PRASASTI BUKIT SIGUNTANG DAN BADAI POLITIK DI KEMAHARAJAAN MELAYU 1293-1913
(Sebuah Renungan)
BAB – X
PENUTUP
(Dan Bunda Tanah Melayu pun Tersedu)
Gunung Bintan masih tampah gagah, biru saat cuaca cerah, dan Sungai Bintan, salah satu sungai besar yang mengalir di pulau Bintan, yang berhulu di gunung Bintan, masih bergemuruh mengalir ke muaranya, di Teluk Bintan, bercampur dengan air dari Sungai Carang (sungai Riau), menuju laut lepas, Selat Melaka. Di depan muaranya itu terdapat sejumlah pulau. Seperti pulau Pengujan, Pulau Los, pulau Penyengat, pulau Terkulai,dan lainnya. Pulau-pulau ini, seperti benteng-benteng alami yang melindungi sungai Bintan, melindungi pusat-pusat kerajaan yang pernah ada di sana. Seperti kerajaan Bintan Bukit Batu, 1160, kerajaan Melaka (setelah Melaka jatuh dan pindah ke Bintan), 1513. Alur sungainya, makin ke hulu makin sempit, dan menjadi leher yang menjepit, seperti tangan yang mencekam, jika perahu dan kapal yang akan mudik ke dalamnya. Seperti sebuah jerat dan perangkap alam. Topografi seperti itu, dahulunya yang dipilih para penguasa kerajaan-kerajaan Melayu yang pernah ada disana, sebagai ibukota. Sebagai pusat pemerintahan. Dari Hulu Sungai Bintan inilah Prasasti Bukit Siguntang dihela dan digendong Sang Nila Utama, 1294, melintas laut, selat, pulau, ke daratan Semenajung, dan menapakkan jejaknya, tamaddun Melayu yang besar itu.
Demikian juga dengan sungai Carang, sungai lainnya yang sama berhulu di gunung Bintan, yang menyimpan jejak sejarah yang panjang. Dari sini, dari sungai yang berkelok-kelok bagai ular ini, bagai sulur buah mentimun dan buah ketola, kerajaan Riau-Johor-Pahang bermula, tahun 1723. Di sini Sumpah Setia Melayu Bugis dipahatkan pada tekur Tengku Sulaiman, dan Kinja Daeng Marewa. Dari sini bendera bendera Melayu dikibarkan, dan badik-badik Bugis dilimau. Sebuah percobaan sejarah membangun dinasti campuran, Melayu-Bugis, dan Bugis Melayu. Meneruskan tradisi sebelumnya sudah pernah ada bancuhan Melayu-Jawa, Melayu-Arab, Melayu-Aceh, Melayu-Siam, dan lainnya. Dinasti bancuhan ini, hanya bisa tegak dan bertahan lama kalau dibuhul dengan kesepakatan dan kesetiaan moral, tradisi berpolitik yang konsekuen menerima kesepakatan itu, dan menghormatinya. “Puncak nilai kesetiaan Melayu terdapat dalam “ waad” yang amat terkenal dalam legenda persetiaan antara Demang Lebar Daun dan Sang Sapurba. Persetiaan ini dapat dianggap sebagai “kontrak social Melayu” dengan penyerahan kuasa dari ketua wilayah kepada pemerintah negara, yakni seorang raja”, begitu Prof. Zainal Kling, pakar budaya Melayu dalam bukunya Nilai-nilai Melayu ( Gapena, 2010 ).
Ini memang bancuhan politis, dan karena itu selalu ada manfaat dan mudaratnya, untung ruginya, dan politik tetap menyisakan satu premis yang abadi: Tak ada sahabat yang sejati, yang ada hanya kepentingan yang abadi. Artinya, perjuangan terbesar dalam hubungan politik itu, adalah melawan pengkhianatan. Maka, setelah menyimak perjalanan sejarah rumpun Melayu di Semenanjung ini selama hampir 8 abad ini, marilah kita belajar, mengambil iktibar darinya. Belajar dari sejarah, merenung dari setiap serpihannya, untuk menjadi mutiara hidup ke depan, karena hidup kita, anak cucu kita, masih sangat panjang, masih penuh dinamika. Kegemilangan, kecampinan, bara dan juga bala politik, masih senantiasa ada. Dengan belajar dari serpihan artifak, serpihan teks, literasi, dan serpihan cerita pusaka, yang masih tersisa, kita diharapkan menjadi semakin arif, semakin bijak, dan piawai dalam mengelola manajemen kehidupan kita. Marilah belajar dari sisa-sia kehidupan yang tersirat di makam-makam tua yang sepi itu. Tempat hati dan naluri kemanusiaan kita, selalu tersedu. Airmata, bukan berarti kita kalah, menyerah. Tapi karena kita tahu, kita pernah salah dalam melangkah.
Seperti diceritakan dibagian awal, Sungai Bintan telah menjadi urat nadi ke Bintan Bukit Batu, pusat pemerintahan kerajan Bintan Bukit Batu di awal abad XII. Kemudian pada awal abad XVI, ketika Sultan Mahmud Syah Melaka, menjadikannya sebagai pusat pemerintahan, setelah Melaka jatuh ke tangan Portugis, tahun 1511. Mahmud Syah membangun Kopak, sebagai ibukota pemerintahan, di hulu sungai Bintan. Membangun benteng pertahanan Kota Kara, di hilir sungai itu. Muaranya yang luas, telah menjadi medan pertempuran antara armada Melaka melawan armada Portugis. Tak kurang dari 8 kali pertempuran terjadi di sana, sebelum tahun 1526, benteng Kota Kara jatuh dan direbut Portugis, dan Kopak, di hancurkan mereka. Sultan Mahmud Syah dan kerabat serta sebagian pembesarnya, menyingkir ke kaki gunung Bintan, menembus hutan, akhirnya sampai di timur Bintan, dan menyeberang ke daratan Sumatera, ke kuala Kampar. Mudik ke hulunya, dan membangun pusat pemerintahan di Pekan Tua, sebelum wafat di sana 2 tahun kemudian.
Meskipun sudah sejak awal abad XII diketahui pernah menjadi pusat pemerintahan, tapi belum banyak ditemukan peninggalan-peninggalan sejarah di sana. Masih banyak yang berupa cerita rakyat, mitos dan legenda. Baru pada perhujung abad XIX, seperti dicatat Aswandi Syahri, sejarawan, dalam bukunya Kota kara dan Situs-Situs Sejarah Bintan Lama (2007), ada laporan tertulis tentang peninggalan-peninggalan sejarah di sana, setelah Johannes Elias Teijmann, seorang botanis Belanda (ahli botani) dari Kebun Raya Bogor, tahun 1872, datang ke Riau melakukan penelitian, dan kemudian membuat laporan tertulis tentang berbagai temuannya. Antara lain misalnya, dia menemukan makam-makam tua di Bukit Batu, diantaranya 5 makam perempuan yang diduga makam para Raja perempuan dan satu makam lelaki, yang diperkirakan salah seorang penguasa di sana.
Tahun 1888, seorang Belanda lainnya, J. G. Schot membuat laporan temuannya tentang makam-makam tua dan bersejarah di kaki gunung Bintan, dan kawasan lain di sekitarnya termasuk muara sungai Bintan. Misalnya dia menemukan makam keramat di pulau Pengujan. Makam tua di bawah air (baru kelihatan kalau air surut), makam keramat Tok Kelalo, dan lainnya, termasuk sebuah perahu besar (bahtera) yang sudah tua di sungai Jakas (anak sungai Bintan) , yang kemudian pernah diduga sebagai perahu asal kerajaan Ming (satu dinasti di daratan China), yang pada masa kejayaannya banyak melakukan ekspedi ke selatan. Banyak kapalnya yang tenggelam karena badai atau kandas di karang, lalu menyisakan cerita tentang harta-harta karun. Harta karun itulah yang kemudian banyak diburu para pencari harta karun dan pedagang barang antik. Di Bintan sendiri perahu tua itu lebih dikenal sebagai Jung Jakas.
Tahun 1968, pemerintah daerah kabupaten Kepulauan Riau, melalui dinas kebudayaan dan purbakalanya, pernah melakukan penelitian tentang tinggalan sejarah di gunung dan sungai Bintan, dipimpin seorang sejarawan tempatan, M.A. Effendie Hasbullah, B. A ( M. A. Effendi, adalah guru sejarah di Sekolah Pendidikan Guru di Tanjungpinang, dan seorang peminat sejarah, dan terakhir sebagai kepala bidang kesenian dan kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayan, Propinsi Riau). Salah satu kerja besar M. A. Effendie dan teman-teman sejarawan tempatan adalah melakukan restorasi Candi Muara Takus, di Kampar. Tim mini ini telah menginventarisasi keberadaaan situs-situs bersejarah itu, meskipun belum melakukan penggalian-penggalian. Kerja eskavasi dan penggalian lainnya, baru dilakukan sekitar tahun tahun 1981, setelah sebuah berita di surat kabar The Straits Time, terbitan Singapura, tahun 1979, memberikan informasi tentang ditemukannya sejumlah benda-benda keramik oleh seorang pedagang barang-barang antik dalam pengembaraannya di Bintan dan sekitarnya tahun 1970, dan kemudian ditulis oleh koran The Straits Time, sebuah koran berpengaruh di singapura itu, 9 tahun kemudian. Berita The Straits Time itu menarik perhatian seorang arkeolog Prancis P. Y. Manguin, yang tahun 1981, bekerjasama dengan Pusat Penelitian (Puslit) Arkelogi Nasional, melakukan ekskavasi dan peneletian terhadap sejumlah situs-situs purbakala di sana. Seperti di Bukit Batu, Kota Lama, Bujok, Bintan Kopak, Bintan Kubu, dan Jung jakas. Hasil terpenting dari penelitian dan ekskavasi itu, adalah pernyataan bahwa Jung jakas itu bukan perahu dari masa dinasti Ming, tapi, kemungkinan besar perahu buatan tempatan, karena pasak-pasak kayu yang dipakai untuk menyusun helai-helai papan lambung perahu, tidak pernah di kenal dalam teknologi kerajaan Ming dan teknologi Cina lainnya. Teknologi pasak, dan jenis kayu yang dipakai perahu tu ini, yaitu kayu Sepang, biasanya dipakai oleh penduduk di pulau Tujuh, atau Natuna dan Anambas sekarang. Tapi teknologi yang dipakai membangun perahu itu, sudah dikenal di kawasan nusantara, dan memang hampir sezaman dengan masa ke kaisaran Ming di Cina.
Tahun 2000, sebuah tim arkelogi Islam, juga pernah melakukan penelitian dan ekskavasi di Bintan dan sekitarnya, terutama di makam-makam tua di Bintan, namun hasilnya sejauh ini belum diketahui. Namun, cerita harta karun dan perburuannya, terus ramai, sampai ke kawasan pulau Mapur, Cempa, dan sekitarnya. Salah satu pemburu harta karun yang sempat menghebohkan dengan temuan porselin dan benda antik lainnya yang bernilai jutaan US Dollar itu, adalah Michael Heatcher, warga Inggeris, tahun 1980-an. Harta karun temuannya telah di lelang di Singapura oleh Balai Lelang internasional Kristy. Sekarang ini, sungai Bintan, gunung Bintan, dan kawasan sekitarnya, terus, menarik perhatian para peneliti dan sejarawan, dan juga wisatawan. Paling tidak saat ini, sejumlah situs sejarah, masih terpelihara, karena Pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang namanya kabupaten Bintan) dan Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau (setelah berpisah dengan provinsi Riau) terus merawat dan memeliharanya. Menyajikan informasi yang diperlukan (meski masih sangat terbatas dan kalah misalnya kalau dibanding dengan informasi untuk para wisatawan di benteng A Formosa di Melaka), dan kawasan Bintan lama ini menjadi objek wisata.
Di Bintan Bukit Batu sekarang, dikawasan yang tidak berapa jauh dari komplek kantor Bupati Bintan, di Bintan Buyu, ada sejumlah situ-situs sejarah yang bersejarah. Ada yang masih berujud cerita pusaka, dan perlu penelitian yang lebih dalam hal fakta keserjarahannya, tapi ada juga yang dapat menjadi penanda, bahwa prasasti Bukit Siguntang itu, meninggalkan jejak saktinya, berupa cerita tentang badai politik dan bala politik, dari perjalanan panjang Imprium Melayu itu. Perjalanan yang bermula di Bentan Bukit Batu ini, dan berakhir nun di muara sungai Bintan, di pulau yang bernama, Penyengat Indrasakti. Bagai pusaran angin puyuh, kecemerlangan dan kebesaran tamaddun Melayu yang dibangun imperium ini, telah menandai perjalanan sejarah kebudayaan dan kebesaran sistim ekonomi, sosial, politik dan pemerintahan di Dunia. Agama Islam, Bahasa Melayu, Qanun Hukum Melaka, Qanun Pelayaran Melaka, Sejarah Melayu, Tuhfat Al Nafis, Gurindam XII, dll, adalah antara lain sumbangan terbesar imperium ini kepada dunia. Tapi badai politik, dan bara politik pun, seperti angin puting beliung, menyertai perjalanan sejarah itu. Bersama berangkat dari Bentan, menyeberang ke Singapura, menuju Melaka, kembali ke Bintan, menyeberang ke Johor, kembali ke Bintan, singgah di Lingga, lalu menebar amarahnya di Penyengat. Sebelum menyeberang lagi ke Singapura, dan menjulurkan sulur badainya ke Semanjung lagi. Ke johor, Melaka, Kuala Lumpur, Batam,Bintan, dan ke semua negeri yang ada jejak Melayu bertapak, dan membangun masa depan mereka, kemana kelak akan berputar dan kembali. Siklus sejarah, siklus budaya. Adakah dia akan kembali ke Bintan semula, atau ke Bukit Siguntang, ke Palembang, dari mana Sang Sapurba, datang dengan legenda dan agenda politiknya? Atau kembali ke Demang Lebar Daun, simbol kejelataan hidup yang mengharapkan ada pemimpin dan khalifah yang arif, bijak, dan amanah? Atau kembali ke doktrin Melaka: “Adapun segala Raja-Raja itu atas empat perkara, Pertama ampun, kedua murah, ketiga perkasa, keempat melakukan hukumnya dengan kaharnya”, sebagaimana dinukilkan di dalam Qanun Melaka (Zainal Kling, of. cit)
Wallahualam.…
Di kaki gunung Bintan ada sebuah makam tua, dan masyarakat di sana menyebutnya makam Tuk Uke. Dalam cerita setempat, Tuk Uke ini seorang wanita, namanya asalnya Puteri Cempaka. Dia berasal dari keluarga Diraja Melaka. Dia datang berada Bintan, bersama suaminya, seorang ulama (Tok Kadi), yang sedang menjalankan misinya menyebarkan agama Islam, di bekas pusat kerajaan besar ini. Tak ada catatan sejarah kapan Tuk Uke dan Tok Kadi itu, tiba di Bintan. Atau keduanya adalah bahagian dari orang-orang Melaka yang menyingkir ke Bintan, ketika Melaka jatuh ke tangan Portugis, 1511, ketika Sultan Mahmudsyah I memindahkan pusat pemerintahannya ke Bintan, 1513. Tapi, ini simbol dari perbancuhan dinasti yang paling umum dan banyak terjadi. Seorang puteri Diraja, menikah dengan seorang rakyat biasa. Dan keturunan yang lahir dari perbancuhan ini, adalah bangsawan tengahan. Di negeri Melayu ini, bisa bergelar Megat ( Kamus Dewan, 2002 ), Hang, Tun, Wan, dan lainnya. Bangsawan tengahan inilah yang banyak menjadi para panglima, laksamana, dan pejabat-pejabat lainnya, yang tidak harus sedarah dengan Sultan. Golongan ini,memberi kontribusi pada kecemerlangan sebuah kerajaan, sebuah dinasti, seperti Hang Tuah, Hang Nadim, Megat Mansur, dll. Tetapi juga yang paling banyak dizalimi, sehingga membuat mereka berontak dan melawan, jika tak dapat mengendalikan diri, atau diperalat oleh kekuatan lain yang punya rencana politik yang lain. Seperti Hang Jebat, Tun Ali Pahang, Tun Biajid, Tun Abdul Jamil, Megat Sri Rama, dan lainnya.
Tidak ada catatan yang mengatakan bahwa Megat Sri Rama, yang mengubah arah sejarah negeri Melayu dengan cara membunuh Sultan Mahmud Syah II (gelar posthomous nya Marhum mangkat Dijulang), 1699, berasal dari Bintan. Tapi dia telah meruntuhkan dinding sumpah setia Sang Sapurba dengan Demang Lebar Daun, prasasti Bukit Siguntang. Dia telah meniadakan Daulat Sultan yang tanpa batas. Megat Sri Rama telah menakik sebuah pesan baru: Raja Alim Raja Disembah, Raja Zalim Raja Disanggah. Serbuah doktrin Melayu baru, Melayu modern. Amok, bukan merajuk. Mungkin saja dia memang dari Bintan, karena gelar yang disandangnya, adalah Laksamana Bintan. Dan catatan-catatan sejarah kemaharaajaan Melayu menunjukkan, beberapa laksamana kerajaan Melaka dan Johor, memang berasal dari Bintan. Hang Tuah, laksamana Melaka yang termashur itu, dikatakan dibesarkan di Bintan. Laksamana Khoja Hasan, menantu Hang Tuah dan penggantinya, berasal dari Bintan dan ketika dia wafat, juga dimakamkan di Bintan (makamnya diberi nama Makam Laksamana Pantar), juga Hang Nadim, laksamana Melaka, pengganti Khoja Hasan, juga berasal dari dan dimakamkan di Bintan. Dia dikatakan adalah anak Hang Jebat, yang dibunuh Hang Tuah, karena mendurhaka. Hang Nadim adalah laksamana Melaka yang paling ditakuti Portugis dan Belanda. Juga laksamana Johor Tun Abdul Jamil, yang berhasil bersama Belanda mengusir Portugis dari Melaka, setelah penjajah itu bercokol di Melaka, selama lebih 130 tahun.
Juga ada sebuah makam, yaitu makam Raja Ahmad (di kompleks pemakamannya disebut Sultan Ahmad Syah). Dia adalah putera tertua Mahmud Syah, dan sudah dilantik jadi Raja Muda. Dialah yang berjuang menghadang Portugis, ketika Melaka jatuh, 1511, melindungi dan menyelamatkan ayahnya dalam pelarian ke Bintan. Tapi, di Bintan, karena perebutan kekuasaan Putera Mahkota dan Raja Muda, maka dia telah dibunuh, oleh Ayahnya sendiri, degan racun. Sebuah tragedi dan pengingkaran terhadap prasasti Bukit Siguntang. Hukuman yang dijatuhkan dengan cara tidak patut, dan tanpa usul periksa.
Demikian juga di sungai Carang (sungai Riau), yang dalam kampanye wisata kota Tanjungpinang, selalu mengunakan tag line: Dari Sini Sejarah Bermula. Sungai ini bukan hanya sungai yang bersejarah, tetapi juga sungai para pembuat sejarah, karena di sepanjang sisi kiri dan kanan sungai yang panjangnya sekitar 25 km ini, terdapat makam-makam lama, makam para tokoh dan pembuat sejarah. Misalnya, Makam Sultan Johor ke-8, Ibrahim Syah (1677-1685), dialah Sultan Johor yang pertama memindahkan ibukotanya dari daratan Semenanjung, ke Ulu Sungai Carang , yang disebut ulu Riau. Lalu ada makam Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, Sultan Riau-Johor yang pertama (1723-1760), makam Sultan Abdul Jalil Raja Dibaroh (1760, tidak sampai setahun jadi Sultan, meninggal, konon diracun), makam Sultan Ahmad (1760, juga hanya setahun, dan wafat dan konon diracun, juga). Ada makan Tun Abbas, Bendahara Johor ( 1723-1736), salah satu putera Sultan Johor ke-10, Abdul Jalil Riayat SyahAbdul Jalil,saudara Sulaiman Badrul Alamsyah I. Tun Abbas ini, adalah pelatak dasar dinastinya yang kelak banyak menjadi penguasa, di kerajaan Riau-Lingga, di Kerajaan Singapura, Johor, dan Pahang.
Ada Makam Daeng Marewa, salah satu Upu Bugis lima bersaudara yang jadi Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau-Johor yang pertama (1723-1728). Makam Daeng Celak, salah satu Upu Bugis lima bersaudara, yang jadi YDM kedua (1728-1745), pengasas dinasti Bugis-Melayu di kerajaan Riau-Johor, melalui isterinya Tengku Mandak, puteri Tun Abdul Jalil. Makam Daeng Kamboja, YDM ketiga (1748-1777), YDM yang paling keras dan kontroversial. Makam Raja Ali ibni Daeng Kamboja, YDM kelima (1784-1605).
Di muara sungai Carang dan juga sungai Bintan, di pulau Penyengat, terdapat sejumlah jejak sejarah berupa artifak, naskah-naskah lama, dan juga makam-makam para tokoh pembuat sejarah di kerajaan Riau-Johor dan Riau Lingga. Seperti makam Raja Haji Fisabilillah, YDM ke empat (1777-1784), pahlawan nasional, pemimpin perang kerajaan Riau-Johor melawan Belanda tahun 1782-1784. Dia adalah dinasti Melayu-Bugis pertama yang memegang kekuasaan, maka dipangkal namanya diberi gelar bangsawan Raja, dan dialah yang pertama memakai gelar ini. Kemudian, makam Raja Djaafar, YDM keenam (1806-1832), yang terkenal sebagai pengusaha timah, dan YDM yang keras hati, dan karena kekerasan hatinyalah kemudian, kerajaan Riau-Johor, 1819, pecah dua, menjadi Kerajaan Riau-Lingga, dan kerajaan Singapura-Johor-Pahang. Kemudian, makam Engku Puteri Raja Hamidah permaisuri Sultan Mahmud Syah III (1761-1812), pemegang Regelia (pusaka kerajaan) Riau. Puteri yang keras hati, sama serperti adiknya Raja Djaafar, dan karena persengketaan kedua beradik inilah, kerajan Riau-Johor dan Pahang , berpecah menjadi dua kerajaan. Lalu masih ada makam Raja Abdurrahman, YDM ketujuh (1832-1834), makam Raja Ali, YDM kedelapan (1854-1857), makam Raja Abdullah, YDM ke Sembilan (1857-1858). Hanya makam YDM kesepuluh, Raja Mohd Yusuf Alahamadi (1857-1899), yang tidak ada di Penyengat. Karena YDM yang satu ini lebih suka dimakamkan di Daik, Lingga di tanah tempat kelahiran isterinya, Tengku Embung Fatimah, puteri Sultan Mahmud Muzaffar Syah. Makamnya, dinamakan makam merah.
Lalu, di pulau Penyengat Indrasakti ini, ada sebuah makam penting, si pencatat sejarah, Raja Ali Haji, ulama, sastrawan, dan sejarawan, penulis karya klassik Tuhfat Al Nafis, Silsilah Melayu dan Bugis, Thamarat Al Muhimma, Gurindam XII, Bustan Al Khatibin, dll. Di samping, makam Raja Ahmad, Ayah Raja Ali Haji, yang dikatakan juga penulis bersama Tuhfat Al Nafis.
Tokoh-tokoh sejarah yang pernah bertapak dan meninggal jejak sejarahnya di Bintan dan sekitarnya ini, yang makamnya tidak terdapat di tiga situs utama itu (Bintan, Sungai Carang dan Penyengat), adalah Mahmud Syah, Sultan terakhir kerajaan Melaka, makamnya ada di Pekantua, Kampar di Riau daratan, karena dia wafat di sana, 1528. Juga makam Tun Fatimah, permaisuri Mahmud Syah yang fenomenal dan kisah cintanya dengan Mahmud Syah, menyisakan cerita luka yang panjang. Dia juga dimakamkan di Pekantua, karena meninggal di sana, setahun lebih dahulu, dari suaminya Mahmud Syah I. Kemudian, Sultan Mahmud Syah III (1761-1812), Sultan Riau-Johor ke empat, dimakamkan di Daik Lingga, 1812, sebuah pulau di selatan Bintan, yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Riau-Johor-Pahang, ketika pindah dari Sungai Carang, karena menghindar dari serbuan Belanda, 1787. Di Lingga ini, dimakamkan juga Sultan Riau-Johor-Pahang kelima (1761-1819), Abdurrahman Muazzam Syah, dan dia juga adalah Sultan Riau-Lingga pertama (1819-1832), karena dimasa Sultan inilah kerajan Riau-Johor pecah dua. Juga makam Muhammad Syah, Sultan Riau-Lingga kedua (1832- 1841), makam Sulaiman Badrul Alama Syah II, Sultan Riau-Lingga ke lima (1857-1883 . Sedangkan, makam Mahmud Muzaffar Syah, Sultan Riau-Lingga ke empat, (1841-1857) ada di Pahang, karena Sultan ini, setelah dimakzulkan oleh Belanda, 1857, telah mengembara ke negeri-negeri taklukan Riau-Lingga, seperti Pahang, Terengganu, bahkan ke Siam, untuk mencari dukungan bagi merebut kembali tahtanya, namun gagal, dan dia wafat, 1864, di Pahang. Kemudian, Sultan Riau-Lingga terakhir (1886-1911), yaitu Abdurrahman Muzaffar Syah, dimakamkan di Singapura, karena begitu Belanda memakzulkannya sebagai Sultan Riau-Lingga, tahun 1911, dia langsung pergi ke Singapura, dan menetap di sana, dan tahun 1930, wafat dan dimakamkan di Bukit Raden Mas Ayu, Teluk Belanga, Singpura.
Masih ada tokoh sejarah lainnya, yang juga sempat mengharu biru perjalanan sejarah kerajaan Riau-Johor-Pahang atau pecahannya kerajaan Riau-Lingga dan kerajaan Singapura-Johor dan Pahang, tapi dimakamkan di luar kawasan Bintan dan sekitarnya, yaitu Husin Syah, Sultan Singapura-Johor-Pahang yang pertama (1819-1835), dimakamkan di Tangkera, Melaka, karena menyingkir dari Singapura ke Melaka, akibat tekanan Inggeris dan Temenggung Johor. Kemudian Sultan Ali Iskandar Syah, Sultan Singapura-Johor-Pahang kedua (1835-1877), dimakamkan di Umbai, Melaka.
Tapi para tokoh pembuat sejarah di kerajaan Riau-Johor dan Pahang, sebagai bahagian penutup cerita imperium Melayu ini, bukan hanya para Sultan (YDB) dan Yang Dipertuan Muda (YDM), juga para Bendahara, dan Temenggung yang kekuasaan mereka juga ikut menghitam putihkan perjalanan sejarah negeri-negeri Melayu ini. Dan sebagai bahagian dari bentangan wilayah cerita ini, Kepulauan Riau (begitulah namanya kini), adalah negeri tempat semua kisah itu bermula, dan juga kembali. Karena itulah, Provinsi Kepulauan Riau, saat ini menamakan negerinya sebagai Bonda Tanah Melayu, Ibu tempat anak-anak, cucu-cicit nya, kembali, menumpahkan sedih dan luka mereka, selain kisah cemerlang dan terbilang. Dan karena itu masih ada 3 pulau lagi, di kepulauan Riau, selain Bintan, Lingga, dan Penyengat sebagi situs-situs utama penyimpan jejak sejarah. Masih ada pulau Bulang, di dekat Batam, lalu Pulau Tembelan (di kabupaten Natuna sekarang), dan Siantan, di kabupaten Anambas, sekarang. Kedua-dua situs ini di laut Cina selatan.
Di pulau Bulang, terdapat makam Temenggung Tun Abdul Jamal, temenggung Riau-Johor- Pahang yang pertama (1757-1765). Lalu makam Engku Muda Muhammad, putera Tun Abdul jamal, yang pernah menjadi Raja Muda kerajaan Riau-Johor-Lingga (1784-1801), sebelum diambil alih kembali oleh pihak Bugis. Enku Muda juga kemudian ditunjuk sebagai Temenggung Riau-Johor-Pahang menggantikan Ayahnya Tun Abdul Jamal, (1801-11806) namun dia tidak mau dilantik, sampai, meninggal, 1806. Kemudian dia digantikan keponakannya Tengku (Daeng) Abduirrahman, yang kemudian menjadi peletak dasar lahirnya kerajaan Singapura-Johor-Pahang, Daeng Abdurrahman, wafat di Singapura, 1862.
Di pulau Tembelan, bermakam Sultan Johor ke-6, Abdullah Muayatsyah (1615-1623). Ketika Aceh menyerang Johor, 1618, dia menyingkir ke pulau Lingga, lalu mundur lagi ke utara, ke pulau Tembelan, dan wafat dan dimakamkan di sini tahun 1623. Karena Johor dikuasai Aceh, maka Sultan Abdul Jalil Syah III (1623-1677) penggantinya, menjadikan Tembelan sebagai pusat pemerintahan sementara kerajaan Johor, sampai tahun 1641, baru kembali ke Batu Sawar, Johor. Dari pulau Tembelan inilah, kerajaan Johor dengan bantuan Belanda, menaklukkan Portugis di Melaka.
Dan di pulau Siantan, pulau batu karang di laut Cina Selatan, itu, di kabupaten Anambas sekarang, terdapat makam Daeng Rilaka, inilah Ayah Upu-Upu lima bersaudara (Daeng Perani, Daeng Kemasi, Daeng Marewa, Daeng Celak dan daeng Manambun) itu. Di pulau inilah Daeng Kamboja di lahirkan. Para perantau Bugis Luwu, yang dikatakan keturunan La Madussalat itu, pernah mengarung lautan mulai dari Sulawesi sampai ke Kamboja, di daratan Asia Tenggara itu. Maka salah satu cucunya itu, dinamakannya Daeng Kamboja, dan konon mereka juga menciptakan kue bolu yang enak, warna hijau (karena pakai daun pandan), dan dinamakan Bolu Kamboja. Mereka, meninggalkan jejak sejarah dimana-mana di kawasan semenanjung ini. Di mana-mana ada Kampung Bugis, seperti di Tanjungpinang, di Lingga, dan lainnya di Semenanjung. Sama dengan Aceh, Jawa, dan Cina, meninggal kan jejak sejarahnya. Tapi, negeri yang lebih besar, seperti Selangor dan Negeri Sembilan, adalah jejak-jejak terakhir mereka yang masih bertahan, selain makam-makam, dan cerita-cerita ketangguhan mereka berpolitik, dan kehandalan mereka merancang siasat perkawinan, sehingga menghasilkan ranjang pengantin Melayu-Bugis yang penuh cerita, bara, dan juga bala politik. Sumpah Setia Melayu-Bugis, adalah jejak sejarah dan keunggulan politik dan dagang mereka. Meskipun, seperti pihak Melayu, mereka juga tak selalu setia dengan sumpah dan janji suci itu. Kepentingan politik dan dinasti mereka, selalu membuat sumpah setia itu, diabaikan. “Jangan pernah kita berbapak, selain kepada Sultan”, begitu pesan Raja Lumu, salah satu tokoh Bugis, yang menjadi Sultan di Selangor, kepada keturunannya, sebagaimana diceritakan di dalam Tuhfat Al Nafis. Sejarah telah membuktikannya, dan sejarahlah tempat untuk belajar, bagaimana sebuah kebersamaan itu dibangun.
“ Hati itu kerajaan di dalam tunuh. Jika zalim, segala anggota pun rubuh. Apabila dengki sudah bertanah, datanmglah daripadanya beberapa anak panah “ Begitu pesan Raja Ali Haji, dalam Gurindam XII, pasal yang keempat. Bunda Tanah Melayu itu, kini tersedu, dan akan terus tersedu, mengenang perjalanan sejarah anak cucunya, di masa lalu, dan gamang, menghadapi masa depannya, karena ragu, adakah anak cucunya belajar dari masa lalu itu. Sejarah itu, kata Ibnu Khaldun, seperti dikutip Zainal Kling (of. cit) adalah maklumat tentang organisasi sosial manusia. Dan manusia itu, sebagaimana fitrahnya, adalah makhluk yang tak pernah lepas dari khilaf dan salah.Tetapi juga makhluk yang cerdas yang selalu belajar dari kesalahan-kesalahan yang dibuatnya. Karena itu, hanya sebuah cerminlah tempat melihat ujudnya, tempat melakukan introsfeksi . “ Demi Masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaraan dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran “ ( Qs Al Ashr, 103 ). Wallahualam…
Selengkapnya :
BAB I
https://jantungmelayu.com/2020/07/prasasti-bukit-siguntang-dan-badai-politik-di-kemaharajaan-melayu-1293-1913-sebuah-renungan/
BAB II
https://jantungmelayu.com/2020/07/memanggul-prasasti-bukit-siguntang/
BAB X
https://jantungmelayu.com/2020/07/dan-bunda-tanah-melayu-pun-tersedu/
[…] Dan Bunda Tanah Melayu pun Tersedu […]