PRASASTI BUKIT SIGUNTANG DAN BADAI POLITIK DI KEMAHARAJAAN MELAYU 1293-1913
(Sebuah Renungan)
BAB – VI
JEJAK TAPAK SANG LAKSAMANA
(Sungai Carang Menjadi Pusat Kerajaan Riau-Johor 1673-1782)
Dalam sengketa dan bala politik kerajaan Johor ini, Ulu Riau di hulu sungai Carang, di pulau Bintan , menjadi penting, karena telah menjadi pusat pemerintahan dan pertahanan perang, meski sering bersifat sementara. Tempat meredakan ketegangan politik dan menyusun kekuatan baru . Jejaknya, sudah dimulai sejak tahun 1673, ketika kerajaan Johor, diserang oleh kerajaan Jambi. Dan ibukota Johor di Makam Tauhid, hancur oleh penjarahan pasukan Jambi, yang datang menyerang, diam-diam. Ini serangan balas dendam Jambi, atas serangan Johor yang terjadi, 1667. Sultan Johor, Abdul Jalil Syah III (Raja Bujang), harus menyingkir ke Terengganu. Dari sini, dia memerintahkan Laksamana Johor, Tun Abdul Jamil, agar mencari tempat di Bintan, dan membuat ibukota kerajan Johor yang baru. Laksamana Tun Abdul Jamil, yang sudah lama menjadikan sungai Carang, sebagai tempat menetap sementara, lalu memilih hulu sungai Carang, untuk menjadi tapak ibukota yang baru itu. Dari proses membangun pusat pemerintah Johor yang baru di hulu sungai Carang inilah, berasal nama Riau. Paara pedagang dan armada perang Portugis yang mencari pusat ibukota yang baru ini, karena ada di hulu Sungai, menyebutnya Rhio ( sungai ). Sementara orang-orang Melayu sendiri, menandai suasana riuh rendah pembangunan dan hilir mudik kapal-kapal yang membawa berbagai bahan bangunan dan makamannya, menadai tempat baru sebagai tempay yang “ Riuh atau Rioh “. Kemudia huku sungai Carang itu, disebut Ulu Riau, atau setelah itu juga disebut Riau Lama.
Hampir 3 tahun baru ibukota yang baru itu, siap dikerjakan, berikut dengan istana, pelabuhan, rumah-rumah para pembesar lainnya, serta benteng pertahanan. Tapi, Sultan Abdul Jalil Syah III tak sempat pindah ke Ulu Riau, karena dia terlebih dahulu mangkat di Terengganu, di penghujung tahun 1677 . Dia seharusnya diganti oleh Raja Bajau, Raja Muda Pahang, putera dari Sultan Johor Abdullah Muayat Syah. Tapi Raja Bajau, yang juga menantu dari Laksamana Tun Abdul Jamil, justru lebih dahulu wafat dari pada Sultan Abdul Jalil Syah III. Tahun 1676, Raja Bajau wafat, dan digantikan oleh anaknya Raja Ibrahim, sebagai Raja Muda Pahang. Raja Ibrahim, yang sebelumnya selalu ikut kakeknya Tun Abdul Jamil, bermukim di sungai Carang, dipanggil pulang ke Pahang. Kemudian, ketika Abdul Jalil Syah III wafat, dia menggantikannya sebagai Sultan Johor ke-8 , sebagaimana tradisi sebelumnya. Ketika dilantik, Raja Ibrahim begelar Sultan Ibrahim Syah.
Di era Ibrahim Syah inilah, tahun 1678, baru ibukota kerajaaan Johor itu pindah, dari Batu Sawar ke Ulu Riau, meskipun perpindahan itu sangat ditentang oleh Bendahara Johor ketika itu, yaitu Tun Habib Abdul Majid. Tetapi, atas desakan kakeknya, Laksaamana Tun Abdul Jamil, maka Ibrahim Syah tetap memindahkan pusat pemerintahannya ke Ulu Riau. Selain dia merasa lebih aman dan nyaman, karena ibukota yang baru itu lebih bagus dan kuat, dibanding Batu sawar yang dua tahun sebelumnya diporak porandakan oleh Jambi, dia juga merasa lebih terlindung karena langsung dibawah perlindungan kakeknya, Laksamana Tun Abdul Jamil, yang seluruh armada perang Johor, berada di muara sungai Carang. Dari Ulu Riau inilah kemudian, Sultan Ibrahim Syah, balas menyerang Jambi, membalas dendam atas serangan Jambi yang nyaris menewaskan Sultan Abdul Jalil Syah III dan menghancurkan ibukota Johor, Batu sawar, tahun 1667. Ibrahim Syah juga memajukan perdagangan di Riau. Tahun 1681, misalnya, sebuah kapal dagang Prancis “ Voiltour”, singgah di muara sungai Carang, dan kapal itu membawa hadiah Raja Prancis untuk raja Ibrahim. Tak lama kremudian dua buah kapal dari Siam, singgah di Sungai Carang ( sungai Riau ) , membawa hadiah untuk Sultan Ibrahim Syah. Tak lama setelah kedatangan kapal Siam itu, datang utusan kerajaan Siam Phra Klang, melakukan perjanjian persahabatan dengan Ibrahim Syah dan laksamana Tun Abdul Jamil. Tahun 1682, Sultan Ibrahim Syah bersama laksamana Tun Abdul Jamil, berlayar ke Batavia, dan bertemu dengan Gubernur Jendral VOC.
Perkembangan kerajaan Johor dan sungai Riau begitu pesat. Baik politik, mapun ekonomi. Banyak saksi mata dan pedagang asing bercerita tentang itu, berdasarkan dokumen-dokumen yang kemudian ditemukan, seperti di kantor Gubernur Belanda di Melaka, dll. Duet Sultan Ibrahim Syah dengan kakeknya Laksamana Tun Abdul Jamil, memunculkan kekuatan baru di rantau semenanjung, baik sebagai pusat perdagangan, juga kekuatan perang. Tetapi, juga konflik politik baru, karena pihak Bendahara Johor, Tun Habib Abdul Majid, merasa dilangkahi, dan membangkit rasa sakit hati yang sudah lama terpendam, sejak kasus Laksamana Tun Abdul Jamil, bertindak sebagai Bendahara, ketika melantik Raja Bujang sebagai Sultan Johor, di pulau Tembelan. Kemudian selama di Ulu Riau, semua perjanjian kerjasama dengan pihak asing, tidak lagi melibatkan Bendahara dan pembesar lainnya yang berada di Batu Sawar, di dareatan Johor, semua diputuskan di Ulu Riau. Apalagi, setelah Sultan Ibrahim Syah, melantik kakeknya itu sebagai Paduka Maharaja, penasehat Sultan, yang pengaruh politiknya melebihi Bendahara. Konflik politik itu makin menjadi-jadi, karena begitu Ibrahim Syah wafat, 1685, maka yang menggantikannya adalah putera nya Raja Mahmud, cicit Tun Abdul jamil. Dan yang melantiknya di Ulu Riau, adalah Tun Abdul Jamil, yang bergelar Paduka maharaja itu, bukan Bendahara. Kemudian, karena Mahmud, Sultan Johor ke-9 dan bergelar Mahmud Syah II itu, baru berumur 10 tahun, maka pemerintahan dilakukan oleh Tun Abdul jamil, sehingga kekuasaan Tun Abdul Jamil semakin besar. Tambahan, penggantinya sebagai laksamana Johor, adalah salah seorang anaknya. Kekuasaan Bendahara, yang sebenarnya, adalah orang keduia setelah Sultan, telah dilangkahi dan dianggap angin lalu.
Karena itu, dengan segala cara, Bendahara Tun Habib Abdul Jalil, berusaha memindahkan ibukota kerajaan Johor kembali ke Batu sawar, agar Sultan Mahmud Syah II juga bisa dibawa kembali ke Johor. Bendahara Tun Habib Abdul Majid, akhirnya berhasil memaksa Mahmud Syah pindah ke Johor, setelah 2 tahun dia dilantik di Ulu Riau. Dia pindah ke Johor, dan memilih Kota Tinggi, sebagai ibukotanya. “ Kalau tetap di Ulu Riau Baginda beristana, maka bukan Johor nama kerajaan kita, tetapi Riau. Kalau Baginda berkehendak Johor juga nama kerajaan kita, sebagaimana warisan nenek moyang kita, maka ke Johor lah kita pindah “ begitu kira-kira hujjah Bendahara Tun Habib pada Mahmud Syah.
Pemindahan itu selain alasan politis, juga bahagian dari konflik politik dan perebutan kekuasaan jabatan Bendahara antara Tun Abdul Jamil dengTun Habib Abdul Majid, seperti sudah dikemukakan sebelumnya. Secara resmi Bendahara Johor itu adalah Tun Habib Abdul Majid, karena dialah yang dilantik di era pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III (Raja Bujang), cucu Raja umar (Abdul Jalil Syah II). Tapi Laksamana Tun Abdul Jamil juga merasa dia adalah pejabat setingkat Bendahara. Karena dia juga Paduka Raja, gelar yang diberikan Ibrahim Syah. Dialah yang dulu, di pulau Tembelan, melantik Abdul Jalil Syah III menggantikan Sultan Abdullah Muayat Syah. Tun Abdul Jamil merasa dia telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk mempertahankan Johor dari serangan musuh, baik Aceh maupun Portugis.
Di era Sultan Abdul Jalil Syah III misalnya (1623-1677), Tun Abdul Jamil dianggap sebagai Datuk Bendahara. Dialah yang membantu Sultan Abdullah Muayat Syah, mengendalikan pemerinthan dalam pelarian, baik di Lingga maupun di Tembelan, ketika dikejar pasukan Aceh. Dialah yang diperintahkan Sultan Abdul Jalil Syah III membangun pusat kerajaan Johor di Bintan, ketika pusat kerajaan Johor di Makam Tauhid dihancurkan Jambi. Dia menjadi pelindungan keturunan dinasti Melaka yang tersisa, seperti Raja Bajau, putera Abdullah Muayat Syah. Dia kawinkan salah satui puterinya dengan Raja Bajau, yang kemudian melahirkan Raja Ibrahim, Sultan Johor ke 8. Dia juga yang melantik Mahmud Syah II sebagai Sultan Johor ke 9, ketika pusat pemerintahan Johor berada di Ulu Riau, bukan Bendahara Paduka Raja Tun Habib Abdul Majid. Dan karena Mahmud Syah masih berusia 10 tahun, dan belum bisa menjalankan pemerintahan, maka dialah yang sehari-hari membantu menjalankan pemerintahan. Kekuasaan Tun Abdul Jamil sebagai Laksamana yang begitu besar, dan merasa sebagai Bendahara itulah yang membuat Bendahara Tun Habib Abdul Majid, marah dan merasa dilangkahi.
Tahun 1688, setahun setelah memaksa Mahmud Syah II pindah ke Kota Tinggi, Bendahara Paduka Raja Tun Habib Abdul Majid, mengirim sejumlah pasukan ke Ulu Riau, untuk menggulingkan Tun Abdul Jamil dari kekuasaannya sebagai Laksamana dan sebagai Paduka Raja. Tun Abdul Jamil melawan. Terjadi perang saudara yang dahsyat, di Ulu Riau. Tun Habib Abdul Majid mundur, kembali ke Johor. Dan Laksamana Abdul Jamil memburunya ke Johor. Terjadi perang saudara yang hebat di Johor.
Sebenarnya Tun Abdul Jamil dengan dukungan angkatan perangnya, hampir mengalahkan pasukan Bendahara Tun Habib, tetapi, seprerti diceritalkan hasan Junus dalam bukunya “ Engku Puteri Raja Hamidah “, Tun Habib telah menggunakan perangkat kebesaran Sultan Johor berupa gendang dan nafiri, untuk memaksa pasukan pendukung Tun Abdul Jamil untuk menyerah. Karena begitu hormat atau daulat dan kekuasaan Sultan, maka begitu Nafiri dan gendang nobat itu dibunyikan, maka tunduk dan menyerahlah para pendukung Laksamana Tun Abdul Jamil. Laksamana tua itupun terdesak,dan kehabisan logistik. Karena kehabisan peluru misalnya, Tun Abdul Jamil diceritakan menggunakan uang koin tembaga untuk dijadikan peluru meriamnya dan ditembakkan ke pasukan Tun Habib Abdul Majid. Tapi, akhirnya Laksamana Tun Abdul Jamil kalah. Dia ,menyingkir ke Terengganu, dan menghabiskan masa tuanya disana. Dia menyaksikan dari jauh, Johor memasuki masa suram dan keruntuhannya, sebelum wafat dalam usia hampir 90 tahun di Terengganu. Tapia da juga sumber mengatakan Tun Abdul Jamil, tewas dalam pertempuran itu ( Mardiana Nordin, of.cit )
Tapi, Laksamana Johor ini, selain bijak, cerdas, dan berambisi, juga seorang ahli strategi. Dia piawai dalam merebut kekuasaan dan politik kerajaan. Dia berhasil meletakkan jejak dan kekuasaan dinastinya pada jalan sejarah Johor, melalui perkawinan politik. Seperti sudah diceritakan sebelumnya, misalnya, dia mengawinkan salah seorang puterinya dengan Raja Bajau, putera Sultan Johor 6, Abdullah Mauayat Syah, keturunan Sultan berdarah Melaka, yang kemudian melahirkan Ibrahim Syah, Sultan Johor ke 8. Menurut catatan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura (OK Nizami Jamil dkk, tim penulis Sejarah Kerajaan Siak, Desember 2010), dia juga mengawinkan Sultan Ibrahim Syah, cucunya dari sebelah ibu, dengan salah seorang puterinya, yang kemudian melahirkan Raja Mahmud, Sultan Johor ke 9. Kemudian, cucunya Cik Apung, anak salah seorang puteranya yang menikah dengan seorang wanita bangsawan kerajaan Johor, dinikahkannya dengan Mahmud Syah II, cicitnya dari sebelah ibu. Dan dari perkawinan inilah dikatakan kemudian yang melahirkan Raja Kecik, penerus tahta kerajaan Johor.
Menurut catatan buku Sejarah Kerajaan Siak itu lagi, ketika Mahmud Syah II dibunuh oleh Megat Sri Rama, dan kerajaan Johor berada dalam kondisi yang mencekam, karena ada upaya pihak tertentu di kerajaan Johor yang ingin menghabiskan semua keturunan Mahmud Syah II, maka pengikut-pengikut Tun Abdul Jamil menyelamatkan Cik Apung yang sedang hamil tua, dan melarikannya ke luar negeri Johor. Setelah melahirkan, dan puteranya itu yang diberi nama timangan Raja Kecik (nama timangan untuk Putera Mahkota), dibawa ke Muar, dan diserahkan kepada Temenggung Muar, yang masih kerabat laksamana Johor. Setelah berumur 7 tahun, Raja Kecik dibawa ke Minangkabau, untuk dididik dan dibesarkan di sana karena di Muar, calon putera mahkota itu, terus menerus diburu oleh para pengikut Sultan Abdul Jalil Riayat Syah (Tun Abdul Jalil). Setelah berusia 17 tahun, Raja Kecik kembali ke Johor, untuk menuntut balas dan merebut tahta kerajaan Johor yang katanya menjadi haknya.
Memang ada sumber lain, seperti Tuhfat an Nafis, yang menyatakan, bahwa pada waktu terjadi hura hara di kerajaaan Johor, 1699 itu, Raja Kecik sudah dilahirkan, meski masih kecil. Dia diselamatkan olek Laksamana Johor, dan dibawa ke Muar dan kemudian di titipkan pada Nakhoda Malim, dan dibawa ke Minangkabau. Dibesarkan di istana Pagaruyung, dan belajar menjadi pemimpin, dan mengasah ambisinya untuk merebut kembali tahta yang ditinggalkan ayahnya.
Kerajaan Johor, memang berakhir tragis. Sultan Mahmud Syah II, dalam usianya yang baru 29 tahun, dan baru memerintah selama 19 tahun, telah dibunuh oleh Laksamananya sendiri, Megat Sri Rama, yang digelar Laksamana Bintan, karena dia memang berasal dari Bintan. Pembunuhan Mahmud Syah ini merupakan pembunuhan politik pertama dalam sejarah kemaharajaan Melayu. Meskipun ada juga pembunuhan politik lain yang terjadi, tetapi umumnya melalui cara-cara yang halus, terutama dengan racun, dll. Tetapi yang menggunakan senjata, dan di depan umum, memang tragedi di Kota Tinggi, bulan Agustus tahun 1699 itulah. Saat Mahmud Syah yang sedang dalam perjalanan dijulang untuk pergi sholat Jumat ke masjid, Dia telah ditikam oleh Megat Sri Rama, hingga tewas. Meskipun, Megat Sri Rama juga dikatakan tewas, karena tikaman keris Mahmud Syah, yang sempat melawan.
Ketika Mahamud Syah II wafat dan bergelar Mahmud Syah mangkat dijulang, maka dia digantikan oleh Tun Abdul Jalil, bendahara kerajaan Johor, waktu itu, sebagai sultan Johor ke-10, karena Mahmud Syah II dikatakan tidak mewariskan putera mahkota. Tun Abdil Jalil yang bergelar Abdul Jalil Riayat Syah itu memerintah Johor mulai tahun 1699, dan menjadi preseden politik yang baru pertama kali terjadi di kemaharajaan Melayu ini, dimana seorang Bendahara kerajaan, menjadi Sultan. Menurut tradisi Melaka, memang dibolehkan, sepanjang Bendahara itu, masih sedarah dengan Sultan, meskipun untuk kejadian Tun Abdul Jalil ini masih jadi perdebatan para ahli sejarah, terutama sejarah Melayu, karena belum jelas apakah memang Tun Abdul Jalil ini masih berdarah Melaka atau bukan. Ayahnya Tun Habib Abdul Majid, bendahara sebelumnya, menjadi Bendahara dimasa Sultan Johor Alaudin Riayat Syah III. Sejarawan Malaysia Mardiana Nordin, dalam bukunya “Politik Kerajaan Johor 1718-1862”, terbitan yayasan Warisan Johor, 2008, telah menyajikan sampai empat rajah silsilah, asal usul Tun Habib Abdul Majid ( ketika mangkat diberi gelar padang Saujana, tempat dia dimakamkan ) itu, untuk bahan bandingan, dimana keempat silsilah itu, sangat berbeda, tergantung dari sumber mana dia berasal.
Sumber Tuhfat Al nafis versi Terengganu, misalnya tidak menyebut sama sekali dari keturunan mana Tun Habib. Yang ditampilkan hanaya keturunaannya, mulai dari Tun Abdul Jalil yang menjadi sultan Johor, menggantikan Mahmud Syah mangkat Dijulang. Sumber kedua, yang juga berasal dari Terengganu, yang dibuat oleh Datuk Sri Nara Wangsa, Terengganu, yang pernag dikutip oleh Abdullah Zakaria Ghazali dalam bukunya “ Istana dan Poilitik Johor 1835-1885 ( Mardiana Nordin, of.cit ), menyebutkanm Tun Habib Abdul Majid padang saujana, ayah Tun Abdul jalil itu, bersala dari keturunan Sultan Sulaiman Muazzamsyah Mangkat di Sanggora. Dia anak dari Muhammad Muazzam Syah ( mankat di Kota Tinggi ), cucu Sultan Sulaiaman 9 mangkat di Senggora). Dan menurut silsilah ini, Tun Habib Abdul Majid adalah paman Mahmudsyah mangkat Dijulang.
Lain lagi sumber dari Muar, dalam silsilah Temenggung-Temenggung Muar, dimana Tun Habib Abdul Majid dikatakan adalah keturunan Sayyed Idrus, dari Hidramaut yang menikah dengan Puteri Aceh. Hasil pernikahan itu melahgirkan Sayyed Zadtinal Abidin, yang menikah denganm Puteri Johor. Hasil perkawinan ini melahirkan anak yang menjadi Maharaja Seri Diraja, yang menikah dengan Anak Orang Kaya Darma, Muar. Dari perkawinan inilah lahir Tun Habib Abdul Majid Padang Saujana itu. Silsilah ini juga pernah dikutip R.O. Winstedt, dalam bukunya “ History of Johore” ( Mardiana Nordin of.cit ), itu sebab ada gelar Habib . dalam silsilah ini, ada satu nama yang ikut disebut-sebut di dalam Tuhfat Al Nafis dan juga Hikayat Siak, ketika terjadi perundingan mencari pengganti Mahmud Syah Mangkat Dijulang, yaitu datuk Pasir Diraja, yang dikatakan menolak menjadi Sultan, dan menyarakan agar keponanakannya Tun Abdul Jalil saja, yang waktu itu adalah Bendahara Johor, sebagai pengganti Sultan.
Satu lagi silsilah yang lebih mengejutkan, bersumber dari Johor sendiri. Dalam silsilah ini, Tun Habib Abdul majid dikatakan adalah keturunan Sultan Melaka dan Sultan Johor. Artyinya, betrdarah Melaka. Dia dikatakan adalah putera dari Sultan Abdullah Muayat Syah, marhum mangkat di Tembelan. Atau cucu dari sultan Johor ke-2 Muzagffar Syah II, dan cicit dari Alaudin Riayat Syah II, pendiri kerajaan Johor, atau piut dari Mahmud Syah I, sultan Melaka terakhir, atau dinasti Tun Fatimah juga. Sebaliknya, Mahmud Syah II mangkat Dijulang, dikatakan adalah keturunan Raja Umar, cucu Sultan Pahang yang menikah dengan Raja Fatimah, anak Alaudin riayat Syah II pendiri Johor. Artinya, Mahmud Mangkat Dijulang ini, bukan darah Melaka murni, karena moyangnya Raaja Umar, berdarah Pahang. Meskipun, para Sultan Pahang juga awalnya adalah keturunan Melaka juga. Menariknya, sumber ini dikatakan, diubah suai dari “ Geneological Tree of the Johore Royal Families , ANJB ( Mardiana Nordin, of.cit ). Demikianlah konflik politik anatara Laksamana Tun Abdul Jamil, dan Bendahara Johor Tun habib Abdul Majid. Setelah perang saudara itu, 1688, baik Tun Abdul Jamil maupun Tun Habib, dikatakan telah wafat. TRun Habib digantikan anaknya Tun Abdul Jalil sebagai Bendahara Johor. Sementara Tun Abdul jamil, digantikan oleh an anaknya swebagai laksamana Johor, bernama Wan Abdullah. Laaksamana Tun Abdul jamil telah membangun jejak dan tapak di sungai Carang, dan Tun Abdul Jalil ( kelak setelah wafat bergelar Marhum Kuala Pahang, tempat dia dibunuh oleh Panglima Sekam, atas perintah raja Kecik ). Juga membangun jejak dan tapat di Sungai carang juga, baik dari pemerintahannya, maupun keturunannya, seperti Tengku Sulaiman, yang kelak menjadi Sultan Riau-Johore-pahang-Tetrengganu, yang pertama, 1723.
Dalam catatan buku Sejarah Riau (Mukhtar Lutfi, dll, 1977) dikatakan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah (Tun Abdul Jalil) ini, pernah memindahkan pusat pemerintahannya dari Johor kembali ke Ulu Riau, di sungai Carang, sekitar tahun 1709. Perpindahan itu karena dia merasa terancam oleh daerah-daerah taklukan Johor yang semasa pemerintahannya mulai membangkang, karena menganggap dia bukan keturunan Melaka. Pembangkangan itu dilakukan kerajaan Kampar, Indragiri, Kedah, Kelantan, Terengganu dan Pattani (Siam). Mereka melepaskan diri dan mengancam akan menyerang Johor. Setelah pindah ke Ulu Riau, maka Abdul Jalil Riayat Syah, menyiapkan angkatan perangnya untuk menghukum kerajaan-kerajaan yang membangkang tersebut. Tahun 1710 misalnya, dari Ulu Riau, dia menyerang kerajaan Batu Bara dan Deli (di Sumatera Timur), tempat orang-orang Minangkabau berhimpun dan menentangnya. Lalu dia juga menyerang kerajaan Indragiri, tetapi Raja Indragiri waktu itu, Sultan Muzaffar, berhasil bertahan, dan Abdul Jalil Riayat Syah mundur kembali ke Ulu Riau. Merasa dia sulit menaklukkan semua bekas jajahannya, maka tahun 1713, dia bersekutu dengan VOC yang menguasai Melaka dan minta bantuannya untuk merebut kembali bekas daerah taklukannya. VOC setuju membantu, namun mereka gagal menaklukkan semua bekas jajahannya itu. Akhirnya, menjelang akhir masa jabatannya, kerajaan Johor itu tinggal menguasai Pahang, Singapura, Siak, Bintan, Bengkalis dan Lingga. Kemudian, tahun 1715, Abdul Jalil Riayat Syah, memindahkan kembali pusat pemerintahannya ke Johor, ke kota Panchor, setelah Belanda memberi jaminan, akan melindunginya dari serangan para musuhnya.
Tapi tahun 1718, tahtanya, dirampas oleh Raja Kecik, putera Mahmud Syah II yang kembali dari Minangkau ke Johor. Musuh yang tak pernah diduganya. Tak diduga, karena keberadaan Raja Kecik sebagai keturunan Mahmud Syah II masih diragukan. Sultan Abdul Jalil Riayat Syah percaya kepada para pembesarnya, yang mengatakan bahwa ketika terjadi huru hara tahun 1699, semua keturunan Mahmud Syah II sudah dilenyapkan, dan tidak akan pernah jadi ancaman. Karena itu pula, ketika Sultan Abdul Jalil Riayat Syah menerima surat ancaman dari Raja Kecik yang sedang berada di Langkat (Deli, Sumatera Timur), yang menyatakan dia akan datang ke Johor, dan mengambil tahta kerajan Johor, Sultan Abdul Jalil Riayat Syah dan pembesarnya, tidak menganggap ancaman itu sebagai hal yang serius dan berbahaya.
Tapi, tak dinyana, suatu malam berkabut, di awal Maret 1718, Raja Kecik bersama sejumlah prajurit dan penjajab perangnya, menerobos Sungai Johor, menuju ke Johor Lama, untuk bersiap dari bekas pusat pemerintahan di zaman Alaudin Riayat Syah II itu, menyerang Panchor, ibu Kota kerajaan Johor dizaman Abdul jalail Riayat Syah. Pada saat yang sama, Sultan Abdul Jalil Riayat Syah bersama para pembesarnya, yang mendapat kabar Raja Kecik akan menyerang Panchor, mengatur siasat dengan mengungsikan dahulu Sultan dan kerabatnya, meninggalkan ibu kota, menuju Johor Lama dan menyiapkan angkatan perangnya menunggu Raja Kecik di Panchor. Tetapi ternyata perhitungannya salah, dan di Johor lama justru sudah ada lebih dahulu Raja Kecik. Disanalah Raja Kecik dan pasukannya menunggu dan menyergap Sultan Abdul Jalil Riayat Syah, keluarga dan para pebemesarnya. Terjadi perang yang ramai antara pasukan Johor pengawal Sultan dan pasukan Raja Kecik, yang terdiri dari orang-orang Selat dari kerajaan Singapura. Mereka bertempur, dan setelah hampir 2 minggu, akhirnya Sultan Abdul Jalil Riayat Syah menyerah. Dan Raja Kecik menawan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah ,dan kerabatnya, merebut Johor dan kemudian menguasai istana di Panchor.
Buku Sejarah Kerajaan Siak menceritakan, bahwa Raja Kecik, meski sudah menawan Sultan dan merebut istana, tidak berniat membunuh Sultan Abduljalil Riayatsyah. Bahkan dia berencana akan mengembalikan jabatan Bendahara Johor, kepada Abdul Jalil Riayatsyah. Dia hanya minta Tun Abdul Jalil melepas jabatan Sultannya, dan membantu dia membangun Johor. Bahkan, untuk mempererat persaudaraan, Raja Kecik merencanakan perkawinan politik, dengan meminang puteri Tun Abdul Jalil yang bernama Tengku Tengah. Sudah bertunangan, namun pertunangan itu batal dan menjadi benih sengketa, gara-gara Raja Kecik jatuh hati pada Tengku Kamariah, adik Tengku Tengah. Abdul Jalil dan kerabatnya marah dan merasa terhina. Apalagi, secara paksa Raja Kecik mengawini Tengku Kamariah. Maka, secara diam-diam, Tengku Tengah dan saudara-saudaranya menculik Tengku Kamariah dari Raja Kecik (dalam catatan sejarah dikatakan penculikan itu dilakukan saat Raja Kecik lagi sembahyang Isya). Meskipun menolak, Tengku Kamariah dilarikan ke rumah saudara-saudaranya. Raja Kecik yang waktu itu sudah melantik dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Abdul Jalil Rahmat syah, marah besar dan mengumpulkan angkatan perangnya, dan menyerang Tun Abdul Jalil, dan memaksa Tun Abdul Jalil meninggalkan Johor. Tun Abdul Jalil mengungsi dan mundur ke Pahang.
Di Johor ketika itu, situasinya memang sangat tidak kondusif secara politik. Dukungan kepada pemerintah terbelah. Ada yang memihak kepada Raja Kecik, terutama rakyat Johor yang ada di ibukota pemerintahan dan sekitarnya, termasuk orang-orang Selat, serta Siak, Bengkalis dan Bintan. Sedangkan yang mendukung Tun Abdul Jali, terutama kerabatnya yang ada di Pahang dan Terengganu. Sedangkan, di luar Johor, seperti Selangor dan Kelang, di bawah kendali para bangsawan Bugis yang datang ke kawasan Selat Melaka sebagai tentara bayaran. Raja Kecik kemudian memutuskan, memindahkan kan lagi pusat pemerintahan dari Panchor di semenanjung, ke Ulu Riau, di sungai Carang. Ini kelima kali Sungai carang kembali, menjadi pusat pemeringtahan kerajaan Melayu. Raja Kecik, pindah karena menganggap Johor sudah porak poranda, penuh intrik, dan tidak punya harapan. “Negeri ini negeri celaka, baiklah kita pindah ke Riau”, begitu ujar Raja Kecik.
Raja Kecik membangun Ulu Riau sebagai pusat pemerintahan, membangun istana yang baru dan besar, yang katanya disebut istana Bunga Lawang Emas, karena motif ukiran istana itu adalah motif bunga lawang, yang disepuh emas. Juga pintu dan tingkapnya. Raja Kecik juga membangun benteng dan pertahan lainnya. Tapi dendam Raja Kecik kepada Tun Abdul Jalil dan kerabatanya karena telah menculik isterinya Tengku Kamariah yang sangat dicintainya itu, tetap membara. Karena itu, dia mencari cara bagaimana dia bisa merebut kembali isterinya, dan menyingkirkan Tun Abdul Jalil. Apalagi dia mendapat kabar bahwa Tun Abdul Jalil, yang menyingkir ke Pahang itu, justru mendirikan kerajaan baru yang dinamakan kerajaan Pahang, Johor dan Terengganu. Berarti ada dua Sultan. Maka, dari Ulu Riau, sebagai siasat politik, Raja Kecik mengutus Panglima Sekam, panglima andalannya, untuk membujuk Tun Abdul Jalil agar menyerah, dan berjanji akan mengembalikan Tun Abdul jalil kejabatannya yang dahulu sebagai Bendahara Johor. Tun Abdul Jalil yang berada di Pahang dan makin kehilangan kekuasaan, akhirnya setuju dengan tawaran Raja Kecik. Dia meninggalkan Pahang, bersama kerabat dan pembesarnya, kembali ke Johor. Namun ketika beristirahat di Kuala Pahang, ketika sedang sembahyang subuh, dia dibunuh oleh Panglima Sekam atas perintah Raja Kecik. Lalu semua putera puteri Tun Abdul Jalil ditawan dan dibawa ke Ulu Riau, ke istana Raja Kecik dan ditawan disana.
Tengku Sulaiman, anak tertua Tun Abdul Jalil, bersama saudara-saudara dan kerabat lainnya yang ditawan di Ulu Riau, cemas melihat masa depan mereka, apalagi mereka melihat betapa tegar dan liciknya Raja Kecik dalam merealisasi ambisinya menjadi Sultan Johor. Ayah mertuanya Tun Abdul Jalil saja, disuruh bunuh. Maka diam-diam Tengku Sulaiman, dengan adiknya Tengku Tengah dan Tengku Mandak, serta saudaranya yang lain, seperti Tun Abas, Tun Abdul Majid, meminta bantuan kepada Upu-Upu Bugis Lima Bersaudara (Daeng Perani, Daeng Kumasi, Daeng Marewa, Daeng Celak dan Daeng Manambun), untuk menyerang Raja Kecik di Riau, membebaskan mereka dan merebut kembali tahta ayahnya. Mereka ingin membalas dendam atas kematian ayahnya Tun Abdul Jalil. Para pendekar Bugis asal kerajaan Luwu di Sulawesi ini, setuju dengan permintaan Putera-puteri Tun Abdul Jalil, asalkan kelak kalau mereka menang dan berhasil merampas tahta kerajaan Johor dari Raja Kecik, mereka diberi jabatan sebagai Raja Muda. Tengku Sulaiman dan adik-adiknya setuju, bahkan setuju juga jika adik-adiknya (Tengku Tengah dan Tengku Mandak) menjadi isteri para Upu-upu Bugis lima bersaudara itu, kalau kelak mereka menang. “Kalau Upu-upu mau membantu, dan kita menang, tak usahkan menjadi penanak nasi, menjadi nasipun pun kami rela”, begitu kata Tengku Tengah, seperti dikisahkan dalam Tuhfat Al Nafis.
Upu-upu lima bersaudara itu setuju menyerang Raja Kecik, bukan hanya karena tertarik dengan tawaran Tengku Sulaiman dan saudara-saudaranya, juga karena mereka sakit hati kepada Raja Kecik. Sebelum Tengku Sulaiman dan saudara-saudaranya meminta bantuan, Raja Kecik sendiri sebelum menjadi Sultan Johor, sudah pernah lebih dahulu minta bantuan dari Upu-Upu Bugis Luwu itu, untuk menyerang Sultan Abdul jalil Riayat Syah, yang telah merampas tahta Johor dan menjadi arsitek dari pembunuhan ayahnya, Mahmud Syah II. Janji itu dibuat Raja Kecik dengan Daeng Perani, salah satu saudara tertua dari Upu-upu itu. Tetapi, Raja Kecik melupakan para Upu-upu itu, ketika dia mendapat dukungan dari orang-orang Selat (suku Laut yang menetap di Selat Singapura, yang bersedia mendukung Raja Kecik, karena menganggap Raja Kecik adalah keturunan Melaka yang berdarah Iskandar Zulkarnain). Seperti dicerikan terdahulu, tanpa menunggu bantuan Upu-upu itu, Raja Kecik menyerang Johor dan berhasil mengalahkan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah (Tun Abdul Jalil) dalam pertempuran di Johor lama.
Tahun 1722, bersama para pengikut Tun Abdul Jalil yang tersisa, mereka menyerang Raja Kecik (Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah) di Ulu Riau. Terjadi pertempuran laut yang sengit di kuala sungai Carang. Mulai darim pulau Indra Sakti (pulau penyengat sekarang), sampai ke pulau Bayan. Tetapi Raja Kecik berhasil memukul mundur pasukan Melayu Bugis yang dipimpin Daeng Marewa, saudara kedua Upu-Upu lima bersaudara itu. Akhirnya, pasukan Melayu Bugis itu berundur ke Linggi, sebuah tempat diantara Melaka dan Johor, di barat semenanjung Melaka, untuk mencari bantuan orang-orang Bugis yang ada di Linggi, Selangor dan Melaka, sambil mengatur siasat .
Di Linggi, dibawah pimpinan Daeng Marewa sebagai panglima perang, pihak Bugis mengatur siasat bagaimana menaklukkan benteng Raja Kecik di Ulu Riau. Akhirnya mereka menggunakan taktik menggunakan Penghulu Linggi sebagai umpan. Merekaa menugaskan Penghulu Linggi ke Ulu Riau, untuk mengajak Raja Kecik ke luar dari Ulu Riau, dan memancingnya untuk menyerang mereka ke Linggi. Siasat ini berhasil, karena Raja Kecik termakan bujuk rayu Penghulu Linggi, untuk menyerang pasukan Bugis di kuala Linggi, dengan alasan untuk melindungi orang-orang Melayu yang kebanyakan nelayan itu, yang kata Penghulu Linggi, ditindas oleh orang-orang Bugis. Tapi keputusan Raja Kecik keluar dari Ulu Riau dan menyerang Linggi itu, menjadi melapetaka bagi Raja Kecik dan pasukannya, karena begitu dapat kabar Raja Kecik meninggalkan Ulu Riau dan menyerbu Linggi, maka secara diam-diam pasukan Bugis dipimpin Daeng Marewa, justru menuju ulu Riau. Menyerang istana Raja Kecik yang sedang kosong ditinggalkan angkatan perangnya, dan hanya ditunggui Sultan Sulaiman dan para saudaranya yang ditawan disana. Daeng Marewa menguasai benteng pertahan dan muara sungai carang. Sedangkan di kuala Linggi, Raja Kecik disambut pasukan perang Upu-Upu bangsawan Bugis yang lain dibawah pimpinan Daeng Perani. Bahkan, Penghulu Linggi yang katanya minta bantuan Raja Kecik untung melindungi orang Melayu, justru berhianat dan bergabung dengan pasukan Bugis, melawan Raja Kecik. Tahulah Raja Kecik bahwa dia sudah dihianati dan masuk perangkap siasat para Upu-Upu lima bersaudara itu. Pasukan Raja Kecik terkepung. Mau kembali ke Ulu Riau, disana sudah ada pasukan bugis melayu dipimpin Daeng Marewa. Mau terus berperang di Linggi, pasukan Bugis terlalu ramai dan kuat. Akhirnya, Raja Kecik menyingkir, menuju Lingga. Tetapi karena terus dikejar pasukan Bugis, maka dia dan sisa pasukannya terpaksa menyeberang ke daratan Sumatera, menuju sungai Siak, kerajaan kecil yang sudah dikenalnya dan masih setia mendukungnya, ketika dia dahulu datang dari Pagarruyung dan memulai petualangannya merebut tahta Johor. Di sungai Siak ini, akhirnya Raja Kecik menemukan tempat bertahan dan berkampung sementara, sebuah tempat bernama Buantan. Di sini Raja Kecik melakukan konsolidasi, menyiapkan kembali angkatan perangnya, untuk merebut kembali Ulu Riau.
Beberapa kali dilakukannya serangan. Yang terbesar terjadi tahun 1721, di pulau Bayan. Dalam pertepuran di tengah hujan lebat di pulau kecil itu, Raja Kecik kembali dikalahkan, dan terpaksa kembali ke Siak. Karena berkali-kali dikalahkan, akhirnya Raja Kecik memutuskan untuk berhenti sementara waktu menyerang pihak Melayu-Bugis itu, dan konsentrasi membangun negeri yang baru di sungai Siak itu. Maka tahun 1722, Raja Kecik memutuskan mendirikan pusat pemerintahannya yang baru di Buantan, di sungai Siak, dan mengendalikan pemerintahan Johor dari sana. Kemudian, karena sudah mulai aman dari gangguan pasukan Bugis-Melayu, dia memaklumkan berdiri kerajaan yang baru, kerajaan Siak Sri Indrapura, kerajaan penerus Johor, dan dia sebagai Sultan pertama, dengan gelar yang sama seperti di Johor, yaitu Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.
Tapi meski sudah memaklumkan punya kerajaan baru, dia masih menyimpan amarah dan dendam kepada Tengku Sulaiman dan Upu-Upou Bugis Luwu itu. Karena permaisurinya Tengku Kamariah, masih ditawan pihak Bugis-Melayu di Ulu Riau. Dia sangat mencintai isterinya. Demikian juga Tengku Kamariah, apalagi mereka sudah memiliki seorang putera yang diberi nama Tengku Buang Asmara. Karena itu, begitu Tengku Kamariah mendapat kabar bahwa dirinya akan dinikahkan dengan Daeng Celak, salah satu Upu Bugis itu, maka dia langsung mengirim kabar kepada Raja Kecik agar segera menyelamatkannya. “Kalau Paduka kakanda hendak mengambil adinda, hendaklah diambil dengan jalan perang. Jika tidak, adinda tidak mau, dan biarlah adinda menikah dengan anak raja Bugis…”, Begitulah diceritakan isi surat Tengku Kamariah itu. Bahkan ada cerita yang lebih dramatis. Ketika Daeng Celak mengajak Tengku Kamariah menikah dengannya, maka Tengku Kamariah menjawab: “Kalau begitu kehendak allah taala, baik lah, tetapi adinda minta mas kawinnya, adalah kepala Raja Kecil, suami adinda…”, tantangnya.
Akan halnya Raja Kecik, begitu mendapat kabar dari permaisurinya, bahwa pihak saudara-saudara isterinya di Ulu Riau hendak menikahnya dengan salah satu Upu-upou Bugis Luwu itru, maka Raja Kecik membawa sebuah pasukan khusus untuk merebut kekasih hatinya. Seperti diceritakan buku Sejarah Kerajaan Siak (OK Nizami Jamil, dkk), disuatu dini hari yang dingin, saat seisi istana di Ulu Riau yang didiami Tengku Sulaiman dan kerabatnya, dan sebahagian pemimpin Bugis itu, masih terlelap, Raja Kecik dan pasukan khususnya, menyelinap. Mengambil isterinya Tengku Kamariah dan putera mereka yang masih kecil, Tengku Buang Asmara, dan melarikannya kembali ke Siak. Pagi harinya, setelah seisi istana sadar, Tengku Kamariah telah dilarikan, maka orang-orang Bugis itupun marah dan ingin, mengejarnya. Hanya saja, Tengku Sulaimna, abang tertua Tengku Kamariah, mencegahnya. Dan dia sebenarnya, sudah lama ingin menyerahkan adiknya itu, kembali ke suaminya, dan mengajak iparnya, Raja Kecik, berdamai saja, dan menghindari pertumpahan darah, karena sesungguhnya mereka itu bersaudara. Tetapi gagasan Tengku Sulaiman itu ditentang adiknya Tengku Tengah, yang masih tetap terluka karena pernah dipermalukan oleh Raja Kecik. Dialah arsitek yang berencana mengawinkan adiknya Tengku Kamariah itu dengan Daeng Celak. Setelah adiknya itu dilarikan ke Siak, maka Tengku Sulaiman minta Upu-upu Bugis itu untuk melupakan peristiwa itu, dan mulai membenahi istana dan pusat pemerintahan. Sebab, dengan dikuasainya Ulu Riau oleh pihak Bugis-Melayu, tujuan utama mereka sudah tercapai, yaitu merebut tahta Johor dari tangan Raja Kecik, dan mengembalikannya ke tangan keturunan Tun Abdul Jalil. Akhirnya, mereka sepakat untuk segera melakukan hal yang lebih penting: melantik Teng Sulaiman sebagai Sultan Johor yang baru, dan melantik salah satu Upu-Upu lima bersaudara itu sebagai Raja Muda, sesuai dengan janji mereka. Kemudian membangun kerajaan itu, dan melupakan Kota Tinggi, ibukota yang lama, yang sudah porak poranda, menjadi padang tekukur.
Hanya saja, pelantikan itu, tidak bisa dilakukan, karena semua perangkat istiadat pelantikan, seperti Sirih Besar,gendang nobat, nafiri, dan lainnya dikuasai oleh Raja Kecik, dan dibawa ke Siak. Tanpa perangkat regalia kerajaan itu, pelantikan menjadi tidak syah secara hukum dan istiadat, sebagaimana yang diwariskan oleh tradisi nenek moyang orang Melayu, sejak zaman Melaka. Maka pilihannya, adalah segera berdamai dengan Raja Kecik, dan meminta Raja Kecik menyerahkan regalia kerajaan Johor itu. Karena sesungguhnya, Raja Kecik sudah kalah, dan Tengku Sulaimanlah yang berhak atas tahta kerajaan Johor itu.
Pihak Melayu-Bugis kemudian mengirimkan utusan serta pasukan yang kuat, menuju Siak, dan mengajukan tawaran damai. Ternyata Raja Kecik yang pada mulanya menolak dan bersiap untuk berperang lagi, atas bujukan isterinya, dan karena juga sudah lelah berperang, dan demi cintanya kepada Tengku Kamariah, akhirnya bersedia berdamai. Ada tiga butir penting perjanjian damai itu. Pertama, Tengku Sulaiman berhak atas kawasan pulau-pulau disekitar Riau, seperti Bintan, Karimun, Lingga, dan juga Johor, Pahang dan Terengganu. Kedua, Raja Kecik menguasai Siak , Bengkalis, Rangsang, Rupat, dll. Ketiga, perangkat regalia penobatan itu, dibagi dua. Sebagian menjadi milik Raja Kecik, dan sebahagian lagi milik Tengku Sulaiman bersaudara.
Dengan perdamaian itu, maka selesailah sengketa perebutan tahta kerajan Johor-Pahang-Terengganu itu. Dan muncullah dua kerajaan baru penggantinya. Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Terengganu, dengan Sultannya Tengku Sulaiman, dan kerajaan Siak Sri Indrapura dan daerah taklukannya, dengan Sultannya Raja Kecik. Kedua-dua kerajaan ini, meneruskan tradisi sebagai penerus dinasti Melaka, dan Johor, dan menggunakan semua tradisi dan istiadat berpemerintahan, dengan mengambil hukum dan tradisi Melaka. Meskipun setelah itu masih sering terjadi perang, antara kedua pihak. Tapi lebih disebabkan masalah kerabat dan saling membela. Tengku Alam, anak Raja Kecik dengan seorang perempuan dari Palembang misalnya, berperang dengan Sultan Sulaiman, penguasa kerajaan Riau-Johor, gara-gara pihak Riau Johor, membela adiknya Tengku Mahmud ( Tengku Buang Asmara ) , yang merampas tahta kerajaan Siak. Padahal, dialah anak paling tua, dan paling berhak atas tahta tersebut. Tapi para pembesar Siak, justru mengangkat adiknya sebagai Sultan. Tengku Alam, sebelum berhasil menjadi Sultan Siak, terkenal sebagai salah serorang pemimpin bajak laut yang ganas di Selat Melaka.
Siapakah yang sebenarnya pewaris darah Melaka itu ? Sulaiman Badrul Alam Syah dengan kerajaan Riau-Johoe-Pahang-Terengganu atau Raja Kecik dengan kerajaan Siak Sri Indrapura ? Sejarahlah yang membuktikannya .
Selengkapnya :
BAB I
https://jantungmelayu.com/2020/07/prasasti-bukit-siguntang-dan-badai-politik-di-kemaharajaan-melayu-1293-1913-sebuah-renungan/
BAB II
https://jantungmelayu.com/2020/07/memanggul-prasasti-bukit-siguntang/
BAB X
https://jantungmelayu.com/2020/07/dan-bunda-tanah-melayu-pun-tersedu/