Salah seorang pengkaji pantun bernama Philip L. Thomas dalam sebuah makalahnya yang berjudul Phonology and Semantic Suppression in Malay Pantun (1985) menjelaskan bahwa di dalam pantun terdiri dari empat baris yang tersusun secara berpasangan.
Pasangan pada baris pertama disebut dengan “Pembayang Maksud”, dalam istilah lain yang ditulis oleh Philip L. Thomas disebut dengan “Pendahulu Niat” atau foreshadower of intention yang mendeskripsikan tentang alam. Kemudian Philip L. Thomas (1985) melanjutkan penjelasannya, di dalam pasangan baris kedua disebut dengan “Maksud” atau Niat. Philip L. Thomas (1985) kemudian menjelaskan bahwa pasangan ini memiliki persajakan atau rima dengan notasi ABAB.
“Pembayang Maksud” atau lebih sering dikenal dengan Sampiran memang merupakan bagian dari sebuah pantun yang biasanya tertulis pada baris pertama dan kedua dalam sebuah pantun yang terdiri dari empat baris, sementara baris ketiga dan keempat itulah “Maksud” atau lebih sering dikenal dengan isi pantun.
Namun apa sebenarnya hubungan antara “Pembayang Maksud” dengan “Maksud” dalam sebuah pantun. Seorang pengkaji pantun, Muhammad Haji Salleh pernah mengutip pendapat Za’ba dan kemudian ditulis oleh Eizah Mat Hussain (2019) di dalam sebuah bukunya berjudul “Simbol dan Makna dalam Pantun Melayu” menjelaskan bahwa,
“…jika pantun yang cukup elok boleh dilihat pembayangnya mengandungi maksud pantun itu dengan cara kias dan bayangan disambilkan kepada gambaran-gambaran alam dan sebagainya. Tujuan yang dimaksud itu telah ada terbayang disitu, tetapi nada terang seolah-olah sengaja ditudung…” (Za’ba, 1965; Salleh, 2006; Hussain, 2019).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa “Pembayang Maksud” juga merupakan bagian yang menentukan apakah sebuah pantun itu baik dan indah. Pendapat di atas jelas mengatakan bahwa pantun yang elok itu adalah ketika “Pembayang Maksud” dapat menjadi representasi dari “Maksud” pantun itu, itulah yang menurut pendapat di atas, sebuah nada yang sudah terang namun sengaja ditudung atau disembunyikan.
Hal itu juga yang menyebabkan bagian “Pembayang Maksud” disebut dengan “Pembayang” yang membayangi “Maksud” atau meminjam istilah lain Philip L. Thomas sebagai “Pendahulu Niat”, dimana penulis pantun “mendahulukan niat atau isi pantun yang ingin disampaikan pada bagian “Pembayang Maksud” dalam sebuah pantun yang disampaikan. “Maksud” yang sebenarnya terkandung di dalam pantun tersebut sudah akan terlihat di dalam “Pembayangnya” namun sengaja ditudung, dan akan diterangkan seterang-terangnya di dalam “Maksud” pada sebuah pantun.
“Pembayang Maksud” juga sering dituangkan dalam metafora atau kiasan alam dan sebagainya yang dapat mewakili makna “Maksud” pantun tersebut. Mari perhatikan pantun berikut.
Berpada-pada menanam padi
Jangan pula ditebas orang
Berpada-pada menanam budi
Karena mata di anak orang
Pantun di atas, memiliki “Pembayang Maksud” yang berbunyi “berpada-pada menanam padi/jangan pula ditebas orang”. Arti dari “Berpada-pada” adalah melakukan sesuatu yang tidak berlebihan (KBBI, 2021). Sementara kata “Padi” pada “Pembayang Maksud” diambil menjadi simbol alam yang akan menggambarkan “maksud” pantun itu nantinya. Padi bagi orang Melayu bukan saja sebagai bahan makanan utama, malah telah menjadi sebagian daripada kehidupan yang merupakan ciri nyata dalam kebudayaan masyarakat Melayu.
Kata “Padi” ialah perkataan asli dalam bahasa Melayu yang dapat ditemukan dalam pepatah seperti “ada padi semua kerja boleh jadi, ada beras semua kerja menjadi deras, kalau tiada padi semua kerja tak jadi dan bukan tanah menjadi padi” (Azis, 2010; Hussain, 2019). Maka dengan demikian, begitu pentingnya padi bagi kehidupan masyarakat Melayu.
Dikarenakan begitu pentingnya padi, maka kita harus menanamnya pada tempat yang tepat, dan tidak berlebih-lebih.
Misalnya upaya penanaman nya dilakukan dengan mengambil lahan atau tanah orang lain, yang akibatnya bisa saja padi yang begitu penting, akan dirusak orang, diambil orang atau pun di tebas orang.
“Pembayang Maksud” di dalam pantun ini mencoba menjadi “Pendahulu Niat” yang akan tertuang dalam “Maksud” pantun dengan menampakkan suatu makna peringatan dari penutur pantun kepada khalayak ramai yang mendengarkan atau membaca pantunnya.
Sehingga “Maksud” pantun juga memiliki makna yang serupa dengan “Pembayang Maksud” yaitu berbunyi “Berpada-pada menanam budi/karena mata di anak orang”. Bunyi persajakan “Padi” dan “Budi” menjadi persamaan rima pada baris pertama dan ketiga yang memiliki makna yang hampir serupa.
Budi merupakan sikap yang dapat diartikan berbuat baik kepada orang lain. Budi juga salah satu daripada norma hidup yang begitu dipentingkan dalam budaya masyarakat Melayu. Masyarakat Melayu melihat rupa dan paras jiwa itu berbentuk budi, yaitu suatu pribadi yang mengandungi akal dan rasa (Zainal King, 1995; Hussain; 2019). Budi juga dipandang sebagai sikap rendah hati seseorang kepada orang lain (Hussain, 2019).
Maka dengan demikian, budi sama pentingnya dengan padi, sehingga di dalam pantun ini, pada “Pembayang Maksud” dan “Maksud” menggunakan metafora Padi yang menjadi pembayang makna atau pendahulu niat untuk menyampaikan sesuatu yang berguna dan penting seperti Budi.
Kata yang tertuang di dalam “Maksud” pantun di atas juga menggunakan kata “Berpada-pada” yang mengandung makna bahwa dalam menebar budi atau kebaikan ataupun kerendahan hati harus dilakukan juga tidak dengan berlebih-lebihan, ibarat dalam sebuah pepatah Melayu “jangan di lebih nasi dari sudu” karena sesuatu yang berlebihan akan menimbulkan suatu perkara yang tidak baik.
Sehingga di dalam pantun di atas berbunyi “karena mata di anak orang”, makna salah satu baris pada “Maksud” pantun ini yaitu; apa yang kita lakukan harus sewajarnya atau berpada-pada karena bisa jadi penilaian orang lain akan bermacam-macam, ada yang menilai baik atas perbuatan baik kita, atau akan ada orang lain yang akan menilai sebaliknya atas kebaikan kita tersebut, maka lakukan kebaikan dengan “berpada-pada” yaitu tidak berlebih-lebihan.
Itulah salah satu pantun yang “Pembayang Maksud” benar-benar menjadi “Pendahulu Niat” atas niat yang akan tertuang dalam “Maksud” pantun sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Di situlah salah satu letak keelokan dan keindahan pantun dimana “Pembayang Maksud” mengandung “Maksud” pantun itu dengan nada yang seolah terang namun sengaja ditudung. Bahkan di dalam pantun antara “Pembayang Maksud” dan “Maksud” terdapat yang keduanya memiliki persamaan makna dan keduanya sama-sama dikiaskan dengan bukan makna sebenarnya. Perhatikan pantun berikut.
Kutimang timang si anak kucing
Rupanya mencakar ketika besar
Kusayang sayang bunga disunting
Rupanya pagar memakan akar
Pada pantun di atas, “Pembayang Maksud” mengunakan metafora “anak kucing” yang dapat diartikan sebagai sesuatu yang comel atau lucu dan diminati banyak orang.
Begitu juga pada “Maksud” pantun menggunakan metafora “bunga” yang dapat dimaknai dengan sesuatu yang cenderung indah dan harum serta diminati banyak orang khususnya kaum hawa.
Di dalam “Pembayang Maksud” mengandungi makna bahwa penutur pantun melakukan perbuatan yang sangat baik yaitu “menimang-nimang” namun balasan yang diperoleh tidak setimpal, begitu juga makna dalam “Maksud” pantun yang juga mengandung makna telah melakukan perbuatan “menyayangi” bunga namun pada akhirnya hasilnya juga tidak setimpal, dimana bunga akarnya rusak terkena pagar.
Pada “Pembayang Maksud” memang menjadi pembayang makna pada “Maksud” yang sama-sama bermakna yaitu suatu perbuatan baik yang sudah lama dan susah payah dilakukan namun pada akhirnya mendapatkan balasan yang tidak setimpal. Metafora di dalam pantun ini senada dengan apa yang disampaikan Za’ba (Ahmad, 2017) bahwa metafora di dalam bangsa Melayu selalu di kiaskan kepada perkara lain yang memiliki makna yang bukan makna sebenarnya, dan di situlah letak keelokan sebuah pantun.
Penulis adalah Pemantun Pemecah Rekor MURI Berbalas Pantun selama 6 Jam di TIM Jakarta tahun 2008, Narasumber bengkel pantun, dewan juri lomba peraduan pantun dan penulis buku berjudul Pantun (terbit tahun 2018), 500 Pantun Pemilu-Editor (Terbit Tahun 2019), Khazanah Negeri Pantun (terbit tahun 2020).