
RAJA Haji Abdullah ibni Raja Hasan ibni Raja Ali Haji nama lengkapnya. Dari namanya itu dapatlah diketahui bahwa beliau adalah putra Raja Hasan dan Raja Ali Haji nenendanya. Ayahanda dan nenenda (datuk, kakek) beliau dikenal sebagai penulis semasa Kesultanan Riau-Lingga. Bahkan, nama datuknya sampai setakat ini masih melegenda karena karya-karyanya yang monumental sehingga menjadi Pahlawan Nasional Republik Indonesia bidang bahasa. Lalu, apakah kaitannya beliau dengan kepengarangan ayah dan datuknya?
Di dalam dirinya juga mengalir darah kepengarangan. Dengan kata lain, beliau juga adalah penulis terkenal pada era Kesultanan Riau-Lingga. Nyatalah bahwa ketauladanan ayahnda dan nenendanya meresap dengan baik ke dalam hati sanubari pembesar Kesultanan Melayu ini. Berbeda dengan pendahulunya, sebagai penulis, beliau menggunakan nama pena: Abu Muhammad Adnan. Apa pasal?
Nama Muhammad Adnan digunakannya sebagai nama samaran untuk mengenang ananda sulungnya, Raja Muhammad Adnan. Ananda beliau itu meninggal dunia pada usia yang masih sangat belia. Tambahan nama Abu di depan nama anandanya itu berarti ‘ayah’. Beliau juga dikenal dengan sapaan akrab Engku Haji Lah atau Engku Lah. Selain sebagai penulis, beliau berprofesi sebagai hakim agung Mahkamah Kesultanan Riau-Lingga. Hal itu bermakna profesi utamanya adalah sebagai hakim agung, tetapi menulis merupakan tanggung jawab terwaris yang dijalaninya dengan segenap kecintaan dan sepenuh jiwa-raganya.
Tak diketahui tarikh pasti kelahiran Abu Muhammad Adnan. Walaupun begitu, dapat dipastikan bahwa beliau wafat pada 1926.
Engku Haji Lah membuktikan bahwa pada zaman Kesultanan Riau-Lingga pekerjaan menulis sangat diminati oleh para petinggi negara. Sebagai hakim agung di Mahkamah Kerajaan, beliau ternyata juga menekuni bidang sastra dan bahasa, bahkan cabang seni yang lain juga digelutinya. Sangat jelas bahwa kepengarangan menjadikan seseorang tampil sebagai manusia yang utuh dan bermartabat, bukan sekadar pangkat dan jabatan yang tinggi.
Dalam kasus beliau, bahkan, profesinya sebagai penulislah yang menyebabkannya dikenang sampai hari ini, bukan jabatan tinggi yang pernah disandangnya. Sama juga dengan nenendanya, Raja Ali Haji, yang jabatan resminya sebagai Penasihat Utama Yang Dipertuan Muda (Raja Muda) Kesultanan Riau-Lingga. Tak heranlah kala itu profesi sebagai penulis didambakan oleh banyak orang. Dengan demikian, tradisi intelektual Melayu kian berkembang dan terpelihara untuk meneruskan semangat para pendahulu yang tak boleh mereda.
Beliau beristri dua orang. Pertama, Salamah binti Ambar namanya. Istri pertamanya ini menulis dua karya: (1) Syair Nilam Permata dan (2) Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota Tubuh. Kedua, Khadijah Terung namanya. Istri keduanya ini menulis Perhimpunan Gunawan bagi Laki-Laki dan Perempuan, sebuah karya yang sangat “berani” pada zamannya dan pasti mendebarkan jantung sesiapa pun yang membacanya, bahkan sampai era sekarang. Jadi, kedua istri Abu Muhammad Adnan juga pengarang. Mereka menambah bilangan jumlah penulis perempuan yang pernah ada di Kesultanan Riau-Lingga, yakni kerajaan tradisional nusantara yang paling banyak menghasilkan penulis, apatah lagi penulis perempuan.
Sebagai seniman, Raja Haji Abdullah tak hanya dikenal sebagai sastrawan. Beliau juga memiliki kemahiran dalam bidang seni lukis dan seni patung.
Beliau juga merupakan pengarang yang memiliki bacaan yang sangat luas. Perpustakaan pribadinya dilengkapi dengan buku-buku berbahasa Melayu, Arab, dan Perancis. Kebiasaan yang ditunjukkan oleh Engku Lah ini pun hendak menegaskan bahwa kepengarangan merupakan profesi yang penuh dengan tanggung jawab. Orang tak mungkin menjadi pengarang yang baik tanpa banyak membaca.
Tak ada yang bersifat instan dalam dunia kepengarangan. Pekerjaan mengarang atau menulis memerlukan kesungguhan yang memaduserasikan kecerdasan secara komprehensif dengan konsistensi dan disiplin yang tinggi. Ketunakan dalam tradisi tulis menjadi kunci untuk menjadi pengarang yang baik dan bertanggung jawab.
Beliau juga rajin menulis kalimat-kalimat arif di buku-buku karya asli dan atau terjemahannya. Di antara kalimat yang pernah ditulisnya berbunyi, “Apabila diarahkan dengan jitu, al-khayalan akan merangsang pikiran sehingga hasilnya pun akan menjadi berfaedah, bermanfaat, bermakna.” Dengan demikian, Abu Muhammad Adnan menganggap bahwa imajinasi (hayalan) sangat mustahak bagi bertumbuh dan berkembangnya inovasi dan kreativitas.
Selain dibuktikannya sendiri dengan karya-karya yang dihasilkannya, keyakinan Engku Lah itu memang tak terbantahkan. Nyaris tak ada karya besar dalam bidang apa pun yang dihasilkan manusia di dunia ini tanpa adanya imajinasi pemicu. Syaratnya, imajinasi tak boleh dibiarkan melara begitu saja, tetapi harus diolah sedemikian rupa dengan kerja keras sehingga menghasilkan karya yang bermutu. Alangkah sia-sianya imajinasi jika ianya tinggal hanya sebagai hayalan kosong belaka, tanpa makna dan merana.
Selain menulis karya sastra, asli dan terjemahan, Abu Muhammad Adnan juga menulis buku pelajaran bahasa Melayu. Di antara bukunya dalam bidang bahasa ialah (1) Pembuka Lidah dengan Tauladan Umpama yang Mudah, (2) Penolong Bagi yang Menuntut Akan Pengetahuan yang Patut, dan (3) Pembukaan Bagi yang Berkehendak dengan Huraian yang Pandak.
Karya-karya Engku Haji Lah dalam bidang bahasa itu melengkapkan seri pengkajian bahasa dalam tradisi intelektual Kesultanan Riau-Lingga. Kakek beliau, Raja Ali Haji, menulis dalam bidang ejaan, tata bahasa, dan kamus (leksikografi). Haji Ibrahim menulis dalam bidang etimologi (asal-usul kata). Raja Ali Kelana menulis dalam bidang morfologi (bentuk kata) dan semantik (makna kata). Dengan karya linguistik terapannya, Raja Abdullah ibni Raja Hasan menggenapkan pengkajian bahasa Melayu dengan bidang pelajaran bahasa.
Dalam bidang kesusastraan, karya-karya suami Salamah binti Ambar dan Kadijah Terung ini yang dapat diketahui setakat ini meliputi enam karya: (1) Hikayat Tanah Suci (1924), (2) Kutipan Mutiara, (3) Syair Syahinsyah (1922), (4) Ghayat al-Muna, (5) Syair Seribu Satu Hari (1919), dan (6) Syair Farhad. Di antara karya-karya itu ada yang diangkat menjadi cerita Wayang Bangsawan, yakni genre teater Melayu yang sangat digemari suatu masa dahulu dan masih kekal sampai sekarang. Sekurang-kurangnya ada empat karya beliau yang pernah dijadikan cerita Wayang Bangsawan: Syair Pahlawan Farhad, Syair Ghayat al-Muna, Syair Seribu Satu Hari, dan Syair Syahinsyah.
Dalam perkembangan seni Wayang Bangsawan, Abu Muhammad Adnan cukup berperan. Walau tak terlibat secara langsung dalam aktivitas seni pertunjukan itu, beliau sering dimintai naskah cerita dan model tata busana oleh kelompok Wayang Bangsawan istana. Kemampuannya sebagai pelukis memungkinkan Engku Lah dapat menata busana bagi tokoh Wayang Bangsawan: raja, menteri, jin, penjahat, orang asing, khadam, dan sebagainya. Model tata busana rekaannya itu ternyata digunakan oleh kelompok Wayang Bangsawan kala itu.
Dari bukti bakti yang pernah disumbangkannya, Abu Muhammad Adnan tergolong seniman yang memiliki bakat besar dan kecintaan yang tinggi terhadap banyak cabang seni. Ketunakan beliau dalam bidang yang digelutinya itu telah menambah khazanah karya yang pernah dihasilkan oleh para cendekiawan Kesultanan Riau-Lingga sehingga nilai-nilainya dapat dipelajari dan dikaji sampai sekarang. Semua karyanya itu patutlah menjadi kebanggaan generasi yang hidup pada masa kini.
Kebanggaan itu akan sia-sia belaka, bahkan tak berguna, jika karya-karya monumental itu dibiarkan membisu begitu saja. Alangkah baiknya kalau dilakukan pengkajian yang mendalam tentang warisan budaya takbenda tinggalan Abu Muhammad Adnan dari pelbagai sudut pandang keilmuan, khasnya ilmu-ilmu budaya. Jika pekerjaan itu dapat dilakukan, berarti kita betul-betul menghargai jerih-payah para pendahulu sekaligus dapat mengembangkannya bagi kehidupan masa kini dan generasi yang akan datang.
Dapat dipastikan banyak nilai berguna di dalam karya-karya Engku Haji Lah sehingga relevan sepanjang masa, khasnya bagi orang Melayu. Seperti keyakinannya, hayalan merangsang pikiran bermutu. Dengan begitu, jika dikaji, generasi masa kini telah ikut berperan dalam menyambung tradisi intelektual yang pernah tumbuh merecup di negeri ini suatu masa dahulu. Semoga ini tak termasuk impian orang beradu yang berdampak pada siasat adu-mengadu.***