
(Bahagian Pertama)
PADA bulan September 1946, surat kabar Soeloeh Ra’jat yang terbit di Jakarta merilis sebuah berita yang berjudul “Kesultan [Riau] diadakan lagi”. Isi kepala beritanya sebagai berikut: “Menoeroet, S.k. Singapore Free Press, kesoeltanan Riouw, Lingga di noesantara Riouw diadakan lagi, setelah 27 tahoen lamanja dihapoeskan.”
Selanjutnya, sekitar dua tahun kemudian, tepatnya bulan Mei 1948, surat kabar The Straits Times yang terbit di Singapura menulis pula sebuah berita dibawah judul, “Rhio-Happy and Free” (arti harfiahnya, “Masyarakat Kepulauan Riau Bergembira dan Merdeka). Isi kepala berita dalam The Straits Times yang aslinya ditulis dalam bahasa Inggris tersebut, kira-kira adalah sebegai berikut: “Rakyat Kepulauan Riau (Rhio Archipelago) sangat gembira dengan status baru pemerintahan otonom (self-government) mereka. Ketua Dewan Riau [Riouw Raad], Muhammad Apan, mengatakan hal ini di Singapura, kemarin.”
Kutipan dua berita surat kabar yang terbit di Jakarta dan Singapura diatas, adalah dua contoh bagaimana bentuk reaksi dan hasil yang muncul di daerah, khususnya Kepulauan Riau, setelah Soekarno dan Hatta mengumandangkan proklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Kumandang Proklamasi itu pada dasarnya adalah ‘sebuah seruan” revolusi. Dan suka atau tidak suka ia akan mengarah kepada revolusi: sebuah gerakan perubahan mendasar yang berlansung cepat dan keras. Banyak hal dapat terjadi tanpa diduga. Dan sudah barang tentu banyak kelompok muncul, mencari kesempatan untuk memanfaatkan situasi kacau yang belum jelas ujungnya.
Proklamasi dan Reaksi
Selain menciptakan respon kolektif yang menyeluruh di Pulau Jawa, dan daerah-daerah di luar Jawa, ternyata gema proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945 juga telah menciptakan beragam persepsi dan “gejolak lokal”. Hal ini terjadi karena setiap daerah mempunyai persoalan dan pengalaman sejarah yang berbeda-beda. Akibatnya ada daerah yang merespon secara pasif dan ada pula yang reaktif.
Jika di Sumatera Timur respon dan persepsi lokal terhadap proklamasi kemerdekaan itu telah menciptakan sebuah revolusi sosial yang antara lain ditandai dengan pembunuhan sejumlah keluarga diraja, dan hancurnya pemerintahan raja-raja di daerah itu, maka sebaliknya di Kepulauan Riau, sejumlah kerabat keluarga diraja Riau-Lingga yang dulu menyingkir ke Singapura dan Malaysia berupaya menghidupkan kembali kerajaan Riau-Lingga yang dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913.
Tulisan singkat ini adalah sebuah “diskusi awal”. Dan akan mencoba mendiskusikan secara sepintas lalu sisi lain dalam sebuah episode “kecil” ditengang hiruk-pikuk panggung sejarah zaman revolusi Indonesia pada tingkat lokal di Kepulauan Riau. Sebuah fase, ketika gema proklamasi kemerdekaan Indonesia akhirnya juga mendapat tanggapapan di Kepulauan Riau, dan menciptakan reaksi-reaksi serta persepsi individu, “kelompok-kelompok politik”, yang memainkan perannya sebagai bagian dari “elit revolusi”.
Gerakan Kesultanan Riau
Gagasan untuk menghidupkan kembali kerajaan Riau-Lingga setelah proklamasi 17 Agustus 1945 sebenarnya telah dimulai oleh sekelompok elit yang berasal dari zuriat kerajaan Riau-Lingga dalam sebuah pertemuan Melaka sekitar tahun 1939, namun sempat vakum cukuplama. Barulah kemudian, dalam sebuah persidangan yang berlangsung di Istana Kampung Gelang, Singapura, pada tahun 1947, gerekan ini bangkiit lagi, namun dengan personil dan kelompok yang lain pula.
Dalam persidagan yang berlangsung si Istana Kampung Gelam, di Singapura ini, kelompok yang dipimpin oleh Oengkoe Raja Adoellah bin Omar ini, telah memperbincangkan tentang “pembangoenan kembali daerah bekas kerajaan Riau-Lingga”. Mereka mengawalinya dengan membentuk sebuah organisasi yang diberi nama Dewan Rayat Riouw yang dipimpin langsung olehOengkoe Abdoellah bin Omar. Dalam perjalanannya, organisasi ini kemudian berganti nama menjadi Djawatan Koeasa Pengoeroes Rakjat Riouw (JKPRR) yang kemudian diperkuat pula oleh sebuah organisasi bernama Persatuan Melayu Riau Sedjati (PMRS): keduanya berfungsi sebagai alat perjuangan untuk wewujudkan kembali pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga yang baru (dalam zelfbestuur atau daerah pemerintahan otonomi terbatas di bawah pemerintah Hindia Belanda) di daerah bekas kerajaan Riau-Lingga.
Anggota PMRS terdiri dari kerabat kerajaan Riau-Lingga dan orang-orang Melayu Riau-Lingga yang se-ide. Kantor pusat organisasi ini terletak kawasan High Street, Singapura. Ketika itu, Singapura merupakan daerah penting yang sangat menentukan dalam gejolak politik di Tanjungpinang dan Kepulauan Riau pada awal-awal proklamasi.
Di awal perjalanannya, sumber dana perjuangan PMRS berasal dari sejumlah pedagang dan pengusaha Cina terkemuka di Singapura yang berasal dari Tanjungpinang. Mereka dijanjikan akan mendapatkan kontrak dan sejumlah monopoli konsesi tambang timah di Pulau Singkep bila kelak perjuangan menghidupkan kembali kerajaan Riau-Lingga tersebut berhasil.
Salah satu yang terkenal diantara pengusaha Cina tersebut adalah Baba Lee, pemilik Keppel Bus Company di Singapura. Pengusaha Cina kaya ini menyumbang dana sebesar 45.000 dollars dalam kurs mata uang Inggris ketika itu. Sebagai imbalannya Baba Lee dijanjikan akan mendapat monopoli pembangunan gedung dan perindustrian bila perjuangan menghidupkan kembali kerajaan Riau-Lingga berhasil. Selain Baba Lee, dua pengusaha Cina lainnya yang tercatat sebagai penyumbang dana adalah Lim Choo Seng dan Hoe Chap Teck yang juga berasal dari Tanjungpinang.
Sebagai calon sultan yang kelak akan memerintah kerajaan Riau-Lingga yang “baru”, pihak PMRS ini memilih cucu sultan Riau-Lingga terakhir, yang bernama Tengku Ibrahim bin Omar @ Tengku Ibrahim bin Tengku Umar, atau putera bekas Tengku Umar @ Tengku Besar kerajaan Riau-Lingga dari Pulau Penyengat yang dimakzulkan Pemerintaha Hindia Belnda pada tahun 1911.
Untuk mewujudkan misi PMRS ini, Tengku Ibrahim sendiri mengirim sepucuk permohonan dari Singapura yang ditujukan kepada Ratu Juliana dan menteri urusan luar negeri Belanda (minister van buitenlandschezaken ) Dr. D.U. Stikker, pada bulan Nopember 1948.
Dalam surat itu, ia antara lain menuntut hal-hal sebagai berikut: 1. Hak memerintah sebagai seorang raja di bekas wilayah Kerajaan Riau-Lingga; 2. Hutang atas hak konsesi tambang timah Singkep (N.V. Singkep Tin Exploitatie Maatschappij) dan sewa atas pulau Sambu oleh Batavia Petrolem Maatschappij yang belum dibayar kepada datuknya, Sultan Abdulrahman Muazamsyah yang dimakszulkan oleh pemerintah Hindia Belnda pada tahun 1911.
Namun demikian, dalam perjalanannya kemudian, terdapat sejumlah perselisihan dan friksi tentang penetapan dan pemilihan Tengku Ibrahim sebagai calon sultan Riau-Lingga yang baru ini. Sebagai ilustrasi, pada saat yang sama, ada satu kelompok yang kemudian mengusung pula seorang kerabat diraja Riau-Lingga yang bernama Tengku Endut dari Pahang sebagi calon sultan dari kelompok mereka.
Bagaimanapun, keputusan yang diambil ketika itu berpihak kepada Tengku Ibrahim yang berada di Singpura. Ia akhirnya dipilih oleh pimpinan gerakan ini sebagai calon Sultan Riau-Lingga yang baru.
Setelah masalah penetapan calon Sultan Riau-Lingga yang baru ini selesai, kerabat diraja dan para pimpinan PMRS mulai melakukan negosiasi dengan pemerintah Hindia Belanda melalui utusan yang dikirim langsung kepada Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook di Batavia (Jakarta). Hal ini dilakukan, karena pemerintah Hindia Belanda yang “menyingkir” selama masa-masa pendudukan Jepang (1942-1945) kembali berkuasa, termasuk di Tanjungpinang-Kepulauan Riau***
Bagian 2 : https://jantungmelayu.com/2020/08/fase-akhir-gerakan-kesultanan-riau-1946-1950-2/