
Manuskrip Tuhafat al-Nafis karya Raja Ali Haji yang ditemukan di Istana Terengganu, Malaysia, pada tahun 1986, dan kemudian dikenal luas dalam dunia manuskrip Melayu sebagai ‘Tuhfat al-Nafis naskah Terengganu’, adalah sebuah manuskrip Tuhfatal-Nafis yang istimewa dalam beberapa hal dibanding manuskrip Tuhfat al-Nafis lainnya.
Keistimewaan itu antara lain terletak pada sejumlah lampiran yang dicantumkan pada bagian akhir manuskrip tersebut, dan manjadi bagian yang tidak terlepaskan dari narasi sejarah yang terkandung dalam teks utama Tuhfat al-Nafisyang selesai disalin di Pulau Karimun itu.
Salah satu lampiran yang menjadikan manuskrip Tuhfat al-Nafis dari Terengganu tersebut ‘istimewa’ adalah dua muka surat pada bagian akhir manuskrip tersebut yang berisikan aturan atau istiadat Mengarak Mempelai Raja Berusung yang telah menjadi bagin dari tradisi kebesaran adat istiadat istana Riau-Lingga-Johor-dan Pahang sejak zaman Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah di Hulu Riau (Riau Lama).
Istiadat mengarak mempelai raja berusung yang menjadi salah satu kebesaran dalam prosesi adat-istidat pernikahan diraja di istana Riau-Lingga pada masa lalu tersebut telah lama punah. Di istana Riau-Lingga, untuk terakhir kalinya istiadat Mengarak Mempelai Raja Berusung ini diselenggarakan pada tahun 1885 ketika Raja Abdulrahman ibni Yamtuan Muda Raja Muhammad Yusuf menikah di Pulau Penyengat, dan kemudian ditabalkan sebagai Sultan Abdulrahman Muazamsyah pada tahun itu juga. Beberapa lembar foto sejarah kerajaan Riau-Lingga, yang menjadi bagian dari koleksi foto warisan KITLV, Leiden, dan kini berada simpanan Asia Library, Universiteit Leiden, merekam jalannya prosesi adat tersebut.
Aturan istiadat Mengarak Mempelai Raja Berusung yang dilampirkan pada bagian akhir manuskrip Tuhafat al-Nafis dari Terengganu ini bersumber dari sebuah manuskrip yang berjudul Haza al-Kitab al-Qanun al-‘Urus al-Daulat al-Karim: sebuah kitab yang menjadi pegangan dalam menjalankan istiadat diraja di istana Riau-Lingga-Johor-dan Pahang yang disusun pada zaman Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah yang memerintah di Negeri Riau (Riau Lama di Hulu Riau) sejak tahun 1722.
Seperti dinyatakan pada bagian pembuka dalam menuskrip tersebut,al-Kitab al-Qanun al-‘Urus al-Daulat al-Karimadalah petunjuk dan auturan dalam istiadat pengantin raja yang besar lengkap dengan semberapnya(alat kelengkapan dalam istiadatnya) yang didalamnya antara lainya dinyatakan bahwa “Inilah kitab pada menyatakan ‘adat-istiadat bagi pengantin raja yang besar, yaitu peri mengaturkan semberabnya, yang dijalankan oleh raja yang dahulu kala adanya intiha…”
Sebagai sebuah manuskrip salinan atas salinan yang bersumber dari Kitab al-Qanun al-‘Urus al-Daulat al-Karim, manuskrip aturan Mengarak Mempelai Raja Berusung yang dilampirkan di dalamTuhfat al-Nafis dari Terengganu ini pada mulanya disalin oleh Yamtuan Muda Riau Raja Jakfar berdasarkan suratan (salinan) Haji Kinuh bin Nakhoda Salamah yang menuliskan berdasarkan informasi dari ayahnya.
Salinan yang dibuat oleh Yamtuan Muda Riau Raja Jakfar ini kemudian disalin ulang oleh Yamtuan Muda Riau Raja Ali Marhum Kantor ketika beliau berada di Daik-Lingga. Selanjutnya, salinan yang dibuat oleh Yamtuan Muda Riau Raja Ali Marhum Kantor ini disalin ulang di Pulau Penyengat pada 15 Desember tahun 1886.
Salinan versi tahun 1886 itulah yang kemudian disalin sekali lagi dan dimuat oleh penyalin Tuhfat al-Nafis dari Terengganu, yakni Haji Abdulrahman ibni Encik Long cicit Tuan Lebai Sambas al-din, dan kemudian dilampikan dalam manuskrip Tuhfat al-Nafis dari Terengganu yang selesai disuratnya pada sannah 1318 Hijriah bersamaan dengan tahun 1900 Miladiah.
Dalam salinan manuskrip istiadat Mengarak Mempelai Raja Berusung tersebut, terdapat dua pasal. Pasal pertama berisikan aturan mengarak mempelai raja berusung lengkap dengan semberap (kelengkapan) istiadat dan ururan iring-iringan dalam pawai mengarak mepelai raja berusung di istina Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Adapun pasal kedua, berisikan penjelasan tentang penggunaan tombak yang sebatang dan tombak yang enambelas dalam iring-iringan pawai mengarak pengantin raja berusung yang disandingkan dengan ringkasan sejarah dan hubungan silsilah antara Raja Melayu dan Bugis yang berkenaan dengan adat-istiadat tersebut.
Dibawah ini dinukil bagian dari dua pasal tersebut, terutama yang khusus berkenaan dengan istiadat Mengarak Mempelai Raja Berusung itu:
“Pasal yang pertama, peri pada menyatakan mengarak mempelai raja berusung. Pertama usungan bersaput kuning dan khemahnya demikian juga. Dan jikalau raja besar kuning, dan jikalau raja kecil hijau khemahnya.
Dan yang di atas usungan itu mempelai serta dengan pengapitnya berdua, serta memegang kipas daripada emas atau perak. Dan pawainya yang diatasnya usungan itu yang membawak tepak, dan kedua membawa kain panjang, dan ketiga membawa ketur, dan keempat orang membawak ceper ambur beras kuning yang telah bercampur emas, yaitu berdiri kepada tiang usungan itu.
Adapun ternang, dan puan dan bungkusan, yaitu berjalan di tanah, dihadapan usungan. Adapun yang dihadapan puan itu suatu tombak kerajaan, dan dihadapan tombak itu genderang nobat. Dan dikiri kanan gendarang nobat itu baris tompak atau senapang. Dan kiri kanan usungan itu dian sebelah menyebelah, ampat sebelah atau lapan sebelah. Di belakang usungan itu kain dukung.
Di belakang kain dukung itu orang menyelampai. Di belakang orang menyelampai itu segala perempuan baik. Atau dahulu sekali daripada usungan. Di belakang perempuan banyak itu orang membawa keromong serta segala bunyian. Maka terkembanglah payung ampat atau delapan, yaitu ubur kuning, dua kuning dan dua putih. Atau ampat kuning dan ampat putih.
Jika raja besar lapan payungnya. Pawainya seri anam belas juga. Jika raja kecil, payungnya ampat. Pawainya seri delapan. Maka berbunyilah bedil tujuh atau sembilan atau anam belas kali. Maka serta sampai usungan itu, maka berbunyilah lagi yang tersebut itu juga adanya.”
“Pasal yang keampat pada menyatakan peraturan tombak sebatang itu lebih sedikit daripada tombak yang anam belas itu. Di belakang tombak itu [alat] kebesaran, yaitu gendang nobat dengan serunai dan nafiri. Dan di belakang genderang nobat itu amas kahwin. Dan apabila berjalan, maka berbunyilah genderang nobat itu lagu arakanserta segala bunyiannya adanya, intiha…”
Pada tahun 2013, saya mencoba merekonstruksi istiadat yang telah punah ini berdasarkan berdasar manuskrip ini dan dokumentasi foto yang tersimpan di KITLV, Leiden. Lengkap dengan membuat replika usungangan diraja yang atapanya bersaput kain kuning serta dielnkapi pula denga replika semua semberab atau perlengkapan dalam perarakannya. Selanjutnya, bersempena Festival Tamadun Melayu yang ditaja oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau di Tanjungpinang pada bulan September 2013, hasil rekonstruksi itu dimpilkan di hadapan Wakil Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Boediono, sebagai bagian dari pawai kebesaran Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepulauan Riau pada pembukaan festival tersebut.***