
Daerah Lagoi yang kini menjadi ikon pariwisata Kabupaten Bintan dan Provinsi Kepulauan Riau, ternyata telah dikenal sejak abad ke-19. Pada tahun 1825, seorang Captain Artilerry Inggris, Pieter James Begbie pernah mengunjungi sejumlah kampung di sekitar Lagoi. Catatan perjalanannya ketika mengunjungi daerah Lagoi dan kampung-kampung di belahan Utara Pulau Bintan itu dipublikasikan di Madras pada tahun 1834.
***
Pada tahun 1825, Lagoi atau Looagooi (menurut cara penulisan Captain Artilerry Inggris, Pieter James Begbie), adalah salah satu dari dua kampung (villages) di kawasan SoongeiĀ Ayer Pawar atau Ayer Jawar: sebuah sungai yang letaknya berbatasan dengan bagian Utara daerah Sebong.
Menurut Begbie, kampung Lagoi terletak di hulu SoongeiĀ Ayer Pawar. Dibutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan dari daerah Singkang untuk mencapai kampung yang pada tahun 1825 ituĀ dihuni oleh sekitar seratus empat puluh (160) penduduk dengan dua puluh empat buah rumah.
Sebagai sebuah kampung yang berhampiran dengan daerah Singkang, Sebong, Simpo, dan Rotjo, yang merupakan daerah-derahĀ perkebunan gambir yang penting di Pulau Bintan pada abad 19, di kampung Lagoi yang dihuni oleh orang orang Cina tersebut juga terdapat sebuah pabrik penyulingan arak, arrack distillery dan āpendamping setianyaā, yakni sebuah rumah judi (gambling farms) untuk para pekerja bangsal gambir dari yang bersal ari empat kawasan perkebunan gambir di belahan Utara Pulau Bintan.
Pada tahun 1825, Lagoi juga menjadi Ā tempat pembuatan perahu dan sampan pukat (sampang pookats) yang terbaik mutunya dibanding produk serupa yang dihasilkan oleh kawsan lain di Pulau Bintan. Mutu sampan pukat dari kampung Lagoi sama baiknya dengan sampan sejenis yang dibuat di Pulau Penyengat pada masa itu.
***
Berhampiran dengan kampung Lagoi, teletak kampung Soongei Ayer Pawar: sebuah kampung besar dan menjadi āibukotaā bagi kampung Lagoi dan kawasan sekitarnya. Letak kampung ini di tepi sungai yang juga bernama Ayer Pawar atau Ayer Jawar, salah satu sungai yang jernih dan lebar di Pulau Bintan.
Apabila berkayuh selama satu jam dari muara sungai Ayer Jawar maka akan sampai pada sebuah perkampungan besar yang, sebelum taun 1825, dihuni oleh sekitar empat ratus hingga lima ratus orang penduduk. Penduduk di kampung ini, yang terdiri dari orang-orang Illanun, mengamalkan bercocok tanam padi; namun demikian, mereka lebih menggantungkan hidup kepada aktifitas pembajakan di laut (piracy). Menurut Begbie, ketika Belanda kembali menguasai Pulau Bintan pada tahun 1818, orang-orang Illanun ini berpindah ke daerah Reteh di Pantai Timur Sumatera, dan terus melakukan aktifitas bajak laut dikawasan Pantai Timur Sumatera.
Menurut penjelasan tetua kampung Soongei Ayer Pawar yang dicatat oleh Begbie, di kawasan Sooengei Ayer Pawar terdapat lima puluh dua buah kebuan gambir dan lada sebelum tahun 1825. Sejumlah kebun itu kemudian ditinggalkan karena pohon-pohonnya telah terlalu tua.
***
Di sebelah Tenggara kampung Soongei Ayer Pawar terletak kawasan Soongei Dookoo (Sungai Duku): daerah paling lengkap dan makmur di bagian Utara Pulau Bintan. Di kawsan Soongei Dookoo yang airnya bersumber dari perbukitan tempat berlindung sejumlah dusun kecil ini, hanya terdapat sebuah kampung yang juga bernama Soongei Dookoo. Dikampung ini, terdapat sekitar dua puluh tujuh rumah, disamping dua buah pabrik penyulingan arak, rumah judi, dan rumah candu.
Penduduk kampung Soongei Dookoo yang jumlahnya lebih dari 1.500 jiwa itu tersebar pada sejumlah perkebunan gambir dan lada yang berjumlah sekitar seratus buah kebun dari seratus lima puluh kebun yang pernah ada sebelum tahun 1825.
***
Di Tenggara dari ditrik Soongei Ayer Pawar terletak Soongei Dooko (Sungai Duku): sebuah kawasan pemukiman yang sepenuhnya terbuka dan yang paling makmur di belahan Uatara Pulau Bintan pada 1825.
Di Soongei Dooko, yang airnya bersumber dari perbukitan yang terlindung, hanya terdapat satu kampung, yang juga bernama Soongei Dookoo: terdidiri dari dari 27 buah rumah, dua buah pabrik arak, rumah candu, dan tempat perjudian, Populasi penduduknya yang melebihi 1.500 jiwa, tersebar di seluruh kebun gambir dan lada, yang pada masa-masa sebelum tahun 1825 terdiri dari 150 buah kebun (namun kemudian berkurang menjadi 100 buah kebun saja)
***
Dari semua kawasan pemukiman yang terdapat di belahan Utara Pulau Bintan dan berhampiran dengan kwasan Lagoi, maka kawsan pemukiman yang tertua adalah daerah Soongei Gissee (Sungai Gesek) yang memiliki kampung-kampung sebagai berikut: Pertama, Kampung Gissee (Gesek), yang terletak di tepi sebatang sungai yang senama (Sungai Gesek). Pada tahun 1825, di kampung ini terdapat sekitar 40 buah rumah, dua pabrik arak, sebuah rumah candu, dan sebuah tempat perjudian. Pada tahun 1825, kedaannya jauh menurun dibandingkan masa-masa kemakmurannya pada tahun-tahun sebelunya, dan aktifitas perdagangan lada dan gambirnya pada tahun 1825 sangat tak berarti jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Sumber mata air Soongei Gissee jauh di pedalaman.
Kedua, Kampung Sing-Ling, yang letaknya setengah jam perjalanan dari Kampung Gissee (Gesek), dan berada di tepi sungai yang sama (Sooengei Gissee). Di kampung ini hanya terdpat 10 buah rumah, dan sama sekali bukan kawsan penting secera ekonomi.
Soongei Geesee yang megalir di kawasana pemukiman tertua di belahan Uatara Pulau Bintan ini adalah salah satu sungai terjernih dan terlebar di pulau pulau Bintan, dan dapat dilayari oleh sampang pookats (sampan pukat)Ā serta perahus (perahu). Kedaan tanah di kawasan Gissee lebih subur dibandingkan dengan keadaan tanah di kawasan-kawsan pemukiman sebelumnya. Tanaman lada berkembang lebih baik di kawasan Ā ini dibandingkan dengan kawasan lainnya di pulau Bintan. Sejumlah pohon buah-buahan tersebar dimana-mana. Terdapat sekitar 100 perkerbunan lada dan gambir, diantara 1.200 jiwa penduduk kawasan ini.
***