MEREKA termasyhur dengan kesetiaannya yang tak berbelah-bagi kepada raja dan rela berkorban nyawa demi daulat dan marwah bangsa. Itulah karakter watannya. Istilah watan berasal dari bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Melayu dan atau bahasa Indonesia. ‘Tanah air’ atau ‘tanah tumpah darah’ merupakan arti harfiahnya. Orang-orang atau penduduk asal suatu kawasan disebut Anak Watan di kalangan orang Melayu semenjak lama. Ukuran kawasan itu nisbi, mulai dari kampung, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampailah suatu negara jika ditinjau dari peringkat wilayah administrasi pemerintahan yang ada.
Ada juga orang yang memandangnya menurut wilayah adat sehingga dapat meliputi beberapa wilayah administrasi pemerintahan. Yang pasti, kelompok orang yang disebut Anak Watan itu memiliki perhubungan emosional yang relatif erat dan kuat karena selama hidup mereka disebatikan oleh adat-budaya yang sama. Jadi, selain kesamaan tanah kelahiran dan pertalian darah, ideologi yang terbentuk oleh kesamaan adat-budaya menjadi perekat kewatanan suatu masyarakat di suatu wilayah permastautinan tertentu.
Berdasarkan cacatan Belanda tentang penduduk di kawasan Afdeling Tanjungpinang, dapatlah diketahui Anak Watannya. Wilayahnya meliputi Pulau Bintan, Pulau Batam, dan pulau-pulau sekitarnya. Sumbernya berasal dari Kontrolir Vogelensang, yang dikeluarkan pada 1921.
Pulau Bintan didiami oleh penduduk yang terdiri atas kelompok-kelompok berikut. Pertama, orang Penaung, Tanjungpenaga, Betung, Nuyang, dan Gowa, yang kesemuanya disebut orang Bintan (semacam Orang Laut). Kedua, di Pulau Mapur (sebelah timur Bintan) di pantai utara berdiam orang Mapur (semacam Orang Laut). Ketiga, di Pelangka (pantai utara) bermastautin orang Tambas (juga Orang Laut). Keempat, di muara Sungai Anculai juga tinggal orang Tambas, yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Orang Kaya. Kelima, orang Mapar tinggal di daerah Gunung Kijang.
Di Kampung Lobam, pulau kecil sebelah tenggara Bintan, bermastautin orang Melayu Johor yang berasal dari Penyengat. Orang Mengkilu datang dari Kepulauan Lingga, seasal dengan Orang Laut. Di depan ibukota Tanjungpinang (di Bintan), disebut Pulau Kecil Penyengat, bermastautin orang Melayu Johor. Di sebelah selatan Bintan, yaitu di Pulau Mantang, berdiam orang Mantang (semacam Orang Laut). Sekitar 150 tahun yang lalu penduduk ini tinggal dalam ratusan sampan.
Di Pulau Rempang (di barat Bintan) bermastautin penduduk yang sebagian besarnya Orang Laut. Penduduk Pulau Subang Mas (di timur-daya Rempang) adalah orang Melayu dari Lobam dan dari Pulau Airraja. Penduduk Pulau Pangkil, di antara Rempang dan Bintan, terdiri atas Melayu Johor dan Orang Laut yang berasal dari Pulau Karas, Dompak (di antara Penyengat dan Mantang), dan Penyengat. Pulau Karas (di selatan Pangkil) didiami oleh penduduk yang berasal dari pulau di selatan Rempang, yakni pulau Galang, semacam Orang Laut.
Penduduk Pulau Nongsa (di utara Batam) sebagian besarnya orang Bugis. Sebelah timur Batam bertempat tinggal Orang Laut. Di barat-laut Batam, Pulau Belakangpadang, dan pulau-pulau di sekitarnya bermastautin penduduk yang sebagian besarnya orang Bugis dan Pare-pare. Orang Laut juga mendiami pulau-pulau di sebelah barat Pulau Bulang. Penduduk di selatan Galang, yakni Pulau Abang, adalah Orang Laut yang berasal dari Pulau Temiang (utara Kepulauan Lingga) dan dari Pulau Galang.
Menurut catatan di Negeri Johor, orang atau bangsa yang disebut oleh orang asing zaman dahulu sebagai “Orang Laut” dan kelompok-kelompok kecilnya, sebenarnya adalah orang atau bangsa Melayu yang bertempat tinggal di pantai-pantai dan laut di seluruh kawasan Melayu ini. Mereka termasyhur dengan kesetiaannya yang tak berbelah bagi kepada raja dan rela berkorban nyawa demi daulat raja dan marwah bangsa.
Semasa kejayaan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1528-1824), seterusnya Kesultanan Riau-Lingga (1824-1913), orang Melayu-Laut ini terkenal sebagai “pasukan pertikaman” atau prajurit terdepan yang gagah berani dan tak mengenal istilah “takut mati” di dalam kamus kehidupan mereka. Itulah sebabnya, mereka menjadi orang-orang yang sangat dibanggakan, sebaliknya juga membanggakan, dan sangat disayangi oleh Raja atau Sultan Melayu. Di Kerajaan Johor modern sampai setakat ini keadaan seperti itu masih dan terus berlangsung dan berkembang dengan baik.
Anak Watan Negeri Segantang Lada itu menarik perhatian bangsa asing semenjak dahulu. Orang Belanda juga sangat tertarik untuk membedakan antara orang Melayu dan Orang (Melayu) Laut. Menurut catatan ini, cara mengenalinya dapat dilakukan sebagai berikut.
Pertama, dengan cara bertanya siapakah nama bapaknya. Orang Melayu boleh menyebut nama bapaknya, sedangkan Orang Laut pantang menyebut nama bapaknya. Untuk menyebut nama bapaknya, Orang Laut harus membaca mantra terlebih dahulu, melaksanakan tolak batu, tolak barang, untuk meyakinkan bahwa perilaku itu bukan menyebut sesuatu yang jahat atau yang salah.
Kedua, dengan cara bertanya berapakah maharnya. Bagi Orang Laut, jumlah maharnya sama untuk semua orang. Sebaliknya, jumlah mahar di kalangan orang Melayu berbeda untuk setiap orang, bahkan berbeda antara satu kampung dan kampung yang lain.
Setiap orang tertarik terhadap sesuatu yang khas dan unik. Dahulu, unsur adat-istiadat penduduk tempatan yang menarik perhatian bangsa asing di antaranya adat-istiadat perkawinan, yang disebut Hukum Perkawinan.
Bukti atau jaminan pertunangan berupa rumah atau kain yang diberikan oleh Si Bujang (laki-laki) kepada Si Dara (perempuan). Pembayaran maharnya boleh dilakukan sebagian dahulu jika Si Bujang tak atau belum mampu memenuhi seluruhnya. Kemudian, dilangsungkanlah pernikahan di hadapan penghulu. Menantu laki-laki pergi ke kampung istrinya untuk bekerja dan mengabdi kepada mertuanya. Jangka waktunya sekurang-kurangnya satu bulan dan paling lama satu sampai dua tahun.
Di Pulau Karas, Pulau Sambu, Pulau Batulicin, Pulau Ujungkore, Pulau Abang, dan Pulau Mubut berlaku hukum perkawinan ini. Si Bujang melarikan Si Dara (pura-pura saja, bukan melarikan dalam arti sesungguhnya) dengan menggunakan sampan. Pelarian pasangan yang akan mendirikan mahligai bahagia itu dikejar oleh orang sekampung. Jika pasangan yang lari itu tertangkap, maka perkawinan boleh berlangsung. Selanjutnya, terjadi perkelahian antarkeluarga mempelai laki-laki dan mempelai perempuan (lagi-lagi pura-pura saja, jangan dianggap perkelahian yang serius pula).
Hebatnya lagi, pelarian pasangan pengantin dan perkelahian antarkeluarganya dibuat agak lama atau panjang waktunya supaya terlihat seru dan menarik. Dapat dibayangkan, betapa bersemaraknya suasana pantai tatkala upacara pernikahan itu berlangsung, jauh lebih meriah daripada sekadar pesta pernikahan yang dimeriahkan oleh organ tunggal. Hemat dan bayangan saya begitu.
Orang Melayu di hutan Rempang menyelenggarakan upacara perkawinan yang juga unik. Si Bujang harus mengejar Si Dara berkeliling pohon besar yang memang dipilih untuk upacara itu (Sekarang pohon besar seperti itu mana ada lagi, sudah ranap!). Kalau Si Bujang dapat menangkap Si Dara, barulah pernikahan dapat dilangsungkan. Jika tidak, sebab Si Bujang terlalu lemah, lamban, alias loyo, pernikahan mutlak dibatalkan tanpa boleh digugat oleh pihak mana pun.
Tentulah, kalau Si Bujang pujaan hati sejati Si Dara, segesit apa pun dia, jika diamatinya jejakanya lamban, leret, loyo bangat, tentulah dia akan bertoleransi untuk mengurangi kegesitannya agar dapat ditangkap oleh calon suaminya. Alhasil, cita-cita mereka untuk mendirikan mahligai bahagia terlaksana (cinta sejatilah, konon!).
Sebaliknya pula, kalau Si Bujang memang bukan lelaki yang menjadi tipe idealnya, karena keinginan orang tuanya saja, misalnya, sang gadis akan mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya agar tak dapat ditangkap oleh calon mempelai lelaki. Keadaan demikian tentulah amat memalukan lagi memilukan si perjaka dan keluarganya. Masakan lelaki tak mampu mengejar dan menangkap perempuan. Tidakkah itu aib namanya? Letoi, lemoi. Anak Watan tak boleh lemoi, letoi!
Dilema terbesarnya kini: di manakah gerangan dikau Anak Watan? Suara nyaris tak terdengar, durja (wajah) hampir tak terlihat. Di luar sini suara-suara riuh-rendah bagai pasaran abang. Adakah dikau redam, lenyap, dan lesap ditelan mesin kapal pengeruk pasir laut? Atau, tersedot dendangan maut lagu rayuan pulau politik praktis? Oh, Anak Watan Segantang Lada. Dikau mesti seperti yang dulu, Wai!***