Oleh : Samson Rambah Pasir
MENGASAL-usulkan pemimpin atau raja dari keturunan manusia luar biasa merupakan upaya memagari para pemimpin atau raja dengan kekuasan keinderaan atau langit (divinitas) dan sebuah cara ampuh mendapatkan dukungan rakyat tanpa syarat[1]. Dengan demikian, melibatkan kuasa langit atau keinderaan mengurus manusia di bumi tak dapat dikatakan serta-merta sebagai bentuk inferioritas para raja ketika berhadapan dengan rakyatnya. Bahkan sebaliknya, para raja mendapat predikat sebagai makhluk superior. Sejarah membuktikan, dalam rentang masa ratusan, bahkan ribuan tahun, para raja dan keturunannya yang diasal-usulkan sebagai manusia luar biasa dan dipagari kuasa langit atau keinderaan, sangat dipatuhi, bahkan ditakuti oleh rakyatnya, sehingga melanggengkan sebuah dinasti tetap berkuasa.
Bangsa Jepang, misalnya, para kaisarnya dimitoskan berasal-usul dari Dewa Matahari. Sementara bangsa Yunani Kuno dan Romawi Kuno mengasal-usulkan para raja atau kaisarnya sebagai keturunan Dewa Zeus, Dewa Apollo, atau dewa-dewa yang lain. Sebagaimana dapat ditelisik dalam kitab klasik Bugis I La Galigo, orang Bugis mengasal-usulkan para rajanya dari Ratu Balqis, seorang perempuan luar biasa yang hidup sezaman dengan Nabi Sulaiman AS.
Lalu bagaimana cara istana Melayu mengasal-usulkan pemimpin yang kelak menjadi acuan dalam menetapkan raja atau sultan yang dapat dikatakan sebagai tradisi beraja atau bersultan di Kerajaan Melayu? Hal yang demikian akan ditelisik dalam kitab-kitab klasik Melayu seperti Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu, Hikayat Siak, dan Tuhfat al-Nafis serta berbagai kronik Melayu lainnya sebagaimana diceritakan berikut ini.
Keruntuhan Sriwijaya
Sepanjang abad pertama hingga keenam Masehi, sebuah kerajaan agraris sekaligus maritim terbesar di zamannya bernama Funan menguasai dunia perdagangan di Asia Tenggara dengan ibukotanya Vyadapura (Kota Para Pemburu) yang wilayahnya meliputi Vietnam dan Kamboja (kini). Pelabuhannya yang menghubungkan jalur perdagangan antara dunia barat dan timur berada di Oceo, Vietnam bagian selatan. Para pemimpinnya diyakini berasal dari gunung suci atau raja-raja gunung yang disebut Kurung Bnam. Sebagai sebuah kerajaan besar dan masyur, Funan sangat disegani kerajaan-kerajaan lain. Bahkan, banyak kerajaan-kerajaan di kawasan Asia Tenggara selanjutnya mengasal-usulkan para pemimpin atau raja mereka berasal dari Kerajaan Funan, termasuk Kerajaan Sriwijaya.
Seiring mundurnya Kerajaan Funan, pada 670 muncul kekuatan baru bernama Kerajaan Sriwijaya yang didirikan oleh Dinasti Syailendra. Kerajaan maritim yang kelak menguasai dunia perdagangan menggantikan Funan itu, pusat pemerintahan atau ibukotanya terletak di tepi Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan (Indonesia kini) yang berjarak sekitar 5 kilometer dari kaki Bukit Siguntang Mahameru yang selalu disebut dalam berbagai kronik Melayu.
Pada masa puncak kejayaannya, wilayah Kerajaan Sriwijaya dan Seluruh Daerah Takluknya sangat luas, mencakup Tanah Semenanjung (Malaysia dan Thailand kini) serta sebagian besar Nusantara (Indonesia kini), bahkan sampai ke Laut Cina Selatan. Sriwijaya juga menguasai jalur perdagangan yang menghubungkan dunia barat dan timur seperti Selat Melaka, Tanah Genting Kra, Selat Sunda, dan Selat Karimata yang dilayari kapal-kapal dagang dari Negeri Cina, India, Persia, Arab, dan Nusantara.
Untuk mengendalikan seluruh daerah taklukan sekaligus jalur perdagangan yang dikuasainya, Sriwijaya membentuk tiga kemandalaan dalam wilayah kerajaannya yang masing-masing mandala dipimpin oleh seorang Datu atau Raja Muda. Adapun Datu atau Raja Muda bertanggung-jawab menjaga persatuan dan kesatuan serta kesetiaan kerajaan-kerajaan taklukan sekaligus mengamankan jalur perdagangan dalam wilayah mandalanya masing-masing. Kemandalaan tersebut adalah sebagai berikut[2]:
- Mandala Sumatera Bagian Tengah, wilayahnya meliputi Sumatera bagian tengah, Sumatera bagian utara, Kepulauan Riau, Riau Daratan, Kampar, dan berpusat di Muara Takus;
- Mandala Bagian Selatan, wilayahnya mencakup Sumatera bagian selatan, Tanah Pasundan, Pulau Jawa, Kalimantan bagian barat, dan berpusat di Palembang;
- Mandala Semenanjung Tanah Melayu, wilayahnya adalah Tanah Semenanjung, Pulau Tujuh (Kepulauan Natuna dan Anambas) serta pulau-pulau lainnya di kawasan Laut Cina Selatan, dan berpusat di Kedah.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran mulai abad kesebelas menyusul serangan Kerajaan Chola dari India (kini) pada 1025. Ketika pusat kerajaannya telah luluh-lantak, para bangsawan Sriwijaya banyak yang eksodus ke Kerajaan Jambi yang terletak di hulu Sungai Batang Hari. Namun, pada 1088 Kerajaan Jambi berbalik menguasai Kerajaan Sriwijaya. Selanjutnya Kerajaan Jambi beralih menjadi Kerajaan Dharmasraya. Ketika terjadi Ekspedisi Pamalayu atau penaklukan negeri-negeri Melayu di Pulau Sumatera oleh Kerajaan Singosari dari Pulau Jawa, Kerajaan Dharmasraya runtuh pada 1285[3]. Kerajaan-kerajaan taklukan Sriwijaya yang kemudian direbut Kerajaan Jambi lalu memerdekakan diri, termasuk Kerajaan Palembang yang diterajui Demang Lebar Daun.
Berkaitan dengan Kerajaan Palembang yang diterajui Demang Lebar Daun, Sejarah Melayu[4] mendeskripsikan begini:
Kata sahibul hikayat, ada sebuah negeri di tanah Andalas, Palembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya, asalnya daripada anak-cucu Raja Suran, Muara Tatang nama sungainya. Adapun negeri Palembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka di hulu Muara Tatang itu ada sungai, Melayu namanya. Di dalam sungai itu ada satu bukit yang bernama Bukit Siguntang, di hulunya Gunung Mahameru.
Bukit Siguntang Mahameru
Wan Empuk dan Wan Malini tinggal di sebuah huma (pondok) di tengah ladang padi menjelang masak di kaki Bukit Siguntang Mahameru dalam wilayah Kerajaan Palembang. Pada suatu malam, secara bersamaan keduanya melihat sekelebat cahaya aneh melintas dari puncak Bukit Siguntang dan jatuh di tengah ladang mereka. Keduanya ketakutan tiada kepalang melihat kelebat cahaya aneh itu dan segera tidur.
Pada esok harinya kedua perempuan Melayu itu turun ke tengah ladang dan mendapati lokasi yang diperkirakan tempat jatuhnya kelebat cahaya aneh semalam. Alangkah terkejutnya Wan Empuk dan Wan Malini: Butiran buah padi mereka beserta tangkainya telah berubah menjadi emas, daunnya menjelma perak, dan batangnya mewujud suasa!
Lalu keduanya berjalan lebih dekat ke kaki Bukit Siguntang. Keduanya amat terkesima: Tanah di kaki Bukit Siguntang itu telah berubah menjadi hamparan emas kilau-gemilau diterpa cahaya matahari pagi. Keduanya pun semakin terkesima: Tak jauh dari termpat mereka berdiri, terlihat tiga orang putra gagah, muda, kacak, dan segak. Seorang yang mengenakan pakaian kebesaran kerajaan lengkap dengan mahkota bertatah ratna mutu manikam duduk di atas lembu putih keperak-perakan. Sedangkan dua orang yang lain berdiri di samping kiri dan kanannya. Seorang menyandang pedang bernama Corek Mandang Kini, dan seorangnya lagi memegang lembing bernama Lembuara. Pakaian yang dikenakan ketiga putra itu sangat indah, layaknya para putra raja dari negeri besar. Wan Empuk dan Wan Malini merasa sedang bermimpi dan semakin terkesima serta sungguh-sungguh takjub.
Setelah berhasil mengendalikan diri, keduanya bertanya, siapa gerangan tiga putra gagah, muda, kacak, dan segak itu. Ketiganya mengaku sebagai zuriat atau keturunan Raja Iskandar Zulkarnain, putra Raja Suran dari istrinya Tuan Putri Mathab al-Bahri yang bersemayam di Alam Dika[5].
Berita kedatangan tiga putra zuriat Raja Iskandar Zulkarnain itu kemudian dikabarkan oleh Wan Empuk dan Wan Malini kepada Raja Palembang, Demang Lebar Daun. Gemparlah Negeri Palembang. Kabar pun terlendang ke langit, berita pun merebak ke bumi. Zuriat Raja Iskandar Zukarnain turun di Bukit Siguntang Mahameru. Kepada Raja Palembang, ketiga putra itu mengaku masing-masing bernama Sang Sapurba, Nila Pahlawan, dan Krisna Pandita.
Demang Lebar Daun adalah seorang Raja yang sarat pengalaman, berpengetahuan luas, dan berilmu tinggi, baik lahir maupun batin. Ketiga putra gagah, muda, kacak dan segak yang secara lahiriah tidak diragukan lagi penampilannya sebagai putra raja-raja besar, diselidiki oleh Demang Lebar Daun dengan segenap ilmu, pengetahuan, dan pengalamannya. Ketiganya kemudian diminta menunjukkan kesaktian masing-masing. Setelah berhasil melewati menyelidikan yang rumit serta mampu membuktikan kesaktian masing-masing, yakinlah Raja Palembang itu dan segenap petinggi istana bahwa ketiganya memang benar dan sah sebagai zuriat Raja Iskandar Zulkarnain! Apalagi setelah Sang Sapurba menunjukkan cap atau stempel yang terbuat dari kayu kempa warisan dari leluhurnya yang lazim dicapkan pada surat sebelum dikirim kepada para raja kerajaan sahabat atau taklukan.
Tak lama kemudian Demang Lebar Daun menikahkan putrinya bernama Wan Sendari dengan Sang Sapurba sekaligus menyerahkan tahta kerajaannya kepada menantunya itu. Sedangkan Nila Pahlawan menikah dengan Wan Empuk dan Krisna Pandita dengan Wan Malini. Kelak, keturunan atau zuriat Nila Pahlawan dan Krisna Pandita dipanggil Awang untuk lelaki dan Dara bagi perempuan yang bertugas mengurusi istana raja-raja Melayu.
Sumpah Setia Raja dan Rakyat
Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun selanjutnya mengadakan kesepakatan yang dapat disebut sebagai sumpah setia raja dan rakyat terawal dalam politik dan kebudayaan Melayu[6]. Demang Lebar Daun yang telah menyerahkan tahtanya bertindak sebagai dan atas nama rakyat meminta kepada Sang Sapurba, “Bila anak-cucu patik berbuat salah, hukumlah, kalau perlu dibunuh. Tetapi jangan dinista dan dipermalukan.” Anak-cucu yang dimaksud Demang Lebar Daun bukan hanya anak-keturunannya saja, melainkan juga seluruh rakyat kerajaan yang telah diserahkannya kepada Sang Sapurba untuk dipimpin. Permintaan itu disetujui Sang Sapurba, dengan syarat, “Hendaklah rakyat tidak durhaka kepada raja”[7]. Sumpah setia raja dan rakyat tersebut diabadikan Sulalatus Salatin[8] sebagaimana dipetik dan dielaborasi sedemikian ini:
“Baiklah tuanku. Tetapi jikalau anak-cucu tuanku (keturunan raja) mengubahkan dia (tetap mempermalukan rakyat), anak-cucu patik (rakyat) pun mengubahkan dia (mengingkari kesepakatan),” ucap Demang Lebar Daun. Dan itu pun disetujui Sang Sapurba. “Baiklah, kabullah hamba akan aw’ad (syarat) itu,” sahut Sang Sapurba. Sahlah sumpah setia itu, dan harus dijunjung tinggi serta mengikat kedua belah pihak (raja dan rakyat) sampai ke akhir zaman.
Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun selanjutnya bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa dan apabila ada pihak yang melanggar kesepakatan atau sumpah setia itu, maka akan mendapat bala bencana. Sebagaimana disebutkan Sejarah Melayu[9], segala raja-raja Melayu tidak boleh mempermalukan atau memberi aib kepada hamba atau rakyatnya dan jika dilakukan alamat negeri akan binasa. Sebaliknya, hamba raja atau rakyat tidak boleh menentang atau durhaka kepada raja dan bila dilakukan akan mendapat bala bencana bagi diri dan keluarganya.
Sang Sapurba kemudian ditabalkan atau dilantik sebagai Raja di Negeri Palembang. Para raja dari kerajaan sahabat serta negeri taklukan berhimpun-pepat menghadiri penabalan itu dan menjunjung duli kepada Sang Sapurba. Demikianlah penghormatan yang diterima zuriat Raja Iskandar Zulkarnain. Selanjutnya, para raja atau sultan di negeri-negeri Melayu sangat dihormati dan dipatuhi tanpa syarat oleh rakyat apabila bersusur-galur dari zuriat Raja Iskandar Zulkarnain.
Hikayat Iskandar Zulkarnain
Raja Iskandar Zulkarnain dikenal di Alam Melayu melalui kitab Hikayat Iskandar Zulkarnain yang ditulis orang Persia, menceritakan penaklukan Iskandar Zulkarnain atas Kemaharajaan Persia, sebagian besar Laut Tengah dan Timur Tengah, sampai menyeberang ke jazirah India. Kitab-kitab Persia berbahasa Arab yang menceritakan riwayat Iskandar Zulkarnain itu kemudian disadur dan ditulis ulang oleh para penulis Melayu sesuai dengan kepentingan istana di Negeri Melayu.
Sebagaimana didedahkan Hikayat Hang Tuah (anonim), Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu yang ditulis Tun Sri Lanang, Hikayat Siak yang dirawikan Tengku Said, dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji[10]; Raja Iskandar Zulkarnain disebut sebagai putra Raja Darap, Rom bangsanya, dan Muqaduniah nama negerinya.
Sementara di Eropa Raja Iskandar Zulkarnain sangat dihormati dan disanjung tinggi dengan sebutan Aleksander Yang Agung atau Megas Alexandros dalam bahasa Yunani. Menurut versi Eropa, Aleksander Yang Agung dilahirkan di Pella, ibukota kekaisaran Macedonia (baca Makedonia) yang terletak di kawasan timur laut Yunani, pada 20 atau 21 Juli 356 SM[11]. Beliau adalah putra Raja Filipus II dari istrinya Olympias.
Tak berapa lama setelah menggantikan tahta ayahandanya, Raja Iskandar Zulkarnain atau Aleksander Yang Agung atau Megas Alexandros yang dijuluki Sang Penakluk itu, kemudian bergerak membawa pasukannya dari Muqaduniah atau Macedonia ke arah timur atau tempat matahari terbit yang pada masa itu diperkirakan sebagai ujung dunia untuk menaklukkan banyak negeri. Pada usia 30 tahun Sang Penakluk luar biasa itu berhasil menguasai kawasan yang menjulur mulai dari Laut Ionia atau Laut Tengah yang terletak antara Italia, Albania, dan Yunani, sampai ke pegunungan Hilamaya di India. Sebagian besar dataran Eropa, Asia, dan Afrika juga berhasil direbutnya. Wilayah taklukannya mencapai 50 kali lebih luas daripada kerajaan yang dia warisi dari ayahandanya.
Setelah menguasai negeri-negeri di bawah taklukan Persia di Asia Kecil yang dalam Sulalatus Salatin disebut “dari Masyrik sampai Maghrib”, Raja Iskandar Zulkarnain dan pasukannya yang terus bertambah, memasuki jazirah India. Berkaitan dengan penaklukan sebuah kerajaan besar di India yang dipimpin seorang raja besar bernama Kida Hindi, Sulalatus Salatin[12] menulis begini:
Setelah ia mendengar kabar Raja Iskandar datang maka Raja Kida Hindi menyuruhkan perdana menteri mengimpunkan segala ra’yat dan segala raja-raja yang ta’luk kepadanya. Setelah kampung maka dikeluarinyalah oleh Raja Kida Hindi akan Raja Iskandar. Maka bertemu kedua rakyat lalu berparang seperti yang dalam Hikayat Iskandar itu. Maka alah Raja Kida Hindi itu oleh Raja Iskandar, dengan hidupnya, maka disuruhkan Raja Iskandar Raja Kida Hindi itu membawa iman. Maka Raja Kida Hindi pun membawa iman. Setelah sudah Raja Kida Hindi pun membawa imanlah jadi Islam dalam agama nabi Allah Ibrahim. Maka dipersalini Raja Iskandar akan Raja Kida Hindi seperti pakaian dirinya.
Dari nukilan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Tun Sri Lanang menceritakan Raja Iskandar Zulkarnain dalam karya agungnya Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu merujuk pada kitab Hikayat Iskandar Zulkarnain yang berasal dari Persia dan Negeri Arab sebagaimana disebutnya, “Seperti yang dalam Hikayat Iskandar itu.” Demikian juga penulis-penulis lain dan berikutnya di Alam Melayu yang menjadikan kitab Hikayat Iskandar Zulkarnain sebagai rujukan dalam menulis hikayat, sejarah, dan kronik Melayu lainnya, terutama menyangkut kisah Raja Iskandar Zulkarnain yang diyakini sebagai nenek moyang raja-raja Melayu.
- Raja Kida Hindi yang dinyatakan membawa iman dengan memeluk agama Islam, dan di-Islam-kan oleh Raja Iskandar Zulkarnain, adalah gagasan yang diperolah dari kitab Hikayat Iskandar Zulkarnain, dan diselaraskan dengan kepentingan di Negeri Melayu yang pada masa penulisan Sulalatus Salatin sudah memeluk agama Islam.
Susur-Galur Raja Iskandar Zulkarnain
Selepas menaklukkan kerajaan besar di Benua India itu, selanjutnya Raja Iskandar Zulkarnain menikah dengan putri Raja Kida Hindi yang sangat elok parasnya, bercahaya gilang-gemilang seperti sinar matahari, serta teramat baik budinya lagi bijaksana. Putri itu bernama Syahr al-Bariyah. Tak lama berselang istri Raja Iskandar Zulkarnain pun hamil. Setelah cukup bulan lalu melahirkan seorang putra yang diberi nama Raja Arasythun Syah. Kelak dewasa Raja Arasythun Syah menikah dengan putri Raja Negeri Turkistan dan dikaruniai seorang putra serta diberi nama Raja Afthus.
Semangkatnya Raja Kida Hindi beliau digantikan cucunya Raja Arasythun Syah, putra Raja Iskandar Zulkarnain itu. Setelah mangkat Raja Arasythun Syah digantikan putranya Raja Afthus. Selanjutnya, Raja Afthus digantikan putranya Raja Askainat. Lalu berturut-turut zuriat Raja Iskandar Zulkarnain yang duduk di atas kerajaan sebagai peneraju negeri besar yang diwariskan Raja Kida Hindi adalah sebagai berikut: Raja Kadas, Raja Amtabus, Raja Zamzius, Raja Kharus Kainat, Raja Arhat Askainat, Raja Kudar Zakuhun, Raja Nikabus, dan Raja Ardisyir Babegan.
Raja Ardisyir Babegan menikah dengan putri Raja Nusyirwan Adil, penguasa kawasan sebentang Masyrik sampai Maghrib (bekas wilayah kekuasaan Persia di Asia Kecil yang sudah ditaklukkan Raja Iskandar Zulkarnain), dan memperoleh seorang putra yang diberi nama Dariya Nusa atau Raja Dermanus. Ketika ayahandanya Ardisyir Babegan mangkat, Raja Dariya Nusa atau Raja Dermanus naik tahta. Setelah Raja Dariya Nusa mangkat beliau digantikan Raja Kastih, lalu Raja Ramji, Raja Syah Taramsi, Raja Teja, Raja Ijbal, Raja Uramzad, Raja Yazdikarda, Raja Kofi Kudar, dan Raja Tarsi Bardaras yang menikah dengan putri Raja Sulan penguasa Kerajaan Amdan Nagara. Raja Tarsi Bardaras dan putri Raja Sulan kelak memiliki tiga putra bernama Raja Hiran, Raja Suran, dan Raja Fandin.
Semangkatnya Raja Sulan penguasa Kerajaan Amdan Nagara, tahta beliau digantikan cucunya Raja Suran. Dengan demikian, Raja Suran berkuasa atas Kerajaan Amdan Nagara serta kerajaan-kerajaan dalam wilayah sebentang Masyrik sampai Maghrib. Ada pun Raja Hiran menjadi raja di Negeri Hindi dan Raja Fandin menjadi Raja di Negeri Turkistan. Kelak, Negeri Hindi dan Sindi serta Negeri Turkistan juga di bawah takluk Raja Suran. Sebagaimana leluhurnya Raja Iskandar Zulkarnain, Raja Suran juga seorang pemimpin perang berjiwa penakluk, dan sangat terobsesi merebut kerajaan-kerajaan di dunia timur atau tempat matahari terbit, bahkan negeri Cina.
Raja Suran kemudian bergerak membawa pasukannya ke timur dan menaklukkan Kerajaan Gangga Negara dan Kerajaan Genggayu yang berada di Tanah Semenanjung[13]. Namun obsesinya untuk menaklukkan Negeri Cina tak tercapai karena jaraknya yang sangat jauh.
Pada suatu masa, ketika merasa jenuh berperang, Raja Suran berpesiar dan bertualang ke Negeri Alam Dika yang dihuni kaum Barsam dan dipimpin raja besar bernama Raja Aftab al-Ard. Tak berapa lama di Negeri Alam Dika, Raja Suran kemudian menikah dengan putri Raja Aftab al-Ard bernama Tuan Putri Mathab al-Bahri yang sungguh cantik jelita. Kelak pasangan berbahagia itu dikaruniai tiga orang putra.
Setelah sekian lama menetap di Kerajaan Alam Dika bersama keluarga yang dicintainya, Raja Suran kemudian menghadap Raja Aftab al-Ard mohon untuk kembali mengurus kerajaan yang telah lama ditinggalkannya. Sembari memeluk ketika putranya yang masih anak-anak, disaksikan istrinya Tuan Putri Mathab al-Bahri, Raja Suran berpesan kepada bapak mertuanya Raja Aftab al-Ard , sebagaimana dikutip dari Sulalatus Salatin[14]:
“Adapun jikalau anak hamba ini besar hendaklah tuan hamba hantarkan ke dunia supaya lekat kerajaan Raja Iskandar Zulkarnain itu, jangan berputus-putusan selama-lamanya,” sembah Raja Suran ke hadapan Raja Aftab al-Ard. Maka sahut Raja Aftab al-Ard, “Baiklah.”
Raja Suran pun meninggalkan Alam Dika menunggangi kuda sembrani jantan bernama Faras al-Bahri yang dihadiahkan bapak mertuanya Raja Aftab al-Ard. Tak lama berselang Raja Suran sampai di pantai Bentiris. Kepada para penjemputnya, Raja Suran memerintahkan agar memasukkan seperangkat mahkota dan sejumlah harta benda berupa emas dan perak serta beragam permata mutu manikam, juga selembar wasiat, ke dalam sebuah batu yang sudah disepakati dengan bapak mertua dan istrinya agak kelak disampaikan kepada ketiga putranya bila sudah dewasa.
Setelah dewasa, ketiga putra Raja Suran yang merupakan zuriat Raja Iskandar Zulkarnain itu pun meninggalkan Negeri Alam Dika dan memecahkan batu berisi mahkota, warisan, dan wasiat ayahanda mereka di pantai Bentiris. Ketiganya pun pergi merantau untuk menimba pengalaman dan kelak turun di Bukit Siguntang Mahameru dalam Kerajaan Palembang. Mereka itulah yang bertemu dengan Wan Empuk dan Wan Malini setelah merubah ladang padi dua perempuan Melayu itu menjadi emas, perak dan suasa, serta mengaku kepada Demang Lebar Daun masing-masing bernama Sang Sapurba, Nila Pahlawan, dan Krisna Pandita.
Meninggalkan Palembang
Setelah Kerajaan Palembang diserahkan Demang Lebar Daun kepada Sang Sapurba, zuriat Raja Iskandar Zulkarnain itu memerintah dengan adil dan bijaksana. Sebagai bentuk penghormatan sekaligus pengakuan akan pengetahuan dan pengalaman mertuanya, Sang Sapurba mengangkat Demang Lebar Daun sebagai penasehat kerajaan bergelar Mangkubumi. Semakin majulah Kerajaan Palembang dan namanya tersohor kemana-mana.
Dari pernikahannya dengan Wan Sendari, Sang Sapurba dikaruniai dua putra yang gagah-gagah dan diberi nama Sang Maniaka dan Sang Nila Utama. Juga mendapat dua putri yang teramat baik parasnya dan diberi nama Putri Sri Dewi dan Putri Cendana Dewi.
Berita kemasyuran Kerajaan Palembang yang dipimpin zuriat Raja Iskandar Zulkarnain serta kecantikan putri-putrinya merebak sampai ke Negeri Cina. Pada suatu ketika, Raja dari Negeri Cina mengirim utusan ke Palembang untuk melamar salah seorang putri Sang Sapurba. Setelah merundingkan perihal lamaran itu dengan penasehat kerajaan dan kalangan istana, ditemuilah kata sepakat menerima lamaran itu dengan harapan bersambung zuriat Raja Melayu yang berasal dari zuriat Raja Iskandar Zulkarnain dengan zuriat Raja Cina. Setelah dilengkapi dengan segala perbekalan dan keperluan sesuai adat anak raja-raja menikah, Putri Sri Dewi pun diantar utusan Kerajaan Palembang ke Negeri Cina menumpang berpuluh perahu.
Pada suatu masa, Sang Sapurba berencana melihat-lihat kerajaan dan negeri lain sekaligus mengingatkan kembali kejayaan Sriwijaya dengan menyebarkan semangat mandala atau semangat persatuan dan kesatuan yang pernah mengikat erat kerajaan-kerajaan di bawah taklukan kerajaan terbesar pertama di Nusantara itu. Setelah mengamanahkan kerajaan kepada adik Demang Lebar Daun, Sang Sapurba pun mewujudkan rencananya itu.
Rombongan Sang Sapurba meninggalkan Negeri Palembang menumpang perahu kenaikan kerajaan bernama Kota Segara yang diiringi beratus perahu beragam jenis yang kuat dan kokoh serta indah. Ketika iring-iringan perahu itu berbaris di pelabuhan yang terletak di Kuala Palembang, tiang-tiang layarnya terlihat bagaikan pohon-pohon kayu dan panji-panjinya yang berkibar bagaikan awan berarak. Segala payung orang besar-besar yang turun ke perahu pun tampak bagaikan mega berangkat[15].
Setelah semua persiapan keberangkatan selesai sesuai adat raja-raja berangkat, iring-iringan perahu rombongan Sang Sapurba pun bergerak meninggalkan Kuala Palembang dan menyusuri Sungai Muara Tatang ke arah hilir. Tak lama berselang iring-iringan perahu itu pun sampai di lautan. Dayung ditarik dan layar pun dikembangkan. Setelah enam hari enam malam lamanya menyusuri perairan Selat Karimata, Sang Sapurba dan rombongan sampai di Kerajaan Tanjungpura, Kalimantan. Setelah disambut dengan adatnya, Sang Sapurba dan rombongan menetap untuk beberapa lama di Kerajaan Tanjungpura.
Pada masa itu Kerajaan Tanjungpura merupakan taklukan Kerajaan Majapahit. Mendengar kabar Sang Sapurba tengah berada di Tanjungpura, Betara Majapahit datang menemui Sang Sapurba sebagai bentuk penghormatannya kepada zuriat Raja Iskandar Zulkarnain yang turun di Bukit Siguntang Mahameru, Palembang itu. Demi mempererat tali persahabatan dan melanjutkan zuriat Raja Iskandar Zulkarnain sebagai pemimpin kelak, Betara Majapahit menikah dengan putri kedua Sang Sapurba bernama Cendana Dewi. Sedangkan putra tertua Sang Sapurba bernama Sang Maniaka menikah dengan putri Kerajaan Tanjungpura sekaligus disepakati dan ditabalkan menjadi Raja Tanjungpura.
Selepas menikahkan putra dan putrinya dengan segala adat sebagaimana raja-raja menikah, Sang Sapurba dan rombongan meneruskan perjalanan ke selatan, menempuh berbagai teluk, suak, dan pulau. Setelah melewati Kepulauan Singkep dan Lingga, rombongan Sang Sapurba membelokkan haluan agak ke barat dan sampai di Selat Sambu. Sang Sapurba kemudian mengirim utusan ke Kerajaan Bentan mengabari kedatangannya.
***
[1] Sharifah Maznah Syed Omar (1995), Mitos dan Kelas Penguasa Melayu, Pusat Pengajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu Universitas Riau, Pekanbaru, hlm.60.
[2] Tim Biro Bina Sosial Setwilda Tk. I Riau (1996), Sejarah Riau, Biro Bina Sosial Tk. I Riau, Pekanbaru, hlm. 103-104.
[3] Ahmad Dahlan, PhD (2014), Sejarah Melayu, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm. 59.
[4] Tun Sri Lanang (1986), Sejarah Melayu, Diusahakan oleh W.G. Shellabear, Fajar Bakti SDN. BHD, Petaling Jaya, Selangor, hlm. 16.
[5] Tun Sri Lanang (1997), Sulalat al-Salatin ya’ni Perteturun Segala Raja-Raja, Penyelenggara Haji Muhmmad Saleh, Yayasan Karyawan dan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, hlm. 17.
[6] Hasan Junus dkk (2002), Dari Percikan Kisah Membentuk Provinsi Riau, Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru, hlm. 10.
[7] Ahmad Dahlan, PhD (2014:74).
[8] Tun Sri Lanang (1997:24).
[9]Tun Sri Lanang (1986:20).
[10] Raja Ali Haji (1991), Tuhfat al-Nafis, Sejarah Melayu Islam, Penyelenggara Virginia Matheson Hooker, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur.
[11] Ahmad Dahlan, PhD (2014:75).
[12] Tun Sri Lanang (1998:4).
[13] Selengkapnya akan diceritakan pada Bab. V.
[14] Tun Sri Lanang (1998:18).
[15] Tun Sri Lanang (1986:23).
terima kasih redaksi jantungmelayu yang telah menaikkan tulisan ini. semoga bermanfaat.