
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia adalah bagian yang tak terlepaska dari sejarah transportasi udara di Tanjungpinang dan Kepulauan Riau setelah Indonesia merdeka. Oleh karena itu, sejarah berulang kembali, histoire se repete kata orang Prancis, apabila maskapai penerbangan nasional itu kembali membuka jalur penerbangan Jakarta – Tanjungpinag dan sebaliknya pada 3 Juli 2013. Mengapa?
Setelah ditelusuri, ternyata jauh sebelumnya, maskapai penerbangan nasional yang lahir sebagai bagian dari perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu, telah pernah hadir di Tanjungpinang sejak awal tahun 1950-an dan bertahan hingga awal 1980-an.
Mula-mula, armada Garuda Indonesia hadir di Tanjungpinang sebagai kelanjutan jaringan penerbangan dari Tanjungpinang ke Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan sebaliknya yang telah dimulai oleh pemerintah kolonial Belanda melalui KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij N.V.), yakni maskapai penerbangan milik Kerajaan Belanda dan aktifitas penerbangan yang dioperasikan oleh bagian penerbangan Angkatan Laut Kerajaan Belanda sejak tahun 1929.
Ketika itu, satu-satunya lapangan terbang di Kepulauan Riau hanya terdapat di Dabo-Singkep milik perusahaan tambang timah Singkep, Singkep Tin Maatschappij. Oleh karena Tanjungpinang ketika itu belum mempunyaai lapangan terbang, maka KLM menggunakan pesawat-pesawat amfibi jenis Dornier Wall-booten dan Catalina yang dapat mendarat dan tinggal landas di air: landasan pacu dan tempat pendaratannya memanfaatkan perairan antara Tanjungpinang dan Pulau Penyengat.
Setelah pengakuan kedaulatan, jalur penerbangan amfibi ke Tanjungpinang yang dirintis oleh KLM ini dilanjutkan oleh maskapai penerbangan Garuda Indonesia dengan menggunakan pesawat amfibi jenis Catalina. Namun demikian, pada 19 Juli 1954 jalur penerbangan amfibi-Catalina ke Tanjungpinang yang dipertahankan oleh Garuda Indonesia akhirnya dihentikan setelah melakukan sebuah penerbangan bersejarah dengan membawa rombongan Proklamator, Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang melakukan kunjungan kerja ke Tanjungpinang, Pulau Penyengat, dan Pulau Midai di kawasan Pulau Tujuh, pada bulan April 1954.

Penutupan jalur penerbangan amfibi Garuda Indonesia itu, bukanlah akhir dari sejarah dunia penerbangan dan transportasi udara di Tanjungpinang. Sekitar enam bulan setelah bulan Juli 1954, armada Garuda Indonesia kembali hadir di Tanjungpnang dengan layanan yang baru. Tidak lagi menggunakan pesawat amfibi yang mendarat di laut, akan tetapi telah menggunakan pesawat konvensional yang mendarat di sebuah lapangan terbang yang baru dibuka pula.
Kehadiran armada Garuda Indonesia untuk keduakalinya di Tanjungpinang pada bulan Februari 1955 ini sangat penting dan bersejarah, karena sejak saat itu jaringan transpotasi undara di Tanjungpinang terus berlanjut hingga ke hari ini.
Peristiwa bersejarah itu, bersamaan dengan peresmian pembukaan Lapangan Terbang Bintan (Vliegveld Bintan) yang kini bernama Bandara Internasional Raja Haji Fisabilillah oleh Menteri Perhubungan (Minister van Verbindingen) dr. Andnan Kapau Gani (A.K. Gani) dan Resident Riau Z.A. Komala Pontas pada 2 Februari 1955.
Tepat dua hari kemudian (4 Februari 1955), pesawat garuda pertama medarat di lapangan terbang baru Tanjungpinang. Jenisnya bukan lagi amfibi-Catalina, akan tetapi pesawat berbaling-baling ganda jenias De Havilland Heron Aircraft buatan Inggris. Setelah itu secara berturut-turut ditukar dengan pesawat DC 3-Dakota pada tahun 1970-an, dan Foker 27 Twin Otter pada awal 1980-an.
Peresmian pembukaan bandar udara baru di Tanjungpinang ini adalah adalah bagian dari pembanguan jaringan transportasi udara dalam program pemerintahan Presiden Sukarno. Dalam peristiwa bersejarah ini, antara lain hadir Menteri Pekerjaan Umum (Openbare Werken) Mohamad Hasan, Sekjen Menteri Perhubungan Ir. Satoto, Direktur Perhubungan Udara (Directeur van de Burgerluchtvaart) Ir. Sugoto, Bupati Kepulauan Riau, pejabat di Kabupaten Kepulauan Riau ketika itu, dan sudah tentu President-Directeur Garuda Indonesia Airways (G.I.A.) yang juga dijabat oleh Ir. Sutoto.
Lapangan terbang baru tersebut dibangun di lokasi pembangan lapangan terbang militer yang telah dirintis oleh pemerintah Pendudukan Jepang di Tanjungpinang sejak tahun 1942. Proyek pemerintah pendudukan Jepang ini lama terbengkalai dan ditinggalkan setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tahun 1945.
Setelah penyerahan kedaulatan, Pemerintah Republik Indonesia melanjutkan ‘proyek’ itu. Penyelidikan kelayakannya mulai dilakukan pada tahun 1952, dan pembukaan lahan dilakukan mulai tahun 1953. Sedangkan pekerjaan pembangunanya dilakukan oleh Biro Karpi berdasarkan kontrak kerja dengan Kementrian Pekerjaan Umum dan Energi (Miniterie van Openbare Werken en Enegie) PADA bulan Juli 1954, dan selesai pada 4 Oktober 1954.
Dengan landasan pacu sepanjang 1.100 meter dan lebar 30 meter, pembangunan lapangan terbang ini mengahabiskan biaya sebesar $ 600.000,- Straith Dollar (dollar Malaya). $ 50.000,- untuk pembukaan lahan, $ 500.000 pembangunan lapangan terbang, dan $ 50.000,- untuk konstruksi bangunan pendukung.
Dalam pidato peresmiannya, Mentri Perhubungan A.K. Gani, juga menyampaikan bahwa lapangan terbang itu akan segera ditambah panjangnya menjadi 1.200 meter dan menambah area parkir pesawat seluas 100 meter untuk mencukupi standart International Civil Aviation Organisation (I.C.A.O), dengan biaya sebesar $ 2.000.000,-
Ketika Garuda Indinesia membuka kembali jalur penerbangan ke Tanjungpinang pada 3 Juli 2013, maka sesungguhnya itu adalah peristiwa yang ketigakalinya dalam sejarah penerbangan di Tanjungpinang pasca kemerdekaan. Seperti kata orang Prancis, histoire se repete, sejarah itu telah berulang kembali dalam ruang dan waktu yang lain.***