaul dengan orang-orang Eropa selama ia bersemayam di Tanjungpinang. Menurut pengamatan Netscher, hal ini erat kaitannya dengan hubungan antara Sultan di Lingga dan Yamtuan Muda di Pulau Penyengat ketika itu “tak seperti yang diharapkan,”: penyebabnya adalah karea adanya intrik politik di kalangan pembesar istana Lingga-Riau ketika itu.
Bahkan, selama di Tanjungpinang, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah juga memilih bersemayam di salah satu rumah milik Hermaan von de Wall, seorang sahabat Raja Ali Haji yang ketika itu sedang sibuk-sibuknya menyusun kamus Bahasa Melayu-Bahasa Belada. Lokasi rumah itu tak jauh dari rumah Resident Riouw, yaitu di sekitar bangunan Kantor Pos di Jl, Merdeka, Tanjungpinang kini. Selama bersemayam di rumah Hermaan von de Wall, hanya sekali, yaitu ketika hari raya puasa saja baginda mengunjungi Pulau Penyengat.
***
“Ketegangan politik” dalam hubungan antara Sultan Lingga, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan Yamtuan Muda Riau Raja Muhammmad Yusuf di Pulau Penyengat ketika itu tergambar pula dalam sebuah manuskrip peringatan yang berisikan catatan harian rombongan Egku Haji dan Datuk Bentara Johor yang diutus khusus oleh Datuk Temnggung Abu Bakar di Teluk Belanga, Singapura pada bulan April 1868, sempena bertanya ikhwal “aturan [pemerintahan dan sejarah kerajaan] Melayu” kepada Raja Ali Haji di Pulau Penyengat.
Dalam peringatan atau catatan harian yang kemudian dipublikasikan sebagai Kisah Perlayaran ke Riau (M.A. Fauzi Basri 1977: 24-38), Yamtuan Muda Raja Muhammad Yusuf ‘memprotes keras’ sikap Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah yang memilih “…bersemayam…” di Tanjungpinang “… tiada dengan adat istiadat…”
“Protes keras” itu diungkapkan oleh Yamtuan Muda Raja Muhammad Yusuf ketika utusan Temenggung Abu Bakar yang didampingi Raja Ali Haji datang mengadap Yamtuan Muda Riau itu di istananya yang terletak bersebelahan Masjid Jamik Pulau Penyengat, pada 22 April 1868. Pada kesempatan itu, salah seorang anggota utusan Temenggung Abu Bakar yang bergelar Ungku Haji bertanya perihal Sultan Sulaiman kepada Yamtuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf: “Apakah ia (Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah) berangkat (datang) ke mari (Pulau Penyengat)?”
Yamtuan Muda Raja Muhammad Yusuf menjawab: “tidak, melainkan hari raya sahaja. Kami pun tiada mengadap ke sana, karena ia bersemayam tiada dengan adat istiadat; jikalau ia bersemayam di Lingga atau Penyengat, boleh kita semua mengadap. Maka, inilah halnya raja kita, kesusahan atas kita akan hal raja demikian, karena duduk di situ dengan tiada apa pekerjaan meninggalkan negeri”.
Namun demikian, bukan tanpa alasan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah memilih bersemayam di Tanjungpinang, dan tidak langsung kembali ke Daik atau bersemayam di Pulau Penyengat setelah kembali dari perlayaran ke Bandar Betawi Darul Masyhur. Hal itu disampaikannya dalam titah [kata-katanya] kepada Encik Wan Abdullah dan Datuk Bentara Jakfar, dua orang utusan Temenggung Abu Bakar, yang datang mengadap ke tempat beliau bersemayam, di rumah Hermaan von de Wall di Tanjungpinang, pada hari Minggu, 26 April 1868.
Dalam Kisah Perlayaran ke Riau, ikhwal Sultan Sulaiman di Tanjungpinang dan alasannya memilih bersemayam di Tanjungpinang ketimbang di Pulau Penyengat dijelaskan sebagai berikut:
“Hari yang keenam, iaitu pada hari Ahad 3 Muharam 1285 (12.4.1868) …Encik Wan Abdullah dengan Datuk Bentara naik ke Tanjungpinang pergi mengadap Tuanku, iaitu Sultan Sulaiman di rumah Tuan Von de Wall. Maka apakala sampai keduanya, duduklah ia di dalam suatu bilik tempat orang-orang mengadap, adapun Tuanku waktu itu di dalam bilik peraduannya, (tengah) menyurat, maka disembahkan oleh Tuan Cik iaitu daripada Syed peranakan Lingga mengatakan paduka anakanda Encik Wan Abdullah datang hendak mengadap, maka titahnya suruhlah ia duduk sebentar kami lagi hendak menyudahkan surat lagi sedikit”
“Ada sejurus, belum juga ia keluar. Maka masuklah Encik Wan Abdullah ke dalam bilik peraduannya. Maka ia pun berangkat keluar bersemayam di atas kaus [sejenis dipan]. Encik Wan Abdullah duduk bersila di atas kursi. Tuan Chik ituvpun di atas kursi jua.”
“Adalah Sultan Sulaiman itu berdaulat tubuhnya dan molek misainya, dan tiada tinggi keadannya, dan berseri mukanya, dan berboceng ulunya (rambutnya panjang dan dijalin). Waktu ini ada ia memakai sapu tangan dan berbaju berpesak cara Jawa daripada kain khas, berseluar panjang. Maka ia bersemayam itu dengan ramah rupanya dan manis pandangan serta menyelang-nyelang akan titahnya dengan tertawa-tawa. Maka lapanglah rasa hati yang mengadap dia”.
“…Maka adalah titah (Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah), selama kami balik dari Betawi duduklah berhenti di sini supaya beristirahat daripada tiada sedap, dan kerana bertukar hawa dengan hawa Betawi. Maka sehatlah rasanya selama di sini. Badan gemuk. Hendakpun kami duduk di Penyengat, di situ terlalu lindung dan tiada dapat angin. Serta paya (danau) di Penyengat itu terlalu busuk. Tambahan, selama kemarau ini pun menjadi kering di Penyengat. Kesusahanlah air. Hanyalah sekali sahaja, raya hari kami ke sana…”***