oleh: Destriyadi Imam Nuryaddin
Perang Dunia II meluas ke Laut Cina Selatan, Pulau Natuna yang tak jauh darinya hanya menunggu waktu kapan terkena bom. Pangkalan KNIL di Sedanau, Bunguran Barat sudah meninggalkan pulau itu sejak November 1941. Puncaknya pada 8 Desember, seluruh kekuatan di pangkalan Sedanau sudah kosong. Hal itu yang membuat Letnan Engels, komandan seksi serdadu KNIL yang bermarkas di Ranai merasa kesulitan dalam mempertahankan tanah jajahan yang dikuasainya, dikarenakan ia tidak mendapat kabar kepergian itu melalui radio-telepon.
Dasar keadaan yang terhimpit itu, Letnan Engels melakukan satu tindakan yang bertentangan dengan Amir Ibrahim, Onder Distrik Bunguran Timur, karena sangat memberatkan masyarakatnya, tetapi Amir Ibrahim dan penghulu (lurah) lainnya tidak dapat berbuat apa-apa. Letnan Engels mengambil kesempatan untuk merampas lebih banyak hasil bumi milik masyarakat pulau Bunguran-Natuna di tengah kecamuk perang dunia II dan kebutuhan pangan yang sulit dipenuhi.
Senin, 8 Desember 1941/Kamis, 11 Desember 1941 (terdapat perbedaan tanggal dalam catatan yang berbeda). Letnan Engels mengumumkan keadaan darurat atau S.O.B. yang memaksa amir dan para penghulu untuk menyetujui keputusan itu. Keadaan semakin rumit, ditandai dengan peristiwa meletusnya bom yang menghancurkan Tarempa pada 14 Desember 1941 oleh Jepang. Pada keadaan semacam itu pula, Letnan Engels menaikkan harga belasting (pajak) yang semula 2.50 dolar menjadi 5.00 dolar. Yang semula dikumpulkan dalam waktu sebulan, dipercepat dalam tempo seminggu. Bagi siapa yang tidak menyerahkan uang belasting itu, maka Letnan Engels akan menggunakan kekerasan untuk menghukum, yaitu menembak mati di depan muka umum.
Akibat dari keputusan itulah, nasib malang menimpa masyarakat pulau Bunguran. Masyarakat harus bekerja lebih keras untuk memenuhi keinginan Letnan Engels tersebut, namun di samping itu ada pula yang tidak menyetujui aturan tersebut. Nasib malang ternyata menimpa Mail, laki-laki dewasa yang tinggal di Desa Kelanga sekaligus kepala keluarga dari istri dan anaknya. Mail tidak mau membayar uang belasting. Sesuai dengan aturan yang sudah Letnan Engels tetapkan, di depan halaman rumah penghulu dan disaksikan oleh masyarakat bahkan di depan anak istrinya, Mail ditembak mati tepat pada 4 Januari 1942. Dua hari setelah Mail, seorang laki-laki dewasa ditembak dan tiga hari setelahnya meninggal dunia.
Peristiwa kematian Mail di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenangkan oleh penduduk Kelanga saat ini. Mereka pun meyakini bahwa di Kelanga pernah terjadi peristiwa penembakan seorang penduduk Kelanga di batang pohon kelapa hingga berbekas oleh Belanda. Tetapi ada beberapa bagian yang berbeda.
Bagi orang Kelanga yang mengetahui peristiwa itu penyebab sebenarnya ialah perkara kerbau. Bu, orang Cina yang terbilang kaya pada masa itu karena memiliki banyak tanah di Kelanga. Selain tanah, Bu juga memiliki kerbau yang jumlahnya sangat banyak. Kerbau-kerbau itu dibiarkan lepas untuk mencari makan. Namun, penduduk sekitar tidak senang, karena kerbau-kerbau masuk ke kebun memakan rumput-rumput milik mereka. Lalu, Mail dan penduduk lainnya mencuri salah satu kerbau milik Bu. Mail bertugas memotong leher kerbau tersebut, sedangkan penduduk yang ikut mencuri kerbau itu mengambil tugas masing-masing. Entah di hari yang sama atau berbeda, Bu yang mengetahui hal itu melaporkannya kepada seorang komandan Belanda (kemungkinan Letnan Engels). Laporan Bu langsung ditanggapi oleh komandan Belanda itu untuk ditindaklanjuti. Seorang penduduk kampung Kelanga sempat mengabari Mail perihal komandan Belanda yang ingin menangkapnya, tetapi Mail tidak menghiraukan hal tersebut karena baginya kalau memang mati hari itu, ke mana akan lari maka akan tetap mati. Tidak lama komandan Belanda, Bu dan temannya sampai di tempat Mail. Lalu, Mail ditarik ke sebuah batang pohon kelapa dan tangannya diikat melingkari pohon. Sebelum mengeksekusi Mail, komandan Belanda tersebut sempat menanyakan kepada penduduk setempat yang disuruh oleh komandan Belanda itu berbaris menyaksikan peristiwa itu.
“Benar dia kepala perampok?” satu suara pun dari penduduk tidak ada yang menjawab karena takut akan komandan Belanda itu. Beberapa kali pertanyaan itu terulang, namun tetap tidak ada yang menjawab. Mail juga tidak berusaha membela akan dirinya. Lalu, setelah dipancing oleh Bu, teman Bu mengiyakan pertanyaan itu. Komandan Belanda kemudian menyiapkan pistol di tangannya bersiap-siap menembak Mail. Tembakan pertama, gagal. Tembakan kedua, gagal. Tembakan ketiga, gagal. Terdapat masalah pada pistol yang digunakan si komandan Belanda itu. Setelah menggantikan pistol itu dengan pistol yang lain, dengan sekali tembakan saja, peluru itu tepat menembus ulu hati pada tubuh Mail hingga berbekas di batang pohon kelapa. Andai saja pada saat itu, ada salah satu dari penduduk yang mengatakan bukan dia pelakunya, mungkin akhir dari peristiwa ini akan berbeda. Atau Bu tidak melaporkan hal tersebut kepada pihak Belanda. Diketahui saat ini, pohon kelapa tersebut sudah mati dan tidak ada lagi. Tetapi masih dapat ditelusuri tapak peristiwanya di Desa Sebadai Ulu.
Darah Mail adalah darah perjuangan melawan penjajahan masyarakat pulau Bunguran-Natuna. Darah yang tidak semua masyarakat miliki. Peristiwa kekejaman kolonialisme di tanah Bunguran 79 tahun lalu itu patut kita catat pada hari ini. Memang masa penjajahan Belanda sudah berakhir, tapi darah perjuangan Mail saat ini masih dapat kita gunakan sebagai pemantik semangat untuk terus mempertahankan Natuna dari bentuk penjajahan yang tidak lagi menyerang fisik, tetapi pikiran, perilaku, dan perkataan yang akan berpengaruh pada respon kita terhadap budaya dan bahasa.
Mail pula mengajarkan kepada kita sebagai generasi penerus untuk tidak mudah menerima segala hal yang bertentangan dengan kita. Berani untuk berhadapan, mengkritik, dan melawan atas dasar kemanusiaan dan kebenaran. Pada hari ini, pertentangan Mail yang nyatanya menghidupkan bara perjuangan masyarakat pulau Bunguran untuk melawan penjajah sampai Letnan Engels mampu dikalahkan. Dan berkat perjuangan Mail itu pula, kita bisa meminjam semangat itu untuk melawan siapa dan apa saja yang menyerang pulau Bunguran hanya untuk keuntungan sepihak.
Untuk membentengi diri penjajahan intelektual (pikiran), kultural (perilaku), kita sepatutnya berusaha mencintai daerah kita sendiri dengan bermacam cara.
Mengenang 79 tahun Mail
Ranai, 4 Januari 2020
Sumber:
Anwar. 70 tahun. Wawancara pribadi.
M. Kandul. 80 tahun. Wawancara pribadi.
B.M. Syamsuddin. (tidak diketahui). Catatan Sejarah. Pemberontakan Opstan Geplap In De Teyd van Oorlog (Pemberontakan Waktu Perang) di Pulau Natuna. (tidak diterbitkan)