
Steengroeve op Het Eiland Senggarang
SENGGARANG, yang kini telah menjadi pusat pemerintahan kota Tanjungpinang, sejatinya adalah sebuah pulau (Eiland Sengarang). Bentangan topografisnya sebagai sebuah pulau perlahan-lahan ‘hilang’ sejak salah satu titik pada aliran ‘selat sempit’ bernama Terusan Riouw (Sungai Terusan) yang mememisahkannya dari daratan pulau Bintan ditimbun setelah berakhirnya pemberontakan orang-orang Bugis pimpinan Arung Bilawa yang berdepan-depan dengan kompeni Belanda di Tanjungpinang pada tahun 1820.
Pada abad ke-19, pulau yang lebih besar dari Pulau Penyengat dan Pulau Los ini adalah wilayah kerajaan (vorsten teritoir) Riau-Lingga, dan berada dibawah kendali Yang Dipertuan Muda Riau di Pulau Penyengat. Ketika itu, di pulau ini terdapat tiga buah kampung. Pertama, Kampung Quantong (Kampung orang Cina Canton) yang letaknya berhampiran Tanjong Sengarang. Kedua, Kampung Anakota Passier (kini, kawasan ini disebut Kuda Pasir. Di sini terdapat makam Yang Dipertuan Muda Riau Daeng Kemboja) yang letaknya dekat Tanjong Sebadang. Dan kampung yang ketiga adalah Kampung Boegis. Kampung yang ketiga ini, yang terletak di antara kedua kampung sebelumnya, asalnya adalah kawasan pemukiman pengikut Arung Bilawa yang kembali ke Tanjungpinang setelah eksodus ke Singapura pada masa pemberontakan orang Bugis di Tanjungpinang pada tahun 1820. Ketiga kampung ini letaknya di pinggir laut dan menghadap ke ‘Teluk Riau’.
Di Pulau Senggarang inilah sejak awal pertengah abad ke-19 hingga menjelang tahun 1950-an, pernah diusahakan sebuah tambang batu (steengroeve) yang hasilnya diolah menjadi komoditas ekspor. Hamparan sejenis batu pasir keras (de zeer harde zandsteen), yang membentang dari daratan di tepi pantai hingga kearah laut di pulau itu dieksplotasi dengan cara dipahat mejadi balok-balok batu, lapis demi lapisnya.
Lokasi tambang batu ini terletak di pantai sebelah barat Pulau Senggarang, pada kawasan bernama Tandjoeng Geliga (Tanjung Geliga). Letaknya tepat pada sisi Pulau Sengarang yang berdepan-depan dengan Pulau Los. Bila sekali waktu Anda mengunjungi Tanjung Geliga yang terletak di pantai barat Pulau Senggarang, anda masih dapat melihat ‘kolah-lolam’ kecil dan jejeran lobang-lobang bekas pahatan pada hamparan permukan batu di tepi pantai itu ketika air laut sedang pasang-surut: Itulah bekas jejak aktivitas tambang batu Pulau Senggarang di masa lalu.
Catatan paling awal tentang tambang batu di Pulau Senggarang ini berasal dari tahun 1853. Dimuat dalam sebuah artikel berbahasa Belanda berjudul “Schets van Riouw-Lingga Archipel” (Gambaran Kepulauan Riau-Lingga) yang ditulis oleh seorang letnan angkatan laut Belanda bernama G.F. de Bruijn Kops, dan dipublikasikan dalam jurnal Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (1853). Keringkasan laporan ini, kemudian diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Sketch of The Rhio-Lingga Archipelago”, dan dimuat dalam The Journal of The India Archipelago and Eastern Asia oleh J.R. Logan pada tahun 1854.
Sejak abad ke-19 tambang batu ini telah dipajakkan (“disewakan”) kepada orang-orang Cina dari Kampung Canton di Pulau Senggarang. Mereka menyewanya dari Yang Dipertuan Muda Riau di Pulau Penyengat yang menguasai Pulau Senggarang. Oleh karena itu, ketika jumlah batu yang dihasilkan dari tambang itu sangat berlimpah di awal-awal pembukaannya, maka tambang ini menjadi salah salah satu sumber pendapatan yang penting bagi Yang Dipertuan Muda Riau.
Sejak awal pembukaannya hingga menjelang akhir abad ke-19, usaha tambang batu ini telah silih berganti dipajakkan oleh Yang Dipertuan Muda Riau kepada sejumlah Orang Cina Canton dari Kampung Quantong, di Pulau Senggarang. Sepucuk surat dari Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf kepada Resident W.C. Hoogkamer yang bertarikh 1899, paling tidak, dapat menjelaskan hal ini.
Di awal-awal pembukaannya, tambang batu tersebut pernah dipajakkan kepada seorang pengusaha Cina bernama Tan-A-Kiang, Cua-Sui-Huat. Begitu juga kepada Oei-Tik-Sing yang pernah menjadi Kapitan Bangsa Cina di Tanjungpinang. “…Akan tetapi diketahui,… dahulu ada seorang Cina nama Tan-A-Ki-Ang yang diizinkan disitu. Dan dahulu daripada Tan-A-Ki-Ang itu beberapa lagi Cina yang diizinkan oleh kerajaan yang lain daripada si Sik-Ku-Sing…[dan] kepada seorang Cina yan bernama ‘Oei-Tik-Cing, Cua-Sui-Huat…” tulis Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf dalam sepucuk suratnya kepada Resident Riouw, W.C. Hoogkamer di Tanjungpinang pada tahun 1899.
Sejak 1894 hingga 1899, tambang itu dipajakkan oleh Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf atas nama Kerajaan Riau-Lingga kepada seorang bangsa Cina bernama Sik-Ku-Sing untuk jangka waktu lima tahun. Sik-Ku-Sing melanjutkan kerja para pengusaha tambang sebelumnya. Tentang hal ini surat Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf menjelaskannya sebagai berikut: “…Dan adapun pasal Sik-Ku-Sing yang tersebut itu, maka asalnya ia memintak izin menyewa pada kerajaan akan lubang dan menggali pada lubang2 yang telah ada batu dan mengerjakan batu akan memperbuat ubin dan macam2nya di Pulau Senggarang di seberang Pulau Los. Dan Ku-Sing sudah buat perjanjian dengan kerajaan lamanya 5 tahun dengan pengakuannya tidak hendak menyalahi apa yang tersebut dalam perjanjian itu…” Produk tambang batu di pulau Senggarang ini sangat terkenal zamannya. Dan yang menarik, batu-batu keras yang dihasilkan tambang batu di Pulau Senggarang ini tidaklah diekespor atau dijual dalam bentuk bongkahan-bongkahan “batu mentah”, seperti hasil tambang batu granit yang kita lihat pada masa kini,
Lapis demi lapis hamparan batu pasir keras itu ditambang dengan cara dipahat menggunakan teknik “pertambangan batu yang kuno” khas Suku Kay, salah satu suku Bangsa Cina yang terkenal mahir dalam kerja-kerja penambangan batu. Hasilnya adalah potongan balok-balok batu yang masih kasar. Balok-balok batu itu dipotong-potong dan diolah lebih lanjut menjadi tiang-tiang pilar (pilaren), batu lantai empat persegi (vierkante vloersteenen), batu nisan (zerken), bak mandi (badvaten) yang gunakan untuk memperkuat dinding dan bibir sumur, lesung batu (vijzels) dan lain sebagainya. Selain itu, batu pasir sangat keras yang dihasilkan tambang ini juga diolah menjadi batu asahan (slijp) dan batu penggilingan (moleensteenen) yang sangat terkenal baik mutunya.
Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan lokal, dan digunakan pada bagian-bagian tertentu untuk bangunan istana dan banguan pabean di dermaga Pulau Penyengat serta sejumlah bangunan di Tajungpinang umpamanya, produk tambang batu Pulau Senggarang itu juga diekspor ke luar. Khusus untuk batu lantai yang berbentuk empat persegi dan bujur panjang, diekspor ke Siam (Thailand) dan pulau Jawa. Yang Dipertuan Muda Riau, memungut 10% dari harga setiap batu batu lantai yang dieksport ke luar daerah Kerajaan Riau-Lingga ketika itu.
Sebagai gambaran, sebagaimana dicatat oleh G.F. de Bruijn Kops dalam “Schets van Riouw-Lingga Archipel” (1853), harga batu-batu olahan produksi tambang batu Pulau Senggarang pada tahun 1853 adalah sebagai berikut: Satu tiang pilar bangunan kelas satu panjang 5 kaki dan lebar 1 kaki harganya adalah f 5 perak Belanda; sebuah batu nisan kelas satu panjang 5 kaki dan lebar 1 kaki harganya f 1 perak Belanda; dan 1 keping batu lantai empat persegi kelas satu ukuran 1 kaki lebar dijual dengan harga f 22 perak Belanda.
Usia tambang batu pulau Senggarang cukup panjang. Sejak dibuka pada sekitar pertengahan abad ke-19 hingga mejelang akhir abad ke-19, tambang batu ini telah dikelola oleh silih berbaganti oleh sejumlah penyewa. Bahkan ada catatan yang menyebutkan bahwa tambang batu ini masih beropresi hingga menjelang tahuan 1950-an, dan dikelola oleh seorang pengusaha Cina Tanjungpinang yang juga menjadi penyantun dana bagi Toan-Poon-School (Sekolah Toan-Poon) di Tanjungpinang.***