
BEBERAPA kali serangan armada laut Portugis (Peringgi) terhadap pertahanan terakhir Sultan Mahmud Syah Melaka yang menyingkir ke Kopak dan Kota Kora di Sungai Bintan antara tahun 1521-1526 sebagaimana dicatat dalam Sejarah Melayu(Sulalatus Salatin) dan catatan-catatan para penulis Portugis, adalah peristiwa yang benar-benar terjadi.
Pada tahun 1990-an sebuah bedil kuno dengan panjang sekitar 85 cm, dan kini menjadi koleksi Bapak Anton di Kapung Bintan Bekapur-Kabupaten Bintan-Provinsi Kepulauan Riau, ditemukan berhampiran kawasan kampung lama Kopak, yang terletak di Sungai Bintan.
Jika dilihat dari bentuknya, bedil kecil ini sangatlah berbeda dari bedil kecil sejenis yang dalam khazanah persenjataan tradisional orang Melayu yang lazimnya disebut lela, atau dalam bentuknya yang lain disebut juga dengan nama ekor lotong.
Bentuk bedil yang ditemukan di Kopak adalah tipikal senjata Portugis yang disebut juga istinggar dalam terminologi Melayu, atau espingarda dalam bahasa Portugis. Bedil yang ditemukan pada suatu tempat berhampiran kawasan Kampung Kopak yang telah lama ditinggalkan ini, mirip dengan koleksi seorang sejarawan Portugis, Professor Rainer Dau Ehnhardt di Lisabon, yang juga kolektor 500.000 pedang, senapang, bedil, dan meriam.
Penanda penting yang membedakannya dengan lela dan akar lotong yang dikenal di Alam Melayu adalah terdapatnya breech: yakni bagian dari sebuah meriam atau bedil yang letaknya di belakang laras, dan berfungsi sebagai tempat memasukan peluru.
Dalam penggunaannya medan pertempuran, bedil Portugis seperti yang di temukan di kawasan Kampung Kopak di Sungai Bintan ini tak perlu lagi ditarik ke belakang ketika memasukkan peluru dan obat bedil melalui moncongnya. Bedil dengan teknologi Portugis abad ke- 15 seperti inilah yang dibawa oleh Affonso d’Albuqurque ketika menyerang Melaka, Johor, dan kemudian benteng Kota Kara, dan Kopak, pertahanan terakhir Sultan Mahmud Syah Melaka di pulau Bintan antara tahun 1521-1526.
Dengan adanya breech, maka ketika digunakan untuk menghantam musuh dengan melepaskan tembakan, bedil khas postugis ini dapat melepaskan tembakan enam kali dengan daya jangkau tembakan mencapai 1.800 meter. Atau dengan kata lain, jarak tembak bedil ini mempunyai selisih 700 meter dibanding jarak yang mampu dijangkau oleh tembakan meriam atau bedil biasa.
Oleh karena ditemukan pada tempat berhampiran dengan kawasan kampung lama Kopak yang dibuka oleh Sultan Mahmud Syah Melaka sebagai benteng pertahanannya ketika menyingkir ke Pulau Bintan, maka bedil ini amat penting sebagai salah satu bukti sejarah yang erat kaitannya dengan serang-serangan Portugis terhadap dua benteng Sultan Mahmud Syah Melaka di Pulau Bintan: benteng Kota Kara dan Kopak.
Mengingat arti penting kedudukan benteng Kopak dan benteng Kota Kara di Pulau Bintan inilah, kekuatan sayap armada laut Portugis pernah membakar habis Kampung Kopak setelah berhasil melumpuhkan benteng Kota Kara pada 23 Oktober 1526. Diperkirakan, bedil yang kini berada dalam simpanan penduduk di Bintan Bekapur ini adalah sisa peristiwa tersebut.
Gambaran heroiknya peperangan di Sungai Bintan Bintan dinukilkan dalam kitab Sejarah Melayu. Bagaikan sebuah laporan pandangan mata, penulis Sejarah Melayu melukiskan serangan orang-orang Portugis (Peringging) terhadap benteng pertahanan Sultan Mahmud Syah Melaka di Kampung Kopak di Sungai Bintan tersebut sebagai berikut:
“…Maka Temenggung Seri Udani peranglah semalam-malaman itu; setelah dini hari, air pun penuh pasang dalam, Maka Peringgi pun mudiklah menyongsong, dikepilkannya segala perahunya di Kota Kara; maka dibedilnya dengan istinggar, bunyi pelurunya seperti kacang jatuh di bidai. Maka tiadalah terderita oleh sekalian orang yang di Kota Kara itu, habis berhamburan ke air; mana yang sempat lari, mudik berperahu, melainkan yang tinggal Temenggung Seri Udani, dan Sang Aria, dan Sang Jaya, dan Sang Lela Segara, dan Sang Lela; mereka itulah yang bersama-sama Temenggung beramuk dengan Peringgi, banyak ia membunuh Peringgi. Maka Temenggung Seri Udani pun matilah kena bedil pengatu, dan pegawai empat orang itu pun mati; maka Kota Kara pun alahlah, maka Peringgi pun mudiklah membedil Negeri Kopak.
…Maka Negeri Kopak alahlah, dibakar oleh Peringgi. Setelah itu Peringgi pun kembalilah ke Melaka.”***