Pemandangan Bukit Kerang Kawal di Pulau Bintan ketika ditemukan tahun 2005. Insert: Beberapa artefak prasejarah hasil ekskavasi tim Balai Arkeologi Medan di Bukit Kerang Kawal Darat tahun 2009. Dari kiri kenan, alat kerang yang telah diasah, patahan kapak batu, dan alat cungkil dari dari tulang. (foto: aswandi syahri)

Bukit Kerang di Kawal Darat, Pulau Bintan, dan Sejarah Kepulauan Riau

Dalam historigrafi atau pensejarahan modern, ada beberapa sebab khusus yang membuat sejarah sebagai sebuah kisahditulis ulang (rewriting of history).

            Beberapa sebab khusus tersebut antara lain adalah: adanya isterpretasi terhadap bahan sumber lama yang ditinjau ulang; munculnya pertanyaan baru terhadap pokok persoalan lama karena perubahan semangat zaman dan kekuatan-kekuatan sosial politik yang membingkainya; dan tersedianya bahan-bahan sumber baru (dalam bentuk dokumen dan artefak) yang memunculkan pertanyan-pertanyaan baru dan memerlukan jawaban yang baru pula.

            Sejarahsebuah kisah (historiografi) adalah rekonstruksi sejarawan atas keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari masa lalu manusia dalam ruang (spatial) dan waktu (temporal) tertentu pula.Sebagai sebuah kisah yang terikat dalam ruang dan waktu, masa lalu (sejarah) yang dikisahkan adalah sesuatu yang punya pangkal dan hujung. Ada awal dan akhir yang wujudnya adalah angka tahun bermulanya sebuah kisah yang mengalir hingga ke angka tahun yang direkonstruksi sebagai akhir sebuah kisah.

            Persoalan-persoalan epistemologis dalam penulisan sejarah modern seperti yang dikemukan diatas, menajadi gagasan utama bagi esai ini. Asal muasalnya berpunca dari penemuan sejumlah artefak prasejarah hasil penggalian arkeologis oleh Balai Arkeologi Medan di Bukit Kerang (Kjökkenmöddinger) di daerah Kawal Darat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan pada tahun 2009.

            Dalam ilmu sejarah, artefak prasejarah yang ditemukan di Bukit Kerang  itu adalah adalah bahan sumber baru yang penting bagi penulisan sejarah Kepulauan Riau (rewriting of history)  dalam konteks sejarah lokal. Kesimpulan analisis arkeologis atas temuan itu telah memicu sejumlah pertanyaan historis tentang sejarah Kepulauan Riau: Darimanakah titik sejarah Kepulauan Riau bermula? Dan kapan sejarah Kepulauan Riau dalam konteks sejarah lokal bermula?

            Jawaban atas dua pertanyaan ini, sudah barang tentu mengandungi implikasi ruang dan waktu dalam sejarah. Implikasi ruang dan waktu ini semakin mengemuka ketika kita sadar bahwa perubahan administrasi wilayah Kepulauan Riau dari sebuah kabupateb menjadi sebuah provinsi yang lepas dari Provinsi Riau membuat perspektif sejarah lokal Kepulauan Riau juga berubah.

            Argumen utama esai ini adalah: Sejarah Kepulauan Riau harus ditulis ulang dan ianya haruslah bermula dari Sungai Kawal. Mengapa? Bagian-bagian selanjutnya dari esai ini akan mengemukan beberapa alasan arkeologis dan historisnya.

Penemuan Kjökkenmöddinger

            Pada tahun 2005, sebuah tim pengumpulan dan penulisan cerita rakyat di Kabupaten Bintan yang saya pimpin,menemukan tiga (3) lokasi situs prasejarah peninggalan manusia pendukung kebudayaan Bacsonian yang muncul pasca kebudayaan Hoabinh yang amat istimewa. Pada ketika itu, tim mengidetifikasinya sebagai sebuah Bukit Kerangprasejerah.Lokasi situs ini berada di daerah Kawal Darat, Kecamatan Gunung Kijang, sekitar 500 meter dari tepi Sungai Kawal.

            Keberadaan Bukit Kerang di Kelurahan Kawal ini sebenarnya telah lama diketahui oleh masyarakat sekitarnya. Namun cerita yang berkembang tentang situs ini banyak bernuansa mitologis dan mistis. Mereka menyebutnya sebagai “benteng batak” atau “kota batak” yang dibangun oleh orang zaman dahulu untuk menghadapi serangan pembatak, yakni perompak atau orang jahat, yang selalu menjarah daerah Utara pantai Pulau Bintan.

            Kosa kata “batak” yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menyebutkan bukit kerang tersebut tidak ada kaitannya dengan salah satu etnis di pulau Sumatera. Istilah “batak” ini berasal dari kosa kata bahsa Melayu lama, yang maknanya sama dengan istilah pembatak yang dipergunakan untuk menyebut seorang tokoh antagonis dalam pementasan lakon cerita teater tradisonal Makyong di Mantang Arang dan Kampung Keke Kijang.

             Selain itu, masyarakat di sekitar daearah  Sungai Kawal juga menyebutnya dengan nama Benteng Senteng, bersempena timbunan cangkang sejenis kerang yang disebut  senteng, yang menjadi material dominan yang  membentuk Bukit Kerang  tersebut.

            Diperkirakan, Bukit Kerang yang terdapat di daerah Kawal Darat ini bukanlah peninggalan nenek moyang penduduk Kawal yang ada sekarang. Cerita-cerita pusaka atau mitos dan legenda yang berkembang tentang Bukit Kerang yang  mereka sebut sebagai Benteng Batak,Kota Batak, atau Benteng Senteng ini muncul karena adanya kesenjangan antara realitas yang mereka lihat dengan cara berfikir yang mereka gunakan hari ini . Sehingga yang memuncul adalah legenda dan mitos.

                Dengan kata lain dapatlah dikatakan bahwa Bukit Kerang di daerah Kawal ini adalah satu bagian dari sebuah mata rantai sejarah yang terputus dalam penjelasan sejarah pulau Bintan khususnya dan sejarah Kepulauan Riau umumnya.

Peninggalan Prasejarah

            Dalam ilmu arkelogi dan sejarah, bukit kerang seperti yang terdapat di daerah Kawal Darat ini disebutKjökkenmöddinger. Sebuah terminologi arkeologi dalam bahasa Denmark yang artinya adalah sampah-sampah dapur  sisa-sisa bahan makanan manusia pendukung sebuah kebudayaan di masa lalu.

Bila mengacu kepada hasil penelitian arkeolog H.R. van Heekeren dan R, Sukmono, Bukit Kerang seperti yang terdapat di daerah Kawal ini adalah sisa peninggalan kebudayaan Bacson-Hoabin, salah satu cabang kebudayaan yang penting dalam zaman Mesolitikum di Indonesia; yang berkembang sejak 3000 tahun sebelum masehi.

            Di Indonesia, sisa kebuadayaan mesololithikum ini pertamakaliditemukan di sekitar pantai Timur Sumatera. Membentang dari Sumatera Timur hingga di daerah Langsa, Nanggro Aceh Darussalam. Laporan pertama tentang keberadaan situs prase-jarah Bukit Kerang di Pantai Timur Sumatera ini dipublikasikan tahun 1907, menyusul penemuan situs pertama di daerah Sungai Tamiang dekat Seruai. Pada tahun 1924, ditemukan situs serupa di daerah Batu Kenong, Aceh,   oleh J.H. Neuman. Selanjutnya,  pada tahun 1927, L.C. Heyting juga melaporkan temuan lainnya di daerah  di daerah Serdang Hilir Pantai Timur Sumatera, lengkap dengan berbagai artefak yang ditemukan di situs tersebut.

Adalah suatu yang menarik ketika situs seperti ini ternyata juga ditemukan di daerah sekitar Sungai Kawal, Pulau Bintan, Kecamatan Gunung Kijang, Provinsi Kepulauan Riau. Karena selama ini, situs Bukit Kerang prasejerah  hanya diketahui terdapat di pantai Timur Sumatera dan tersebar antara  Sumatra Utara  hingga Aceh.

.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa, sebuah peninggalan prasejarah yang selama ini hanya dikenal juga sebagai “kebudayaan Sumatera,”  pernah pula berkembang di Pulau Bintan  sebagai bagian dari mata rantai sebaran situs Bukit Kerang di pesisir Timur Pulau Sumatera. Dan dalam hal ini, keberadan Bukit Kerang di sekitar Sungai Kawal ini juga menjadi satu bukti bahwa Pulau Bintan telah dihuni manusia dengan kebudayaannya sejak zaman prasejarah di Nusantara.

                Sejauh ini, di daerah Kawal, diketahui terdapat tiga buah situs bukit kerang. Situs pertama, adalah sebuah  bukit kerang yang telah rata, dan kini berada dalam areal kebun  kelapa sawit milik sebuah perusahaan swasta.

Situs kedua yang masih relatif utuh berupa sebuah bukit terletak di kebun penduduk berhampiran kebun sawit milik swasta, yang telah dibebaskan oleh pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan pada tahun 2008. Sedangkan situs ketiga, yang agak lebih kecil, terletak dalam areal kebun milik penduduk yang lokasinya berhampiran dengan lokasi situs kedua.

Artefak Prasejarah

Sebuah penelitian dan ekskavasi awal yang dilakukan oleh Balai Arkeologi (BALAR) Medan pada bulan Februari 2009, berhasil mengungkap sejumlah temuan menarik dan penting di situs Bukit Kerang atauKjökkenmöddingeryang kedua di daerah Kawal Darat ini.

Dari survei permukaan dan pembukaan dua kotak galian di kaki sisi Utara Bukit Kerang ini, tim BALAR Medan berhasil menemukan sejumlah artefak penting. Beberapa diantaranya berupa alat pukul dari batu dalam berbagai bentuk.  Selain itu, ditemukan juga sejumlah “alat kerang” yang telah diasah dan dilobangi pada bagian tertentu.

Satu hal yang menarik, di lokasi Bukit Kerang Kawal Darat ini juga ditemukan patahan mata kapak batu atau kapak pendek yang telah diasah atau diupam. Juga ditemukan sebuah alat cungkil atauspatula dari bahan tulang yang telah diasah salah satu ujungnya. Dan yang terpenting, pada situs Bukit Kerang Kawal Darat ini juga ditemukan pecahan gerabah yang dihiasi dengan pola yang sederhana.

 Secara arkeologis, semua artefak yang ditemukan ditemukan di situs itu dikalsifikasikan sebagai artefak prasejarah. Temuan kapak batu yang telah diupam dan pecahan gerabah di situs ini sangat penting artinya, karena dua artefak ini belum pernah ditemukan pada situs sejenis yang terdapat di Sumatra Utara dan Aceh. Semua artefak itu adalah hasil kerja tangan manusia pendukung sebuah kebudayaan yang menghasilkan situs-situs berupa Bukit Kerang.

            Sama seperti Bukit Kerang di daerah Langsa (Aceh) dan Medan, letak Bukit Kerang  di daerah Kawal Kawal, Kabupaten Bintan jauh ke darat (sekitar 5 KM dari pinggir laut. Bahkan sebuah situs serupa yang terdapat di Aceh, kini letaknya 130 Km dari pinggir laut). Dan tinggi gundukan cangkang kerang yang mebentuk struktur bukit itu mencapai sekitar 4 meter dari pemukaan tanah. Hasil analisa arkeologis menyimpulkan lokasi situs Bukit Kerang Kawal Darat pada masa lalu berada di musara Sungai (Sungai Kawal).

            Bila mengacu pada temuan-temuan pada bukit kerang di Sumatera, diperkirakan manusia yang menghasilkan bukit kerang ini adalah mereka yang tinggal di sekitar pantai dan muara sungai yang tinggal pada rumah-rumah bertonggak (rumah panggung). Hidup mereka berkelompok dengan mengumpulan bahan makanan berupa kerang (moluska) dalam berbagai jenis yang mudah ditemukan disekitar tempat tinggal mereka.

            Sisa-sisa kulit kerang yang mereka buang selama bertahun-tahun dan bahkan ribuan tahun itulah yang akhirnya menumpuk, dan lambat laun menjelma menjadi sebuah bukit yang tingginya ada yang mencapai sekitar empat meter.

            Persoalannya sekarang adalah, berapa usia Bukit Kerang dan artefak yang ditemukan di situs itu? Sejak kapan manusia pendukung ‘kebudayaan  Bukit Kerang’ tersebut bermukim di sekitar Sungai Kawal?

            Hasil analisa arkeologis dan hasil pengukuran usia (carbon dating atau analisa carbon) terhadap sampel kerang dan sisa-sisa arang yang diambil dari kaki bukit bagian luar di situs ini menghasilkan angka periodesasi 1.680 BP (Befeore Present = sebelum sekarang). Bila dikonversikan kedalam angka tahun sejarah (tarikh) maka  didapat angka tahun 333 Masehi, yang bersamaan dengan tarikh abad ke-3 Masehi. Sebuah angka tahun yang masuk dalam babakan prasejarah dalam periode sasasi sejarah Indonesia.

            Setelah melakukan analisa atas komponen artefaktual yang ditemukan di Bukit Kerang Kawal Darat, BALAR Medan mengasumsikan situs ini adalah hasil kerja tangan-tangan manusia pendukung kebudayaanBacsonian yang berkembang di kawasan yang cukup luas: mulai dari Semenanjung Asia, Malaysia, Utara Sumatera, dan terus ke Pulau Bintan.

            Bila mengacu kepada temuan serupa yang terdapat di daerah Pangkalan, Aceh Temiang, Nangroe Aceh Darussalam, dan hasil analisa karbon (carbon dating) terhadap komponen artefak dari Bukit Kerang Kawal Darat, Pulau Bintan, yang bertarikh sekitar abad ke-3 Masehi, maka dapatlah diasumsikan bahwa sebuah kebudayan dengan tinggalan berupa Bukit Kerang telah berlangsung di sekitar Sungai Kawal sejak 3.000 tahun yang lalu hingga abad ke-3 Masehi.

            Atau dengan kata lain, angka tarikh ini menunjukkan bahwa pada sekitar tahun 300 Masehi atau abad ke-3 Masehi, masih terdapat sekompok masyarakat di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, yang hidup dengan budaya prasejarah.

            Kesimpulan apa yang dapat dipetik dari temuan ilmiah ini? Sejarah Kepulauan Riau harus ditulis ulang. Ianya harus dimulai dari kawasan (spatial) sekitar Sungai Kawal dengan batasan waktu (temporal) yang dimulai antara 3000 tahun yang lalu hingga abad ke-3 Masehi.***

Artikel SebelumKota Kara
Artikel BerikutOrang Lanun dan Rakyat Laut Kerajaan Johor di Kepulauan Riau-Lingga Tahun 1823
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan