BATAM: sisa-sisa batu bata BATAM, produksi Batam Brickworks di Pulau Batam, yang hingga kini masih dapat dilihat pada sisa-sisa tongkat bangunan Istana Laut peninggalan Sultan Riau-Lingga di Kampung Bulang, Pulau Penyengat. (foto: aswandi syahri)

Fondasi HistorisPerkembangan Industridi Pulau Batam (1896-1910)

PADA akhir abad ke-19 (sekitar 1882-1883), Pulau Batam dan kawasan sekitarnya adalah “daerah masa depan” dalam wilayah kerajaan Riau-Lingga dan daerah takluknya. Kecenderungan kearah ini telah mulai terlihat sejak pertengahan abad kesembilan belas.

Dalam kasus perkebunangambir umpamanya, konsentrasi izin pembukaan kebun gambir yangsejak abad ke-18terfokus di Pulau Bintan, mulai beralih ke Pulau Batam. Salah satu sebabnya adalah karena semakin menipisnya cadangan kayu bakar proses pengolahan gambir.

Kosekuensinya Pulau Batam dan pulau-pulau di sekitarnya menjadi tumpuan dan pusat baru bagi perluasan kebun gambir. Pulau Batam menjadi kawasan yang diperebutkan. Bahkan pada tanggal 1 April 1856, terjadi pertelagahan bersenjata diantara dua kelompok orang Cina pekebun gambir dari Singapura dan Batam memperebutkan lahan untuk pembukaan kebun gambir di kawasan Sungai Tering dan Sungai Panas.

Sebagai “pulau masa depan”, Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf juga mempersiapkan dan menyerahkan sejumlah kawasan tertentu di Pulau Batam dan kawasan sekitarnya kepada kaun kerabat dan anak-anaknya.Dalam sepucuk surat bertarikh Selasa 8 Rabi’luawal Hijrah bersamaan 26 Juli 1898 Miladiah umpamanya, Raja Muhammad Yusuf atas nama kerajaan Riau-Lingga telah mengurniakan sebagian tanah Pulau Batam kepada putranya yang bernama Raja Abdullah (yang menjabatTengku Besar Kerajaan Riau-Lingga), Raja Ali Kelana, dan kepada saudaranya yang bernama Raja Muhammad Thahir

“…Bahwa kita Sri Paduka Yang Dipertuan Muda Riau dan Lingga serta daerah takluknya sekalian menyatakan dari hal-hal tanah-tanah yang disebelah Pulau Batam, yang telah jadi kurnia kerajaan kepada putera kita Raja Abdullah (Tengku besar), dan kepada putera kita Raja Ali Kelana, dan kepada saudara kita Raja Muhammad Thahir bin almarhum Yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji Abdullah…”

Batam Brickworks

Jauh sebelum tarikh perngurniaan sebahagian tanah di Pulau Batam itu, Raja Ali Kelana sebenarnya telah memanfaatkan potensi ekonomis Pulau Batam dengan membangun sebuah pabrik batu bata modern bernama Batam Brickworks,kerja sama binisnya dengan Ong Sam Leong, seorang pengusaha bangsa Cina di Singapura.  Akan tetapi, setelah beroperasi selama beberapa tahun, usaha patungan itu tak berjalan mulus.

Perjalanan pabrik batu bata yang menjadi fondasi historis bagi sejarah perkembangan idustri di Pulau Batam itu mulai berubah setelah Raja Ali Kelana membeli dan menjadi pemilik tunggal Batam Brickworks pada tahun 1896. Kiprah Batam Brickworks semakin nyata setelahpengurniaan sejumlah tanah di Pulau Batam, termasuk lokasi pabrik Batam Brickworkdi kawasan Batu Haji, oleh Yang Dipertuan Muda Riau kepada Raja Ali Kelana pada 1898.

Oleh Raja Ali Kelana, yang ketika itu juga menjabat sebegai calon pengganti Yang Dipertuan Muda Riau, pembelian dan pengambil alihan Batam Brickworks itu terus dipublikasikan hingga beberapa tahun kemudian pada sejumlah surat kabar yang terbit di Singapura. Sebagai ilustrasi, pada bulan Juli 1899, seorang bernama Raja Mohammed Akib mempromosikan pengambilalihan perusahaan itu oleh Raja Ali Kelana dalam kolom iklan surat kabar The Singapore Free Pressand Merchantile Advertiser.

Di tangan Raja Ali Kelana, Batam Brickworks mulai bersinar. Ketika diambil alih pada tahun 1896, Batam Brickworks telah mampu memproduksi 30.000 batu batu bakar yang keras (hard-burnt brick) per hari. Semua batu bata yang produksi Batam Brickworks menggunakan merek dagang BATAM yang ditulis dengan huruf kapital pada bagian atas atau sampingnya.

Keberhasilan Raja Ali Kelana dalam mengembangkan Batambrickwoks tak terlepas dari “manajemen modern” yang dikendalikan dari manajemen di kantor pusat serta depot di Singapura yang dipimpin oleh manajer Said Syech al-Hadi, yang dibantu Said Omar bin Sahab, Sudin, Abdool Koodos, Tiang Pow, Abdul Latip, Abdul Hakim dkk, dan sudah barang tentu didukung oleh pabrik dengan mesin-mesin modern pada zamannya di di kawasan Batu Haji, Pulau Batam.

Sebagai sebuah perusahaan anak Melayu yang diperhitungkan dalam dunia binis di kawasan Selat Melaka ketika itu, nama Batam Brickworks beserta personalia kantor pusat di Singapura dan pabrik di Batu Haji, Pulau Batam, dicantumkan dalam direktori bisnis bergengsi di Singapura, The Singapore and Straits Directory, sejak 1901 hingga 1910.

Indjin Batoe

Jika kantor pusat dan kantor pemasaran Batam Brickworks di Singapura mula-mula beralamat di 135 Prinsep Street dan kemudian pindah di 13 Boat Quay, maka pabrik batu Batam Brickworks tetap berada di Pulau Batam, yang sekaligus menjadi sumber bahan baku pabrik itu.Lokasinya di pinggir laut sebuah kawasan di Batu Haji.

Hingga kini, penduduk setempat, dan penduduk di sekitar Pulau Bulang menyebut kawasan pabrik itu sebagai enjin batu(indjin batoe, sebagaimana ditulis dalam asip-arsip Batam Brickwork) bersempena mesin uap yang dipergunakan untuk membuat batu bata di pabrik tersebut.

Dalam arsip-arsip Batam Brickworksyang ditemukan di Arsip Nasional Republik Indonesia, dan peta-peta lama kawasan pesisir di sekitar Selat Bulang dan pulau-pulau sekitarnya, nama kawasan pabrik itu menjadi sebuah toponim yang ditulis indjin batoe dalam bahasa Melayu atau steenebakkerij dalam bahasa Belanda.

Pabrik Batam Brickwork atau indjin batoe di Batu Haji ini dipimpin oleh seorang superintendent (pengawas) bernama T. Sembob. Ia dibantu oleh Asistent bernama R. Murad, clerk Abdul Madjid, S. Hashim, Raja Mahmood, Yacob, Abdulrahman, T Hussain, Syed Mohamed Rodsee, M. Salleh, T. Abdul Zalil, dan mandore Hang Tent Yew, Safaralli sertaTan Hwa Lye.

Pada tahun 1906 Raja Ali Kelana menyelesaikan pembangunan dan penambahan fasilitas baru pabrik Batam Brickworks di Batu Haji, Pulau Batam, dengan mendatangkan mesin-mesin uap dari Jerman. Kontraktornya adalah Mr. M. Caps dari Singapura.

Dengan mesin baru itu, dan didukung bahan baku tanah Pulau Batam yang bermutu, Batam Brickworks mampu menghasilkan batu bata dengan kualitas yang terbaik di belahan Timur tanah Asia, dan mampu menyaingi batu bata dari Skotlandia yang juga meramaikan pasar Singapura ketika itu. Usaha ini berkembang dengan pesatnya sehingga memungkinkan Raja Ali Kelana membeli dua buah kapal uap yang diberi nama Laurah dan Karang.

Karena mutunya, batu bata produksi Batam Brickworks selalu memenangkan sejumlah pertandingan kualitas dan mutu batu bata di Singapura, Semanjung Melayu, dan kawasan Timur Jauh. Mutunya, mampu menyaingi batu bata produksi Thailand. Bahkan, batu bata produksi Batam Barickworks pernah mendapatkan award (penghargaan) pada Pinang Agricutural Show di Pulau Pinang pada tahun 1901, dan Hanoi Exposition di Vietnam pada tahun 1902 dan 1903.

Selain dipergunakan di kawasan Riau-Lingga, seprti untuk membangun gedung Mahkamah Besar dan diIstana Lautmilik Sultan Riau-Lingga Penyengat, batu bata produksi Batam Brickworks juga dipergunakan untuk membangun gedung-degung pemerintah serta sarana perkeretapaian milik Inggris di Singapura dan negeri-negeri selat di tanah Semannjung.

Sam Bee Brick Works

Zaman keemasan Batam Brickworks di bawah Raja Ali Kelana berakhir pada tahun 1910. Terdapat beberapa persoalan yang menyebabkan berakhirnya aktivitas Batam Brickworks, yang diawali dengan terkendalanya produksi selama beberapa tahun.

Dari sisi eksternal, berakhirnya Batam Brickworks milik Raja Ali Kelana ini tidak terlepas dari tekanan dan sabotase pihak Belanda karena aktivitas politik Raja Ali Kelana dalam menentang kolonialisme di Riau-Lingga.

Sebagai seorang tokoh kelompok perlawanan terhadap politik kolonial Belanda di Kerajaan Riau-Lingga, Raja Ali Kelana dicap sebagai salah seorang yang “berniat kejahatan” terhadap pemerintah Hindia Belanda, sebagaimana tersirat dalam surat pemakzulan Sultan Kerejaan Riau-Lingga, Sultan Abdulrahman dan Tengku Besar Riau-Lingga pada tanggal 10 Februari 1911.

Sebelum hijrah ke Johor karena tekanan politik dan ancaman pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1911, Raja Ali Kelana telah menjual Batam Brickworks dan pabriknya di Batu Haji, Pulau Batam, kepada Sam Bee Brickworks, sebuah perusahaan batu bata milik pengusaha Cina di Singapura, pada tahun 1910.

Penjualan dan sekaligus pangalihan semua milik Batam Brickworks itu diumumkan oleh pihakSam Bee Brick Works dalam surat kabar Straits Time di Singapura pada 10 Januari 1910: “Sam Bee Brick Works – Pulo Batam. The Batam Brickworks of Pulo Batam in the district of Rhio, which has for some time ceased manufacturing the well-known “Batam-Bricks, has been now taken over by the Sam Bee Brick Works Company…”

Sejauh ini, belum diperoleh informasi sampai kapan Sam Bee Brick Works mejalankan bekas pabrik batu bata milik Raja Ali Kelana di Pulau Batam. Namun yang pasti, perusahaan itu tetap menggunakan nama BATAM dalam huruf kapital sebagai label batu bata yang diproduksinya.***

Artikel SebelumKita dan Tradisi
Artikel BerikutTuan Doakan Supaya Selamat
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan