PRASASTI BUKIT SIGUNTANG DAN BADAI POLITIK DI KEMAHARAJAAN MELAYU 1293-1913
(Sebuah Renungan)
BAB – VIII
JEMBIA CINTA KUALA BULANG
( Akhir Kerajaan Riau-Lingga–Johor, 1812-1913)
Sungai Carang kembali hidup, setelah konflik politik perebutan jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Johor antara Tengku Muda Muhammad ( Melayu ) dan Raja Ali ibni Daeng Kamboja, ( Bugis ) berhasil didamaikan, di Kuala Bulang, 1803. Dan jabatan yang Dipertuan Muda dikembalikan ke pihak Bugis, kepada raja Ali ibni daeang Kamboja. YDM Raja Ali memerintah, dan meneruskan perkembangan ekonomi dan sosial yang sudah dimulai ketika Engku Muda Muhammad menjadi Raja Muda. Perdagangan mulai ramai. Apalagi di Tanjungpinang, meskipun Belanda sudah pergi, dan kawasan itu menjadi daerah kekuasaan Sultan Riau, tapi sebagai bandar dagang, terus berfungsi. Tempat gambir, lada hitam, dan hasil hutan diperdagangkan. Sementara itu, pulau Penyengat Inderasakti, semenjak diserahkan kepada Engku Puteri Hamidah oleh Sultan Mahmud III, segera dibangun. Enchik Kalok, 1803, ditugaskan Sultan Mahmud Syah III untuk membangun pulau itu. Membersihkannya, dan membangun tempat kediaman Engku Puteri. Meskipun, sehari-hari Engku Puteri banyak di Lingga, menemani Sultan Mahmudsyah III memerintah, tetapi sesekali dia pulang ke Penyengat. Sementara saudara-saudaranya, ketrununan Bugis-Melayu lainnya, menetap di Penyengat, dan menjadikan pulau mungil itu, sebagai kampung halaman mereka. Keputusan Sultan Mahmud Syah III memberikan pulau Penyengat sebagai tempat pemukiman pihak sebelah Bugis, kemudian menjadi sebuah keputusan politik dan ekonomi yang sangat penting. Karena, dengan istilah pembagian permakanan, maka diputuskan, bahwa pulau Lingga, Singkep, dan kawasan sekitarnya menjadi daerah permakanan para keturunan Sultan Mahmud Syah III, seperti puteranya Tengku Husin dan Tenbgku Abdurrahman. Sedangkan, pulau Penyengat, Ulu Riau, karimun, Kundur dan pulau Tujuh, menjadi daerah permakanan pihak sebelah Bugis. Hanya Bulang, Batam, Johor dan Pahang, Sultan Mahmud Syah III tak berdaya mengutak atiknya, karena telah menjadi hak dan kekuiasaan Bendahara dan Temenggung, sebagaimana awalnya sejarah kerajaan ini bermula.
Tahun 1806, Raja Ali, YDM V itu, wafat. Di makamkan di pulau Bayan, karena itu digelar Marhum Pulau Bayan. Sebagai penggantinya, maka Raja Djaafar, yang sudah lama menetap di Klang, Selangor, dipanggil pulang. Sebenarnya, Raja Djaafar menolak. Karena itu, jabatan YDM itu sempat kosong selama 2 tahun, sebelum Sultan Mahmud Syah III dan Engku Puteri Hamidah mengutus dua pembesarnya, untuk meminta Raja Djaafar kembali ke Riau. Sultan Mahmud Syah III dan permaisurinya Engku Puteri Raja Hamidah, membujuknya, dan menegaskan, bahwa dia harus, mempertahankan warisan nenek moyak keturunan Bugis-Melayu yaitu Sumpah Setia Melayu Bugis. Dialah yang paling layak untuk menjadi YDM dan menjadi pemimpin keturunan Bugis di sana. Apalagi, Sultan Mahmud Syah, ketika itu sudah mulai sakit-sakitan, meskipun usianya baru 45 tahun. Akhirnya Raja Djaafar mengalah. Dia kembali ke Lingga, dan dilantik, menjadi YDM VI, tahun 1808. Kemudian dia minta izin kepada YDB Maahmud Syah III agar dia menetap di pulau Penyengat saja, di pulau milik kakak nya Engku Puteri. Sesekali dia akan ke Lingga, jika Sultan Mahmud Syah III memerlukannya.
Raja Djaafar membangun istananya di pulau Penyengat. Bagus dan mewah, karena dia memang memiliki kekayaan dari hasil perniagaan timahnya. Dia membangun juga pulau Penyengat, membuat pelabuhan, dan sarana lainnya. Dia membangun perahu-perahu perang yang baru. Kapal-kapal dagang yang baru, agar bisa berpergian ke ceruk rantau, dan mengawasi daerah taklukan Riau yang ada di kawasan semenanjung dan pesisir Sumatera. Seperti Singapura, Johor, Pahang dan Terengganu, juga pulau Tujuh, Reteh (Tembilahan), dll. Dia berkeliling ke semua ceruk rantau itu, sebagaimana tugas seorang YDM. Sementara Mahmud Syah, tetap di Lingga, dibantu permaisurinya Engku Puteri dan adik iparnya Raja Ahmad, yang menjadi sekretaris kerajaan.
Tapi, 4 tahun setelah Raja Djaafar dilantik jadi YDM, Sultan Mahmud Syah III wafat karena penyakit yang lama dideritanya. Persisnya 12 Januari 1812. Mahmud Syah III meninggalkan dua orang putera, yang sama-sama berhak menjadi penggantinya. Tengku Husin yang tertua dan Tengku Abdurrahman yang muda. Tapi kedua-duanya sama-sama berasal bukan dari isteri Sultan yang gahara (yang berketurunan bangsawan). Ibu Tengku Husin, Enchik Makoh, keturunan Bugis, anak seoraang saudagar. Sementara ibu Tengku Abdurrahman, Enchik Maryam, keturunan Melayu, anak syahbandar Hasan. Sultan Mahmudsyah III mempunyai 4 orang isteri, selain dua wanita keturunan biasa itu, dia punya dua isteri yang gahara. Isteri pertamanya, Engku Puan, anak Bendahara Pahang, keturunan Melayu dari dinasti Bendahara Tun Abdul jalil, tapi tidak memperoleh keturunan. Kemudian Raja Hamidah, keturunan Bugis, puteri Raja Haji Fisabilillah yang dinikahkannya setelah perdamaian Kuala Bulang, dan kemudian dijadikan permaisurinya. Juga tidak mendapat keturunan.
Seperti diceritakan di dalam Tuhfat an Nafis, terhadap kedua puteranya itu, Mahmudsyah III sangat sayang kepada Tengku Abdurrahman, karena anaknya itu sangat baik perangainya, penurut dan rajin belajar berbagai ilmu. Sedangkan, Tengku Husin agak degil, tak suka belajar, dan suka berpergian ke mana-mana. Namun, Engku Puteri sangat sayang pada Tengku Husin. Ketika akan wafat, Sultan Mahmud Syah III membisikkan ke telinga Raja Djaafar: “Si Komeng…. Si Komeng….” sebagai calon penggantinya. Maka, si Komeng alias Tengku Jumat alias Tengku Abdurrahman itulah yang dipilih Raja Djaafar, untuk menggantikan ayahnya. Apalagi, ketika itu, Tengku Husin, justru tidak berada di Lingga, saat ayahnya wafat. Dia sedang pergi ke Pahang, ke tempat Bendahara Pahang, Tun Ali.
Tapi pilihan Raja Djaafar, ditentang oleh Engku Puteri, permaisuri dan pemegang regia kerajaan. Menurut Engku Puteri, Tengku Husin lah yang paling berhak, karena dia yang tertua. Begitulah adat istiadat kerajaan-kerajan Melayu selama ini, jika mencari pengganti Sultan. Tetapi, YDM Raja Djaafar tetap kukuh memilih Tengku Abdurrahman sebagai pengganti ayahnya, karena menurut dia, itulah amanah dari Sultan Mahmud Syah III. Apalagi dia sudah mengajak bermusyawarah para pembesar negeri Lingga yang lain, meskipun ketika itu Bendahara dan Temenggung tidak hadir, karena masih di Pahang, bersama Tengku Husin. Yang ada antara lain, Penghulu Bendahari, Djaafar sendiri sebagai YDM, serta Sayyid Zein Al Qudsi, penasehat agama kerajaan. Musyawarah pembesar negeri, memutuskan Tengku Abdurrahmanlah yang layak menjadi Sultan, sesuai dengan amanah Sultan. Selain dialah yang ada saat itu, disaat ayahnya wafat. Jenazah tidak boleh dibiarkan terlalu lama tidak dimakamkan, sebagai mana disyaratkan agama Islam. “Raja harus dimakamkan oleh Raja” begitu ketentuan adat istiadat berkerajaan ketika itu, meskipun ketika itu ada YDM.
Maka marahlah Engku Puteri kepada adiknya, YDM Raja Djaafar. Dia menolak untuk mengeluarkan regalia kerajaan sebagai sarat untuk pelantikan Sultan. Regelia itu, terdiri dari Sebuah Cogan berbentuk Sirih Besar (terbuat dari emas, bertulang perak), pedang emas berhulu panjang dengan rantai sayap sandang, gendang nobat, dan perangkat pusaka kerajaan. Perangkat nobat ini, bahagian dari pusaka kerajaan Johor yang dibagi dua dengan Raja Kecik, Sultan Siak, ketika, mereka berdamai dahulunya, di Siak, dan dipakai untuk melantik Tengku Sulaiman ibni Tun Abdul Jalil, sebagai Sultan Riau-Johor, tahun 1723. Karena Engku Puteri menolak, maka Raja Djaafar tetap mengumumkan kepada rakyat Lingga, bahwa Tengku Abdurrahman alias Tengku Jumatlah yang menjadi penggantinya. Setelah, pengumuman itu, maka jenazah Sultan Mahmud Syah III dimakamkan di dekat masjid yang dibangunnya, dan kemudian diberi gelar Marhum Mesjid.
Tiga hari kemudian, 15 Januari 1812, seperti dicatat oleh sejarawan Aswandi Syahri (Temenggung Abdul Jamal dan Sejarah Temenggung Riau Johor di Pulau Bulang 1722-1824, 2004), Tengku Abdirrahman dilantik oleh YDM Raaja Djaafar sebagai Sultan Riau-Lingga, menggantikan ayahnya, dengan gelar Sultan Abdurrahman Muazzam Syah. Pelantikan itu, tidak menggunakan perangkat kebesaran regalia kerajaan, karena Engku Puteri enggan memberikannya. Pada hari yang sama, Tengku Husin tiba di Lingga bersama Temenggung Abdurrahman dan Bendahara Pahang Tun Ali. Dia memprotes pelantikan Tengku Abdurrahman sebagai pengganti ayahnya, dan menyatakan bahwa dialah yang paling berhak. Bahkan dia mengatakan bahwa dia sudah dilantik oleh Bendahara Pahang Tun Ali, sebagai Sultan Riau Lingga menggantikan ayahnya Mahmuid Syah III, sebagai mana dahulunya Bendahara Pahang melantik Raja Haji sebagai YDM Riau Lingga menggantikan Daeng Kamboja. Tapi YDM Raja Djaaafar menolak, dan tidak mau mengubah putusannya.
Konflik perebutan tahta kerajaan Riau-Lingga ini, terus melebar karena Engku Puteri tetap enggan mengakui Abdurrahman Muazzam Syah sebagai Sultan Riau-Lingga yang syah. Bahkan, selama hampir 3 tahun dia mengambil alih tugas-tugas pemerintahan kerajaan Riau-Lingga sebagai Ibu Suri, dan bahkan ada yang menyebutkannya sebagai Sultanah (Sultan Perempuan). Baru setelah dinasihatkan oleh berbagai pihak, termasuk para tokoh agama, akhirnya Engku Puteri mundur dan melepas kekuasaannya. Dia kembali ke Penyengat, ke pulau miliknya itu, dengan membawa semua perangkat kebesaran kerajaan Riau Lingga itu (regalia) bersamanya. Sementara itu, Tengku Husin pun pergi meninggalkan Lingga. Padamulanya ke Pahang, ke tempat mertuanya Tun Ali, tapi kemudian, ke pulau Penyengat mengikut Engku Puteri. Menetap di kampung Bulang, di pulau Penyengat (di sungai Carang ada juga kampung Bulang dan lebih dulu ada, dan pernah jadi tempat tinggal Temenggung dan Raja Muda), sambil menunggu kesempatan untuk merebut kembali tahta kerajaan Riau-Lingga itu, atau menjadi Sultan di Singapura, seperti yang direncanakannya bersama pemuka Melayu disana, terutama Temenggung Johor Abdurrahman dan Bendahara Pahang Tun Ali dengan minta dukungan kepada Inggeris. Sesakali dia diundang hadir dalam pertemuan dengan Sultan dan YDM di Daik, tetapi tidak mempunyai kekuasaan apa-apa.
Pertikaian politik dalam perebutan tahta kerajaan Riau-Lingga antara Tengku Husin dan saudaranya Tengku Abdurrahman (Abdurrahman Muazzam Syah), 1812, itu ibarat retak menunggu belah, bagi nasib kerajaan Riau, Lingga dan Johor itu. Sebab, sejak terjadi konflik politik perebutan jabatan Yang Dipertuan Muda Riau Lingga tahun 1801, antara Engku Muda Muhammad dengan Raja Ali ibni Daeng Kamboja, yang sempat diwarnai perang saudara, meskipun sudah didamaikan oleh melalui perdamaian Kuala Bulang (1803), namun perdamaian itu tetap menimbulkan luka pada orang-orang Melayu, yang merasa telah dizalimi, dan pihak Bugis makin berkuasa di Riau-Lingga, seperti sudah dicerita sebelumnya. Jembia cinta Kuala Bulang itu, terasa benar bisanya bagi pihak Melayu. Tahun 1806, Engku Muda Muhammad wafat dalam luka hatinya, dan dimakamkan di pulau Bulang, dekat dengan makam ayahnya Temenggung Abdul Jamal. Sesuai dengan amanahnya, maka yang menggantikannya adalah keponakannya, Tun (Daeng) Abdurrahman.
Temenggung Johor Riau-Johor Abdurrahman ini, seperti pamannya Engku Muda Muhammad, seorang yang keras, tapi cerdas. Penuh strategi, termasuk keinginan kuatnya untuk lepas dari pengaruh Bugis dan Belanda di Riau. Dia juga menyadari betapa pentingnya pulau Singapura yang masuk dalam wilayah kekuasaannya sebagai Temenggung, sebagai pusat perdagangan. Beberapa utusan Inggeris dikatakan telah coba menghubunginya, untuk meminta izin menjadikan pulau yang pernah menjadi pusat kerajaan Singapura di abad XII itu, sebagai pelabuhan dagangnya. Terlebih setelah mereka gagal meminta izin kepada Sultan Riau untuk menjadikan pulau Karimun sebagai pelabuhan dagang. Karena itu, 1811, Temenggung Abdurrahman bersama 150 orang pendukungnya, pergi ke Singapura dan membangun sebuah pemukiman, di pinggir sungai Singapura, yang mereka namakan Kampung Temenggung. Setelah kampung Temenggung itu siap, berangsur-angsur mereka tempati dan mereka mulai meninggalkan pulau Bulang (tempat kediaman pihak Melayu setelah eksodus besar tahun 1787 dari Ulu Riau). Tapi perpindahan hampir semua penghuni pulau Bulang ke Singapura, terjadi tahun 1818, setelah Belanda memberi pengakuan dan dukungan kepada Sultan Riau-Lingga Abdurahman Muazzam Syah, dan pihak Melayu, merasa mereka tidak lagi punya harapan untuk berkuasa di Riau. Perpindahan itu, menegaskan kembali, bahwa pihak Melayu, dibawah pimpinan Temenggung Riau-Johor Abdurrahman dan Bendahara Pahang, Tun Ali. keturunan dinasti Bendahara Tun Abdul Jalil ini, ingin segera melepas diri dari dominasi pihak Bugis di Riau Lingga, dan membangun kerajaan sendiri lagi, di jazirah tanah Melayu itu. Karena cengkraman Belanda yang masih begitu kuat, keinginan mereka itu, belum terlaksana. Dan mereka menunggu momentum yang tepat untuk melepas diri, dan menjadikan Inggeris sebagai sandarannya.
Tahun 1819, setahun setelah Temenggung Abdur-raahman memindahkan semua kerabat Melayu pindah ke Teluk Belanga (mulanya dinamakan kampung Temenggung), maka Inggeris pun menjejakkan kakinya di Singapura. Januari, 1819, Thomas Stamford Raffles (Mantan Gubernur Jenderal Inggeris di Batavia, mantan Gubernur Jendral Inggeris di Bengkulu,mantan wakil Gubernur Jenderal Inggeris di Melaka, dan penulis buku History of Java) dan Wiliam Farquhar (Mantan Gubernur Inggeris di pulau Penang) bertemu dengan Temenggung Abdurrahman, di Teluk Belanga. Mereka merancang kesepakatan untuk meujudkan rencana mereka. Singapura dan Johor jadi kerajaan sendiri lepas dari Riau, dan Inggeris boleh menjadikan Singapura sebagai pangkalan dagang mereka, menggantikan Melaka yang sudah diambil alih Belanda lagi. Pilihan yang terbaik dari kesepakatan itu, adalah menjadikan Singapura dan Johor sebagai kerajaan, dan mengangkat Sultan, agar secara legal Inggeris tak perlu berurusan dengan Riau dan Belanda lagi. Sebagai calon Sultan Singapura yang dipilih adalah Tengku Husen, putera tertua Mahmud Syah III yang disingkirkan YDM Raja Djaafar, ketika mencari pengganti Mahmud Syah III.
Tengku Husin yang sudah lama menunggu kesempatan untuk menjadi Sultan itu, akhirnya setuju, dan secara diam-diam bersama utusan Temenggung Abdurrahman, Raja Embung, pergi meninggalkan Penyengat menuju Singapura. Kepada keluarganya di Kampung Bulang, Penyengat dia mengatakan akan pergi memancing ke pulau Terkulai. Sesampai di Singapura, Tengku Husin dibawa ke kapal perang Raffles. Dan mendapat penjelasan tentang apa maunya Inggeris. Karena Tengku Husin setuju, maka besoknya, 6 Februari 1819, Tengku Husin pun dilantik menjadi Sultan Singapura. Menurut Tuhfat Al Nafis, pelantikannya, dilakukan di sebuah tanah lapang, yang sudah dibuatkan tenda-tendanya. Begitu Tengku Husin tiba, maka dilakukan pelantikannya. Tengku Husin dilantik di depan para pembesar Melayu, dan juga pembesar Inggeris, dan para pedagang yang ada di Singapura ketika itu, termasuk pedagang Cina. Keputusan pelantikan itu dibacakan dalam Bahasa Inggeris dan Bahasa Melayu, yang kira-kira bunyinya: “Bahwa sesungguhnya hendaklah diketahui oleh segala orang-orang yang Tuan Gubernur Jenderal Benggala mengangkat Tengku Long bergelar Sultan Husinsyah bin almarhum Sultan Mahmudsyah di dalam negeri Singapura dan rantau takluk jajahannya”. Setelah selesai dilantik, lalu Husin Syah dan Temenggung Abdurrahman menandatangani perjanjian dengan Raffles, yang antara lain memberi hak-hak khusus kepada Inggeris untuk menjadikan Singapura sebagai pangkalan dagangnya. Selain kewajiban lainnya, berupa dana khusus yang diberikan Inggeris untuk kepentingan Husin Syah dan Temenggung Abdurrahman.
Pelantikan Tengku Husin sebagai Sultan Singapura dan Johor itu, memang tidak menggunakan perangkat penobatan yang disebut regalia kerajan Riau-Lingga-Johor, karena regalia itu masih di tangan Engku Puteri. Jadi, Hudsin Syah sama dengan Sultan Lingga Abdurrahman Muazzam Syah, juga dilantik tanpa regalia kerjaan, sebagaimana tradisi yang sudah diwarisi sejak zaman Melaka. Karenanya kedua-dua bersaudara itu, berusaha sekuatnya degan berbagai cara untuk mendapatkan regalia kerajaan itu, untuk mengesahkan status keSultanan mereka itu dari segi adat dan tradisi. Sehingga ada ungkapan waktu itu, jika tak dapat regalia kerajaan, perabung rumah Engku Puteri pun jadi. Tapi yang berhasil, adalah Sultan Abdurrahman. Tahun 1823, dengan bantuan Gubernur Belanda di Melaka, Engku Puteri berhasil dipaksa menyerahkan Regelia itu, meskipun dibawah todongan pistol Adrian Kock, seorang mayor yang ditugaskan oleh Gubernur Belanda untuk merampas regalia itu. Setelah mendapat regalia, maka Sultan Sultan Abdurrahman, yang waktu itu sedang berada di Pahang, diminta pulang ke Penyengat, dan kemudian dilantik ulang oleh Residen Belanda, di kantor Residen Belanda di Tanjungpinang. Dengan pelantikan itu, maka kerajaan Riau-Linga- Johor itupun pecahlah menjadi dua. Kerajaan Melayu Riau-Lingga, dibawah Abdurrahman Muazzam Syah, di bawah pengaruh kekuasan Belanda. Sedangkan Kerajaan Melayu Singapura, Johor dan Pahang, dibawah Husin Syah dan dalam pengaruh Inggeris. Status demikian itu, mendapat keabsahannya, setelah tractat London, 1824, ketika Belanda dan Inggeris, berbagi wilayah kekuasaan di kawasan semenanjung Melaka itu. Inggeris mengambil semua bekas jajahan Belanda di bahagian utara Selat Singapura, yaitu Singapura, Johor, Pahang, dan lainnya. Sementara Belanda mengambil Riau, Lingga, Karimun, Batam, dan kawasan lain diselatan selat Singapura.
Gunung Bintan, dari mana prasasti Bukit Siguntang itu, pertama diarak dan menjadi kekuatan sakti merekat bangsa Melayu itu, menjadi saksi saat-saat keruntuhan kerajaan-kerajaan penerus Melaka itu. Badai dan bala politik yang menerpa sisa-sisa kebesaran Imperium Melayu itu, terus menerkam, dari waktu ke waktu, dari satu rezim ke rezim lainnya. Di kerajaan Riau-Lingga (begitulah sebutannya, sejak tahun 1819, meskipun pusat pemerintahan kerajaan ada di Daik, Lingga, tetapi pusat pengendali pemerintahan dan hubungan luar negeri dan ekonominya, ada di pulau Pernyengat, tempat para YDM berkantor). Abdurrahman Muazam Syah, yang akhirnya berhasil mendapatkan regalia kerajaan Riau, memerintah sampai tahun 1832. Dia wafat di Lingga, dan digelar marhum Bukit Cengkeh, karena makamnya di Bukjit Cengkeh. Hampir bersamaan, tahun 1832 itu, mangakat juga YDM Raja Djaafar. Dia mangkat di Daik, Lingga juga, dan di makamkan disana. Konfliknya dengan adiknya, Engku Puteri, membuat dia tidak lagi menetap di Penyengat, dan lebih banyak di Lingga. Raja Djaafar minta dia dimakamkan di Lingga. Tetapi, kemudian jenazahnya, dipindahkan ke pulau Penyengat, oleh anaknya, karena memang di Penyengatlah istana dan kerabatanya berada, terutama para penerusnya sebagai YDM. Ia digantikan oleh anaknya, Raja Abdurrahman, dan menjadi YDM ke VII sampai tahun 1843. Dia beristana dan memerintah dari pulau Penyengat, dan wafat juga disini.
Abdurrahman Muazzam Syah, yang wafat 1832, digantikan oleh puteranya Tengku Muhammad, yang bergelar Muhammad Muazzam Syah. Dia seorang Sultan yang sangat menyenangi seni, terutama seni ukir, arsitektur, dan kerajinan tangan. Di era Muhammad Syah inilah tenun Daik berkembang, sebagai salah satu kerajinan rakyat, dan terkenal sampai saat ini. Sama seperti tenun Siak, dan Terengganu. Dia mendatangkan ahli ahli seni ukir emas,perak dan kayu dari Jawa dan lainnya. Dia adalah perancang arsitektur istana 44 bilik di Daik Lingga, meskipun istana itu belum sempat dibangunnya. Dia memerintah sampai tahun 1841, dan kemudian wafat di Daik, Lingga dan bergelar Marhum Keraton.
Pengganti Muhammad Muazzam Syah, adalah anaknya, Tengku Besar Mahmud, yang bergelar Mahmud Muzaffar Syah. Dalam penulisan sejarah Melayu juga disebut Mahmud Syah IV. Sultan ini, oleh sementara pengamat sejarah Melayu disebut sebagai anak nakal yang cerdas (Le infan trouble). Urakan, pembangkang, kurang perduli dengan berbagai peraturan dan perjanjian yang pernah dibuat dengan Belanda, tetapi sangat visoner. Ketika ayahnya wafat, dan dia dilantik, umurnya baru 15 tahun. Maka pemerintahan sementara dijalankan oleh YDM Raja Abdurrahman. Sampai dia berusia 20 tahun, barulah dia memerintah langsung kerajaan Riau-Lingga itu.
Belanda sangat tidak suka pada Mahmud Muzaffar Syah, karena tidak pernah patuh pada perjanjian dan kesepakatan dengan Belanda. Mahmud Muzaffar Syah dituduh sangat pro kepada para penentang Belanda, para bajak laut, dan pemberontakan. Meski Belanda terus mendesaknya untuk membasmi bajak laut itu, tapi dia tetap membiarkannya, karena para bajak laut itu, sebenarnya adalah para kerabat kerajaan Riau Lingga juga. Raja Abdurrahman bin Raja Idris, pemimpin bajak laut yang bermarkas di pulau galang (dekat Batam sekarang), adalah keponakan YDM Riau V, Raja Djaafar, cucu dari Raja Haji Fisabilillah juga. Dan para Bajak laut (lanun-lanun) inilah dahulunya yang membantu Sultan Mahmudsyah III ketika menyerang Belanda di pulau Bayan dan Tanjungpinang, serta yang ikut membangun istana Mahmudsyah III di Lingga. Mahmud Muzaffar Syah enggan memerangi kerabatnya sendiri. Karena dia tahu, mereka itu bukanlah para perompak dalam arti kriminal sebenarnya, tetapi adalah bahagian dari perlawanan orang-orang Melayu terhadap Belanda yang sudah memecah belah kerajaan Riau.
Sikap Mahmud Muzaffar Syah ini membuat Belanda yang saat itu menguasai perdagangan dan pelayaran di Selat Melaka dan Selat Singapura menjadi marah, karena mereka menderita kerugian yang banyak dan terus menerus. Apalagi akibat ancaman para bajak laut itu, kapal-kapal dagang, baik dari luar maupun dari Riau sendiri, lebih suka berhubungan dengan pelabuhan Singapura yang dikuasai Inggeris, ketimbang masuk ke pelabuhan Tanjungpinang, yang dikuasai Belanda.
Sementara itu, Inggeris juga, yang berdasarkan Traktat London 1824, menguasai kerajaan-kerajaan di semenanjung Melaka, seperti Pahang dan Terengganu, juga geram kepada Sultan Muda ini, karena selalu ikut campur dalam urusan pemerintahan di kedua negeri Melayu itu. Alasan Mahmud Muzaffar Syah adalah, kedua negeri itu dahulunya adalah milik kerajaan Riau, bersama dengan Johor dan Singapura. Tapi karena ulah penjajah, maka lepas dari kekuasaannya. Dia ingin, semua bekas imperium Melayu Melaka itu, kembali bersatu dan di bawah satu kekuasaan, Riau Lingga.
Tetapi Mahmuid Muzaffar Syah, juga kurang disukai oleh kalangan dalam istana dan pihak YDM, karena kurang perduli mengurus kerajaannya dengan baik. Dia lebih banyak ke Singapura berkumpul dengan para pembesar Melayu, para pembesar kerajaan Singapura yang dipimpin keturunan Datuk saudaranya Husin Syah, dan Temenggung Ibrahim (nama kecilnya Daeng Ronggek), pengganti ayahnya, Temenggung Abdurrahman, arsitek lahirnya kerajaan Singapura, Johor dan Pahang. Apalagi Mahmud Muzaffar Syah mempunyai seorang isteri, berdarah Persia (dalam penulisan kronik lokal disebut orang Majusi). Semua urusan kerajaan diserahkannya kepada YDM, yang ketika ia berkuasa dipegang Raja Abdurrahman, sampai tahun 1843, dan kemudian digantikan oleh Raja Ali, sampai tahun 1857. Mahmud Muzaffar Syah juga dikatakan hidup hidonis, bergaya barat, karena pengaruh Belanda dan Inggeris. Di masa pemerintahannya jugalah misalnya, kerajaan Riau Lingga punya group musik orchestra dan drum band, yang dipakainya untuk upacara kebesaran, pesta-pesta kerajaan, dan lainnya, seperti tradisi kerajaan Belanda dan Inggeris. Dan nyaris meninggalkan semua tradisi Melayu.
Akhirnya, Belanda memutuskan, memakzulkan Sultan Mahmud Muzaffar Syah. Pemakzulan yang dilakukan dengan surat keputusan abdikasi tanggal 23 September 1857, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda, CP. Pahud, yang berkantor di Bogor, alasannya karena Mahmud Muzaffar Syah itu pembangkang, dan tidak mau membasmi perompak, bajak laut dan lanun yang mengharu biru selat Singapura. Ketika pemakzulan itu terjadi, Mahmud Muzaffar Syah tidak ada di Lingga, dia sedang berada di Singapura, di kediaman Temenggung Ibrahim. Ketika surat pemakzulan itu dia tertima, 7 Oktober 1857, dia dikatakan membacanya tanpa ada perubahan air muka. Tidak terkejut, dan tidak emosional, seakan dia sudah tahu bahwa Belanda akan memecatnya. Karena sebelum ke Singapura itu, dia sudah sempat bertemu dengan Nieuwenhuizen, Residen Belanda di Tanjungpinang, dan mereka telah bertengkar hebat. Lalu Mahmud Muzaffar Syah pergi ke Singapura. Sepeninggal Mahmud Muzaffar Syah, lalu Nieuwenhuizen, melaporkan semua peristiwa pembangkangan itu, dan kemudian keluarlah surat keputusan pemakzulan itu. Untuk mrenyampaikan surat keputusan itu, Residen Nieuwehuizen, membentuk sebuah komisi, yang terdiri dari Asisten Residen H. Van Der Wall, dan E Nietcher, pejabat yang diperbantukan di kantor residen (kedua nama itu kelak sangat dikenal dalam urusan Bahasa Melayu, yaitu H van der Wall, dan kesejarahan, E. Nietscher), dan kemudian mereka pergi ke Singapura untuk menyampaikannya. Kepada Komisi itu, Mahmud Muzaffar Syah hanya bertanya, apakah surat abdikasi itu perlu dijawab? Karena kata komisi, itu terserah pada Sultan , maka diapun diam. Lalu Komisi itu bertanya, apakah ada pesan yang ingin disampaikannya kepada Residen?, Lalu dia bilang tak ada.
Tanggal 9 Oktober, Residen Riau Niuewenhuizen langsung berangkat ke Lingga, didamping YDM Raja Abdullah (pengganti YDM Raja Ali), dan minta bertemu dengan calon pengganti Mahmud Muzaffar Syah. Ada dua orang. Yang pertama putera Mahmud Muzaffar Syah dengan gundiknya (tidak diperoleh namanya), dan seorang lagi, paman Mahmud Muzaffar Syah yang bernama Tengku Sulaiman, putera Abdurrahman Muazzam Syah. Keduanya diminta bertemu dengan Residen di kapalnya yang bersandar di pelabuhan Daik. Dari wawancara dengan kedua calon itu, dan saran dari pembesar kerajaan Riau-Lingga, mak Residen Nieuwenhuizen memilih Tengku Sulaiman. Maka dibuatlah Surat Keputusan Residen Belanda, mengangkat Tengku Sulaiman sebagai Sultan Riau-Lingga. Dia diberi gelar Sulaiman Badrul Alam Syah II. Itulah untuk pertama kali dalam sejarah kerajaan Riau-Lingga yang Sultannya diangkat dengan surat keputusan Belanda.
Tanggal 12 Oktober, atau 5 hari setelah surat pemakzulannya dia terima, Tengku Mahmud (karena dia sudah tidak berhak lagi menggunakan gelar Sultannya), tiba di Lingga. Bukan main kagetnya dia menyaksikan para pembesar kerajaan Riau di Lingga begitu takut mendekatinya. Semua menghindar. “Alangkah cepatnya semuanya berubah”, katanya. Dan diapun kembali ke Singapura, dan tinggal bersama isteri Persianya, sambil berunding dengan kerabatnya seperti Temenggung Ibrahim. Temenggung mencoba membantunya, dengan menggunakan sahabat dan pembesar Inggeris di Singapura, termasuk para pengacara Inggeris. Tetapi, tidak ada yang berhasil. Maka, Temenggung Ibrahim menugaskan anaknya Daeng Abubakar, untuk bertemu Residen Riau, dan minta izin untuk pergi ke Lingga, mengambil anak isteri Mahmud, termasuk harta bendanya, untuk dibawa ke Singapura. Belanda tidak keberatan. Saat di Lingga itulah, Daeng Abubakar mencuri kesempatan untuk memberitahu, bahwa sebentar lagi Mahmud akan dilantik Inggeris menjadi Sultan di Lingga, dan Belanda akan pergi. Banyaklah yang terpengaruh, tetapi pihak kerajaan Riau Lingga, menjadi marah dan melarang kerabatnya ikut ke Singapura. Meskipun ada beberapa yang pergi.
Setelah dimakzulkan, Mahmud banyak bepergian ke kerajaan-kerajaan yang dahulunya menjadi pendukungnya, dan meminta bantuan bagaimana dia bisa kembali menjadu Sultan. Kalau tidak bisa di Lingga, di negeri lain yang dahulunya pernah jadi daerah taklukan Riau-Lingga-Johor, seperti Pahang. Tapi tidak ada yang setuju. Inggerispun keberatan, karena ditekan oleh Belanda. Lalu dia pergi ke Reteh, di Inderagiri Hilir, dan memimpin para pengikutnya untuk berontak melawan Belanda, meskipun dia kalah dan Panglima Sulung, mantan panglima Riau di zaman Mahmud Syah III itu, yang membantunya, juga kalah. Lalu Mahmud pergi ke Siam, minta bantuan pada Raja Siam, dan sempat menyerahkan adiknya untuk menjadi isteri Raja Siam. Namun, tidak berhasil. Akhirnya, tahun 1864, si anak nakal yang cerdas ini, wafat di Pahang, dalam usia yang masih sangat muda, 38 tahun.
Sulaiman Badrul Alam Syah II yang mulai memerintah tahun 1857, tercatat sebagai salah satu Sultan Riau Lingga yang berhasil meninggalkan jejak sejarah yang tetap diingat sampai sekarang. Misalnya, dialah yang mengembangkan tanaman sagu, selain sebagai komuditas makanan, juga bahan dagangan, dan berhasil diekspor ke Singapura dan lainnya, termasuk perdagangan dalam negeri sampai ke Cirebon dan Semarang di pulau Jawa. Banyak pabrik pengolahan sagu di didirikan di Lingga, dan sagu Lingga menjadi sagu terbaik di kawasan nusantara ini, dengan mereknya yang terkenal “Gunung Daik” Putih, bersih, dan bersaing dengan tepung gandum. Di masa pemerintahan dia juga, dibangun istana Damnah, sebuah istana indah di kaki gunung Daik yang tersohor itu. Istana yang arsitekturnya sangat fungsional, (reflikanya masih bisa di temukan di kota Daik sekarang, dan menjadi objek wisata bersama gunung Daiknya). Di era ini juga, produksi timah di pulau Singkep berkembang dan dijadikan komuditas perdagangan yang penting. Tetapi, sebagai Sultan yang diangkat Belanda, secara politik, dia memang tidak banyak melakukan terobosan. Bahkan pada masa Sulaiman Badrul Alam Syah inilah Belanda beberapa kali membuat perjanjian yang terus menerus mengurangi kekuasaan dan daerah pemerintahannya.
Sebagai YDM dimasa pemerintahannya ini, adalah Raja Abdullah, tapi hanya setahun (1857-1858). Namun meski cuma 1 tahun, Raja Abdullah menggantikan abangnya Raja Ali YDM VIII (1845-1857). Dianggap tokoh pengembang agama islam, terutama tarekat naksabandiyah di kerajaan Riau Lingga. Karena itu dia juga bergelar Marhum Mursyid, karena dalam tarekat naksabandiyah ini, dia sudah mencapai tingkat mursyid. Dia bahagian dari 3 bersaudara anak Raja Djaafar yang menjadi YDM (Raja Abdurrahman, Raja Ali dan Raja Abdullah). Dia digantikan oleh, keponakannya Raja Mohd Yusuf, putera dari Raja Ali, yang mulai menjadi YDM, 1858, saat awal Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah menjadi Sultan. Duet Sulaiman Badrul Alam Syah II dengan Raja Mohd Yusuf ini merupakan era kerajaan Riau-Lingga menghadapi masa cemerlangnya. Seperti dikemukakan diatas, ini era ekonomi Riau Lingga bangkit dan berkembang. Kemudian, di era ini juga agama Islam di kerajaan Riau Lingga ini, tumbuh subur. Raja Mohd Yusuf, juga seorang yang sangat alim dan berilmu tinggi. Karena itu dia diberi gelar Al Ahmadi. Dia juga seorang intelektual yang sangat suka membaca, terutama buku-buku agama Islam. Dia mempunyai sebuah perpustakaan pribadi yang berisi ribuan buku, sehingga disebut Khutub Khannah Yusuf Alahmadi. Meskipun secara tradisi pusat pemerintahan YDM itu di pulau Penyengat, tetapi Yusuf Alahmadi lebih banyak di Lingga, bersama isterinya. Dia menikahi Tengku Embung Fatimah, puteri dari mantan Sultan Riau Lingga yang dimakzulkan Belanda, Mahmud Muzaffar Syah. Dari perkawinan ini, mereka memiliki seorang putera, Raja Abdurrahman, inilah yang kelak akan menggantikannya, sebagai YDM jika dia wafat.
Tapi politik dan takdir, dua sisi mata uang. Tak bisa diprediksi. Politik adalah seni serba mungkin, sementara takdir, adalah misteri milik Allah. Maka, ketika Sulaiman Badrul Alam Syah wafat tahun 1883, terjadilah krisis suksesi di kerajaan Riau-Lingga. Sulaiman Badrul Alam Syah II dikatakan tidak memiliki putera, penggantinya. Sementara, Mahmud Muzaffar Syah, mantan Sultan Riau yang dimakzulkan Belanda, yang digantikannya, dan yang secara keturunan adalah pewaris utama tahta kerajaan Riau Lingga, itu juga tidak mempunyai putera. Yang lahir dari gundiknya, telah ditolak Belanda. Yang ada hanya seorang perempuan, Tengku Embung Fatimah, yang saat itu menjadi isteri dari YDM Raja Yusuf Al Ahmadi. Dalam sejarah kerajaan Riau Lingga, dan bahkan sejarah kemaharajaan Melayu, memang belum pernah ada seorang perempaun, menjadi Sultan. Meskipun di negeri islam lainnya, seperti Aceh, banyak perempuan menjadi Sultan, dan digelar Sultanah. Di kerjaan-kerajaan Melayu, penerus Melaka ini, seperi Johor, ketika Muzaffar Syah II wafat, dan tidak ada putera pengganti, adiknya Raja Fatimah, justru menolak jadi Sultan, dan lebih suka suaminya Raja Umar, yang menggantikan abangnya itu.
Pilihan lain adalah anak YDM Yusuf Ahmadi dengan Tengku Embung Fatimah, yaitu Raja Abdurrahman itulah yang menjadi pengganti. Tapi, usulan ini telah ditentang oleh para pembesar kerajaan, karena kalau Raja Abdurrahman menjadi Sultan, berarti kerajaan Riau-Lingga telah jatuh ke tangan keturunan Bugis. Pilihan itu juga sangat bertentang dengan Sumpah Setia Melayu Bugis, yang telah sepakat membagi kekuasaan. Jabatan Sultan atau Yang Dipertuan Besar (YDB), hanya untuk orang Melayu, dan Yang Dipertuan Muda (YDM) untuk keturunan Bugis. Jika Raja Abdurrahman yang berdarah Bugis (Ayahnya Raja Mohd Yusuf Al Ahmadi, adalah Putera Raja Ali, dan raja Ali adalah Putera raja Djaafar, dan raja Djaafar adalah putera Raja Haji Fisabililah, dan Raja haji Fisabilillah adalah putera Daeng Celak, dan Daeng Celak adalah putera dari Daeng relaka, keturunan raja Bugis Luwu). Jika itu jadi pilihan, maka para pembesar Melayu, khawatir benih-benih Konflik politik Melayu-Bugis yang sudah berhasil diredam Raaja haji Fisabililah dahulunya, kembali muncul, dan merebak.
Tetapi, ambisi politik, dan puak, ternyata mengalahkan semua pertimbangan lainnya, termasuk pelanggaran terhadap Sumpah Setia Melayu Bugis, dan Prasasti Bukit Siguntang. Belanda, yang memang menginginkan pihak Melayu dan Bugis, berpecah belah, menyetujui dan menyokong, agar Raja Abdurrahman menjadi Sultan Riau-Lingga. Akhirnya, Desember 1883, 3 bulan setelah Sulaiman Badrul Alam Syah II wafat, maka Raja Abdurrahman, putera Raja Yusuf Al Ahmadi dilantik menjadi Sultan Riau Lingga ke-9 dengan gelar Abdurrahman Muazzam Syah II. Masa kosong jabatan Sultan selama 3 bulan itu, dipimpin oleh Tengku Embung Fatimah, ibunda Raja Abdurrahman, isteri dari YDM Yusuf Alhmadi, yang dalam berbagai catatan sejarah Riau-Lingga, disebut Sultanah. Untuk meredam konflik yang lebih luas antara Melayu dan Bugis, karena akhirnya Keturunan Bugis berada di tahta kerajaan kerajaan Riau-Lingga, maka Abdurrahman Muazzam Syah, sebelum menjadi Sultan, dikawinkan dahulu dengan Cik Ampuan Zahra, cucu mantan Sultan Riau-Lingga yang dimakzulkan Mahmud Muzaffar Syah, keponakan dari Tengku Embung Fatimah. Artinya, sepupu Raja Abdurrahman, tetapi dari sebelah ibu. Akhirnya, pelantikan Raja Abdurrahman ini, memang mengakhiri dinasti Melayu-Bugis di kerajaan Riau Lingga ini, dan digantikan dengan dinasti Bugis-Melayu. Kini Sumpah Setia Melayu Bugis dan juga Prasasti Bukit Siguntang itupun, sudah diketepikan.
Tragedi politik ini semakin melebar, karena ketika YDM Mohd Yusuf Alahmadi wafat, 1899, jabatan YDM pun, itupun dihapus, atas desakan Belanda yang tidak lagi menginginkan adanya jabatan YDM. Jabatan itu diambil alih oleh Abdurrahman Muazzam Syah, meskipun calon penggantinya sudah ada, yaitu Raja Ali, saudara kandung Abdurrahman Syah, dari lain Ibu. Peristiwa penghilangan jabatan YDM ini, menjadi punca konflik poilitik baru di kerajaan ini. Raja Ali yang sudah sempat diberi gelar Raja Ali Kelana, sebagai calon YDM, terus menggugat haknya atas jabatan itu, dan mendesak Belanda agar mengadakan kembali jabatan YDM tersebut.
Tahun 1900, ibukota pemerintahan kerajaan Riau-Lingga, dipindahkan oleh Abdurrahman Muazzam Syah, ke pulau Penyengat. Alasannya, karena dia ingin lebih membuka diri dengan berbagai perkembangan dunia, karena kalau tetap di Daik, di pulau Lingga, dia merasa terkurung, dan ketinggalan zaman. Di Penyengat dia bisa selalu berkomunikasi dengan Residen Belanda di Tanjungpinang, Penyengat dan Tanjungpinang saling berhadapan, dan hanya dipisahkan oleh muara sungai Carang. Perpindahan pusat pemerintahan Riau Lingga ke pulau Penyengat itu, sangat menyenangkan Belanda, karena mereka semakin mudah mengawasi dan mengontrol sepak terjang Abdurrahman Muazam Syah itu, karena mereka sudah mulai melihat gelagat bahwa Sultan ini, sejak masih di Lingga, sering, membangkang, dan tidak selalu setia pada Belanda. Mereka melihat Abdurrahman Muazzam Syah ini sangat dipengaruhi oleh kerabatnya, terutama Raja Ali Kelana. Raja Ali Kelana ini seorang intelektual, dan menulis berbagai buku. Salah satu bukunya yang terkenal, adalah Pohon Perhimpunan, yang ditulis dalam bentuk laporan atau jurnal perjalanan, seperti sebuah repotase, maka buku ini kemudian dianggap sebagai karya jurnalistik awal di Riau-Lingga. Raja Ali Kelana, sangat mempengaruhi perkembangan intelektual di pulau Penyengat, dan mereka telah mendiorikan sebuah organisasi intelektual yang mereka beri nama Rusdiyah Club. Organisasi ini, menjadi tempat para cerdik pandai di pulau Penyengat berkumpul, berdiskusi, dan melahirkan berbagai rekomendasi, yang tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemerintah Belanda. Maka Rusdiyah Club dan Raja Ali Kelana ini sangat diwaspadai oleh Belanda.
Dalam perkembangannya, Rusdiah Club yang didirikan sekitar tahun 1895 itu, telah dijadikan pusat perlawanan kultural terhadap Belanda. Apalagi di belahan dunia islam, saat itu berkembang gagasan tentang Pan Islam, sebuah pemikiran untuk membangun lagi kesatuan dan sinergi negara-negara islam dunia. Pengaruh ini berimbas ke Riau, karena sejumlah tokohnya pernah belajar di Mesir, dan Turki, serta negara islamnya. Salah seorang jebolan Mesir itu, adalah Tengku Usman, putera tertua Abdurrahman Muazzam Syah sendiri.
Awal abad XX, Penyengat sangat dinamis, dan sangat mencemaskan Belanda. Sehingga Residen-Residen Belanda terus menerus mendesak Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, untuk mengambil tindakan. Bahkan, pemerintah Hindia Belanda perlu meminta nasehat dari seorang Doktor Snoug Hurgronye, tokoh dibalik suksesnya Belanda menaklukkan Aceh, bagaimana seharusnya gejolak politik yang muncul melalui perlawan kultural yang muncul di Riau-Lingga itu harus disikapi. Belanda menyebut perlawanan itu sebagai perlawanan senyap (Lijdelijk Verset), semacam gerakan bawah tanah. Kewaspadaan Belanda makin meningkat dengan lahirnya apa yang dinamakan Dewan Kerajaan Riau Lingga, dimana sejumlah tokoh intelektual Riau Lingga berkumpul dan membahas semua isu-isu pemerintahan. Baik terhadap kebijakan Sultan Abdurrahman, maupun Residen Belanda. Dewan ini, meskipun hanya menjadi dewan penasehat Sultan, tapi dapat membuat kebijakan Belanda yang akan diterapkan di kerajaan Riau tertunda dan bahkan dibatalkan. Beberapa draft kontrak politik, seperti kontrak politik 1905,tidak bisa disetujui oleh Sultan, karena penolakan dari Dewan Kerajaan itu. Ketua Dewan Kerajaan ini, adalah Raja Ali Kelana. Sementara ketua Rusdiyah Club itu, adalah Tengku Besar, putera Sultan. Masih ada satu lembaga lain yang juga sangat berpengaruh, yaitu Mahkamah Kerajaan, yang dipimpin oleh Raja Haji Mohd. Tahir. Ketiga lembaga ini ,menjadi pusat perlawanan kultural kerajaan Riau Lingga terhadap Belanda. Sejumlah tokoh inteletual yang bergaris keras, juga bergabung disini, seperti Raja Khalid Hitam. Di Rusdiyah Club, bergabung sekitar 20 orang intelektual.
Puncak perlawanan kultural itu adalah peristiwa bendera, dimana Abdurrahman Muazzam Syah membangkang untuk mengibarkan bendera Belanda, di istananya, di kapal kebesarannya. Kalaupun dikibarkan, bendera Belanda itu dikibarkan dibawah bendera Riau Lingga. Bendera Riau Lingga itu, warnanya Putih. Kejadiannya berulang, sejak Tahun 1902, sampai tahun 1911. Sehingga residen Belanda berkali-kali mengirim surat peringatan dan protes. Bahkan membuat peraturan khusus tentang masalah bendera itu. Residen Belanda yang paling marah dan protes atas pembangan itu adalah AL van Hesselt, dan mengadu ke Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, dan mengatakan “…. Sultan adalah seorang pembangkang yang dikelilingi oleh anggota Roesdiyah Club yang berhaluan keras”, (Sejarah Melayu, Ahmad Dahlan, 2014).
Perlawanan Kultural melalui kasus bendera, penolakan kontrak politik 1905 dan kontrak politik 1910, akhirnya menjadi sebab, Belanda memakzulkan Abdurrahman Muazzam Syah dan Putera Mahkotanya Raja Umar (adik Raja Usman). Peristiwa pemakzulan yang dilakukan Belanda di gedung Roesdiyah Club di pulau Penyengat, 11 Februari 1911 itu digambarkan oleh Ahmad Dahlan dalam bukunya “Sejarah Melayu”nya :
“…. Pada 11 Februari 1911, kapal-kapal perang milik Belanda bernama Java, Koetai, dan Tromp yang dipimpin pemburu torpedo Koetai, menggelar sebuah demonstarasi kekuatan tempur angkatan laut Hindia Belanda di perairan Riau mendekati pulau Penyengat. Di atas tiga buah kapal perang itu telah siap siaga sejumlah pasukan marechausse (tentera Belanda yang terdiri dari orang-orang pribumi), pasukan elite seperti yang digunakan untuk mengakhiri perlawanan rakyat Aceh, pada 1903, yang akan turun ke pulau penyengat dengan berpuluh puluh sekoci. Serdadu-serdadu itu kemudian mengepung istana kedaton, tempat kediaman Tengku Besar dan Raja Ali Kelana serta tempat lain di pulau itu. Suasana mencekam itu baru jelas setelah Controleur H. N. Veemstra datang dari Tanjungpinang menyampaikan sebuah surat pemberitahun Residen Riau G. F. de Bruijnkrop. Controleur H. N. Veemstra datang dari Tanjungpinang untuk menyampaikan pengumuman yang intinya pemberhentian secara sepihak Sultan Abdurrahman Muazzam Syah II dari jabatannya dan Tengku Umar dari jabatan Tengku Besar …”.
Abdurrahman Muazzam Syah saat show of forces Belanda pada acara pemakzulan di Gedung Rusdiyah Club itu, tidak berada di pulau Penyengat. Dia sedang berada di Lingga, karena mengikuti upacara mandi syafar di sana. Karena itu Residen de Bruijnkrop, memerintahkan Controleur Veemstra segera ke Lingga dan menyampaikan surat pemberitahuan itu. Akhirnya mereka bertemu di Selat pintu, karena Sultan sedang dalam perjalanan pulang ke Penyengat. Veemstra menyerahkan surat itu dalam sampul kuning. Dan Sultan tidak membacanya, tapi langsung menuju Penyengat. Sesampai di Penyengat, dia datang ke Gedung Rosdiyah Club, dan di sanalah, Surat Pemakzulan itu dibacakan. Kemudian, Abdurrahman Muazzam Syah pulang ke istananya, mengambil barang-barang berharganya, dan pergi, meninggalkan Penyengat menuju Singapura. Dan berakhirlah kerajaan Riau Lingga itu. Berakhir di pulau Penyengat, Indrasakti, pulau “Kata Penyudah”, meskipun secara administratif, kerajaan Riau Lingga itu baru benar-benar hapus, tahun 1913, dan menjadi bahagian dari kresidenan Riau dalam adminitrasi pemerintahan Hindia Belanda. Pulau Lingga menjadi sebuah kewedanaan, dibawah seorang Controleur yang beribukota di Dabo, di pulau Singkep. Tanjungpinang, menjadi ibukota kresidenan. Karimun, juga menjadi sebuah kewedanaan, dengan seorang kontroleur di Tanjungbalai Karimun. Kemudian satu lagi kewedanaan, di pulau Belakang Padang, Batam. Ini bahagian dari kewedanaan Tanjungpinang. Begitulah akhirnya.
Di akhir kerajaan Riau Lingga ini, Prasasti Bukit Siguntang dan Sumpah Setia Melayu Bugis, dua kesepakatan moral yang dibangun atas dasar komitmen politik ini, telah kehilangan tajinya. Bahwa pelanggaran apapun, yang mengingkari dan menghianati sumpah setia itu, akan menemukan balanya. Bala politik, dan akhir kekuasaan yang sangat tragis. Tangan penjajahan itu hanya menjadi ujung takdir, tapi pangkal penyebabnya bermula dari penghianatan terhadap prasasti sumpah setia. Tragedi politik yang mengakhir kekuasaan Kerajan Riau-Lingga itu, adalah tonggak sejarah yang menunjukkan, betapa kekuasaan dan politik, menimbulkan luka sejarah. Betapa kezaliman politik itu, akan kan menuai badai dan bala, jika melangkahi Sumpah Setia itu, apalagi dilakukan dengan cara-cara yang kurang patut, sebagaimana taklimat yang sudah diucapkan Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun, berabad-abad lalu.
Abdurrahman Muazzam Syah mungkin sebuah simbol dari kekalahan, dan ketidak berdayaan kekuasaan melawan takdir politik itu. Dia dan keluarganya menaiki perahu yang dinakhodai Ninggal bin Ghalib, berlayar menuju Singapura, ke negeri yang, ketika itu, 1913, tidak ada lagi jejak kekuasaan Melayu di situ. Ada Kampung Gelam, ada Teluk Belanga, tapi itu cuma jejak sejarah….
Memang terjadi perlawanan politik dari para pembesar kerajaan Riau-Lingga setelah itu. Paling tidak pecah menjadi 3 perlawanan. Raja Ali Kelana, mencari dukungan ke Tureki dan Mesir, yang ketika itu menjadi pusat perlawanan Islam dunia, tetapi tidak berhasil. Raja Ali Kelana, pindah ke Johor, dan tahun 1927, wafat di Tanjung Puteri, setelah beberapa tahun menjadi penasehat ,masalah keagamaan Sultan Johor.. Raja Khalid Hitam, mencari dukungan ke Jepang, karena ketika itu Jepang mulai melirik Asia sebagai kawasan yang ingin dipengaruhinya. Namun, Raja Khalid Hitam, wafat di Jepang, 1913, setelah dua kali bulak balik ke Jepang. Sementara Abdurrahman Muazzamsyah, mantan Sultan, terus mendekati pihak Belanda dan minta kekuasaannya dipulihkan, bahkan mengirim surat ke Ratu Belanda, Welhelmina,tapi tidak pernah digubris. Akhirnya Abdurrahman ,wafat di Singapura, 1930. Sungguh pedih tikaman jembia cinta Kuala Bulang. Pedihnya tidak hanya terasa di Daik, Lingga, di Penyengat, tetapi juga di Singapura, sampai ke Johor, sampai ke Pahang, sampai ke Terengganu.
Selengkapnya :
BAB I
https://jantungmelayu.com/2020/07/prasasti-bukit-siguntang-dan-badai-politik-di-kemaharajaan-melayu-1293-1913-sebuah-renungan/
BAB II
https://jantungmelayu.com/2020/07/memanggul-prasasti-bukit-siguntang/
BAB X
https://jantungmelayu.com/2020/07/dan-bunda-tanah-melayu-pun-tersedu/
[…] JEMBIA CINTA KUALA BULANG ( Akhir Kerajaan Riau-Lingga–Johor, 1812-1913) […]
[…] JEMBIA CINTA KUALA BULANG ( Akhir Kerajaan Riau-Lingga–Johor, 1812-1913) […]
[…] JEMBIA CINTA KUALA BULANG ( Akhir Kerajaan Riau-Lingga–Johor, 1812-1913) […]
[…] JEMBIA CINTA KUALA BULANG ( Akhir Kerajaan Riau-Lingga–Johor, 1812-1913) […]
[…] JEMBIA CINTA KUALA BULANG ( Akhir Kerajaan Riau-Lingga–Johor, 1812-1913) […]
[…] JEMBIA CINTA KUALA BULANG ( Akhir Kerajaan Riau-Lingga–Johor, 1812-1913) […]