SAMPAI setakat ini pembangunan yang dilaksanakan cenderung lebih ditekankan pada aspek ekonomi. Alasan utama yang umumnya dikemukakan adalah untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat seluruh negeri. Oleh sebab itu, segala kuasa dan daya yang ada dikerahkan dan dicurahkan untuk mengejar kemajuan ekonomi. Kalau aspek lain dari pembangunan manusia dilibatkan juga, itu cenderung agar terkesan bahwa semua aspek beroleh porsi. Diksi kesejahteraan terasa begitu sakral dan menjadi alat pembenaran untuk mengutamakan pembangunan ekonomi dibandingkan aspek lain, yang sepertinya dianggap tak berkaitan dengan pemenuhan keperluan manusiawi.
Malangnya, banyak pula program pembangunan ekonomi yang diandalkan, tetapi sebagian besar gagal, bahkan ada pula yang gagal total. Pasalnya, pembangunan itu seyogianya bersifat holistik. Program pembangunan ekonomi yang didewakan, justeru, tak akan membuahkan hasil yang diharapkan karena kealpaan pada aspek lain, yang juga sangat diperlukan untuk menggerakkannya, terutama aspek budaya. Malangnya, tak jarang terjadi aspek budaya itulah yang paling kurang diperhatikan dalam implementasi pembangunan walau sebagai bumbu retorika politik untuk menarik perhatian rakyat, pembangunan kebudayaan, konon, mendapat perhatian yang cukup signifikan.
Pembangunan mengandalkan manusia sebagai pelakunya. Pelaku pembangunan tak berada dalam keadaan hampa atau kosong sebagai benda mati. Manusia adalah subjek yang hidup dan kehidupannya itu secara terwaris menganut serangkaian nilai budaya. Manusia pelaku pembangunan itu memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
Nilai-nilai budaya itu pada tataran perseorangan mewujudkan sikap mental yang menjadi penggerak pembangunan, tak kira pembangunan agama, ekonomi, politik, ataupun pembangunan sosial lainnya. Dengan demikian, tak heranlah bahwa pembangunan yang mengabaikan aspek budaya dapat dipastikan menuai kegagalan. Jadi, janganlah terlalu heran jika ternyata pembangunan infrastruktur ekonomi seperti jalan raya, jembatan megah, pelabuhan laut, dan sebagainya yang tergolong berusia muda boleh rontok seketika seperti mainan kanak-kanak, kalau tak mau disebut laksana kerupuk. Penyebabnya peringatan Tuhan yang hanya sekadar saja seperti bencana alam biasa, seperti banjir seketika, bukan yang luar biasa seperti tsunami, misalnya.
Mengapakah kesemuanya itu terjadi? Untuk menjadi subjek pembangunan, manusia tak hanya memerlukan kemahiran, keahlian, ilmu-pengetahuan, dan teknologi. Lebih daripada itu, masih diperlukan unsur utama berupa tata nilai sebagai pedoman berperilaku dan pemacu semangat bekerja. Keahlian serta penguasaan sains dan teknologinya mungkin cukup baik, tetapi kalau tata nilai yang dianutnya negatif terhadap kualitas kerja; hasilnya pastilah kegagalan, kalau tak sampai mengundang malapetaka.
Sikap mental keropos akan menghasilkan “jalan raya keropos”, “jembatan keropos”, dan “pelabuhan keropos” walaupun manusia yang terlibat dalam pengerjaannya memiliki keahlian serta menguasai sains dan teknologi canggih. Apa bedanya dengan ahli politik yang menyelewengkan tujuan bersih politik? Padahal, semestinya kesemuanya itu didarmabaktikan untuk kesejahteraan bersama. Akan tetapi, itu tadi. Lemahnya penghayatan dan penerapan nilai-nilai budaya berpengaruh sangat signifikan pada sikap mental para pelaksana pembangunan.
Tata nilai yang dipedomani oleh manusia adalah sistem nilai budaya yang sangat abstrak. Ianya berupa konsepsi-konsepsi yang hidup di dalam pikiran sebagian besar masyarakat tentang hal-hal yang dianggap baik dalam hidup manusia (Kuntjaraningrat, 1985). Sistem nilai budaya itulah yang mengatur perilaku manusia pada peringkat yang lebih konkret dalam bentuk aturan-aturan khas, hukum, norma, dan adat-istiadat dalam pelbagai bidang kehidupan manusia.
Nilai budaya yang bersifat kolektif itu tumbuh di dalam diri manusia dari masyarakat budaya itu secara perorangan. Itulah yang disebut mentalitas. Jadi, mentalitas manusia secara individual itu bersumber dari sistem nilai budaya di dalam masyarakatnya. Jika sistem nilai budaya bersifat kolektif masyarakat, mentalitas bersifat individual atau dan perorangan.
Wujud yang lebih konkret sistem nilai budaya terdapat dalam kebiasaan, adat-istiadat, aturan-aturan khusus, norma-norma, dan hukum. Manusia yang tak terdedah kepada unsur budayanya, katakanlah adat-resam masyarakatnya, tentulah tak mampu mengambil nilai-nilai baik dan positif dari budaya itu untuk menjadi bagian dari mentalitas pribadinya. Dalam keadaan seperti itu, dia menggunakan orientasi nilai yang tak sesuai dengan tata nilai yang berlaku di dalam masyarakatnya dan atau tak cocok untuk pembangunan.
Katakanlah sikap mental dalam bekerja asal pekerjaannya selesai saja dan demi keuntungan materinya, tanpa mementingkan kualitas hasilnya. Dia tak pernah mau memikirkan dampak pekerjaannya itu bagi lingkungannya, baik lingkungan sosial (manusia) maupun alam. Dari pelaku pembangunan seperti itu hanya akan ditemukan kegagalan pembangunan. Bahkan, bukan tak mungkin berdampak bagi wujudnya nestapa kemanusiaan yang berkepanjangan.
Ilustrasi di atas menjelaskan betapa pelaku pembangunan memerlukan kesadaran budaya. Dengan kesadaran itu, dia diharapkan dapat menghayatinya untuk menjadi bagian dari mentalitasnya. Pada gilirannya, dia pun menjadi peka akan keperluan mutu pembangunan di dalam masyarakat budaya tempatnya hidup dan menghidupinya. Alhasil, nilai-nilai budaya memberikan kontribusi positif pada upaya pembangunan yang bermutu sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Jika yang dimaksudkan itu pembangunan ekonomi, maka pembangunan itu memang menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat dan atau rakyat.
Tak pernah ada situasi statis, tetapi keadaan terus berubah. Seiring dengan itu, sistem nilai budaya pun harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan supaya tetap segar dan terpakai. Dengan demikian, tata nilai budaya itu tetap mampu menjadi penuntun perilaku pelaku pembangunan untuk menggunakan orientasi nilai yang terdapat di dalam budayanya, nilai-nilai budaya Melayu misalnya di kawasan berbudaya Melayu. Dalam konteks ini, budaya harus menjadi sasaran pembangunan, yang berbeda dengan perian di atas yaitu perannya sebagai penggerak pembangunan.
Upaya-upaya pembangunan kebudayaan meliputi pengekalan (pelestarian), pembinaan, dan pengembangannya. Semua upaya itu, terutama pengembangannya, dilakukan untuk meningkatkan kualitas budaya agar sanggup terus berkembang sesuai dengan kehidupan yang pasti berubah karena perkembangan zaman. Dalam menghadapi perubahan itu diperlukan orientasi nilai baru agar cabarannya dapat dihadapi dengan cepat dan tepat. Nilai-nilai baru itu, melalui upaya pembangunan kebudayaan, tak terlepas dari akar budayanya, tetapi mampu beradaptasi dengan perubahan. Pada gilirannya, kebudayaan terus berkembang dan tak luntur sehingga nilai-nilainya dapat menjadi pedoman secara berterusan.
Dalam kaitannya dengan pembangunan, kebudayaan yang berperan sebagai penggerak dan kebudayaan yang menjadi sasaran pembangunan sesungguhnya bersifat timbal-balik. Pembangunan memerlukan kebudayaan karena manusia yang menjadi penggerak pembangunan itu memiliki sikap mental tertentu yang bersumber dari sistem nilai budayanya. Sikap mental itulah yang menentukan kualitas pembangunan yang dihasilkannya.
Sebaliknya pula, kebudayaan mestilah menjadi sasaran pembangunan (pembangunan kebudayaan) supaya tetap terpelihara, terbina, dan berkembang untuk terus dapat berperan dalam pembangunan. Pembangunan kebudayaan memungkinkannya tak mati sehingga dapat terus memberikan kontribusi terhadap orientasi nilai dalam pembangunan segala bidang kehidupan manusia.
Sesungguhnya, dorongan murni untuk membangun adalah kepuasan untuk mencapai hasil karya yang bermutu dan bermanfaat bagi kehidupan. Hal itu bermakna membangun bukan sekadar untuk bertahan hidup, apatah lagi sekadar menumpuk kekayaan, mengejar kedudukan, memburu kehormatan, dan atau merangkul kekuasaan. Orientasi nilai budaya yang baik untuk memahami dan menikmati hikmah itu sangat diperlukan. Yang pasti, semua bangsa maju di dunia ini melaksanakan karya pembangunan berdasarkan pemikiran positif yang boleh dibanggakan. Dan, itu bukanlah kerja asal-asalan.***