
SETELAH melewati suka-duka menumpang sebuah perahu yang sempit dan penuh sesak dengan barang-barang, manusia, dan berbagai jenis unggas, serombongan anak muda Cina dari Singapura tiba di labuhan Tanjungpinang pada bulan Oktober tahun 1905.
Belum sempat perahu yang mereka tumpangi menurunkan jangkarnya pada tempat berlabuh yang terletak beberapa ratus yards dari pantai Tanjungpinang, seperti biasa, perahu mereka telah dikerumuni oleh para penambang sampan dengan teriakan khasnya.
Dalam beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah dermaga kayu yang terletak disamping sebuah suak sungai. Lalu melangkah di sepanjang lorong batu beraspal, dan kemudian melitasi jalur jalan utama di pasar kota lama Tanjungpinang. Maka bermulalah tiga puluh enan jam pertualangan mereka di Kota Tanjungpinang. Anak-anak muda itu menjelajahi sudut-sudut Tanjungpinang tahun 1905. Menikmati kemeriahan Tanjungpinang waktu malam, dan mengunjungi istana Sultan Riau-Lingga di Pulau Penyengat.
Apa saja yang mereka saksikan dan alami? Kita beruntung, karena Bun Yip, salah seorang anak muda dalam rombongan itu, mencatat kisah pertualangan mereka selama tiga puluh enam jam di Kota Tanjungpinang, yang kemudian dipublikasikan dengan judul Thirty-six Hours in Rhio dalam surat kabar The Straits Times, bulan Oktober 1905. Berikut ini adalah petikan beberapa bagiannya yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
***
Wayang Cina
Karena sepinya, Kota Tanjungpinang bagaikan terlelap di waktu siang. Namun sebaliknya di kala malam tiba, ia bangkit dari tidurnya, seperti kami lihat ketika mengunjungi kota itu untuk kedua kalinya.
Penduduk tempatan hilir mudik, riuh-rendah bagaikan lebah; ratusan lampu yang dinyalakan mempercepat datangnya malam. Berbagai macam suara yang aneh memenuhi ruang udara. Semua tempat bertukar-ganti menjadi sebuah pentas hiruk pikuk beraneka ragam adegan.
Tepat di tengah-tengah alu-alun kota adalah sebuah panggung wayang Cina dengan sebuah pementasan, diiring suara monoton pukulan alat musik gong yang tiada henti. Ramainya penonton dan apresiasi yang mereka perlihatkan adalah sebuah sanjungan bagi para pemainnya.
Semua kedai (stalls) terang-benderang, dan di sana biasanya ada banyak tempat untuk penjaja makanan, buah-buahan, tembakau, mainan, dan seribu satu macam kemungkinan yang menyenangkan hati orang yang berkulit cokelat dan kuning (orang Melayu dan Cina).
Di sana juga ada bar biliar (billiard saloons), tempat anak muda yang banyak uang berkumpul. Sementara itu di sekitar tungku perapian yang tenang di alun-alun, sejumlah orang ikut mabuk-mabukan dihibur oleh pembacaan sebuah sebuah hikayat oleh seorang Cina berkacamata.
Penekanan dramatisnya dan perubahan nada suara ketika ia membacakan hikayat itu cukup lama mencuri perhatian kami, meskipun dalam kenyataanya kami tak mengerti kata per kata yang dibacanya.
Bandar Judi
Pertunjukan ringan lainnya juga ada, namun permainan judi ala Cina adalah sebuah daya tarik yang nyata.
Kelompok demi kelompok berkumpul mengitari lenteranya sediri, hening, penuh semangat, dan tenang. Permainan terus belangsung tanpa jeda; taruhan diletakkan, mangkok penutupnya diangkat dan tukang hitung menghitung satu, dua, tiga atau empat, dengan pengulangan yang monoton.
Para pemainnya berasal dari kelas para kuli (coolie class). Taruhannya, hampir tanpa terkecuali, adalah uang tembaga. Jika salah seorang di antaranya kalah dan modalnya habis, yang lain siap sedia menggantikannya.
Hampir tak ada sepatah kata yang diucapkan, kecuali jika sesekali perselisihan muncul. Namun semua itu segera berakhir setelah terjadi sedikit adu mulut; bagi mereka waktu terlalu berharga untuk dibuang-buang dalam berbicara.
Sekali-sekali seorang tauke (towkay) turun berjalan-jalan di sepenjang jalan itu dan memungut upeti dari para bandar: Ia mengumpulkan uang sewa dari mereka yang menggunakan beranda rumah tokonya atau pengelola permainan judi.
Semua itu adalah pemandangan yang menarik. Malam telah larut ketika kami tinggalkan tempat itu dan mereka mereka masih kuat seperti sebelumnya.
Pulau Penyengat
Setelah sarapan pagi kami menyewa sebuah sampan dan menyeberang ke sebuah pulau kecil yang letaknya sekitar setengah mil dari Kota Tanjungpinang. Butuh setengah jam perlayaran bersama semilir hembusan angin.
Di Pulau Penyengat ini, Sultan Riau punya sebuah istana. Ia menghabiskan hampir sebagian besar waktunya di pulau ini ketimbang di ibu kota kerajaannya di Pulau Lingga, yang letaknya sekitar delapan jam perlayaran menggunakan kapal uap dari Kota Tanjungpinang.
Pulau ini sangat kecil dan hampir di seluruh bagiannya dibanguan berbagai bentuk tempat tinggal orang Melayu. Bangunan yang terbesar adalah bagian yang tak terpisahkan dari istana Sultan.
Sejumlah bangunan yang ada di sana telah ditinggalkan dalam keadaan setengah jadi. Berhampiran dermaga pendaratan di pulau ini adalah sebuah jalan kecil tempat kedai-kedai milik orang Cina.
Kami berjalan keliling pulau itu hingga hujan mulai turun dan kemudian kami singgah ke istana Sultan di Pulau Penyengat. Kami kecewa tak dapat bertemu karena Sultan tidak berada di tempat; satu jam sebelumnya mungkin kami dapat bertemu dengan beliau. Namun sayangnya beliau telah pergi berpesiar dengan perahu, dan diperkirakan belum kembali hingga petang.
Namun demikian, seorang tua pembesar istana mengundang kami untuk masuk dan melihat-lihat ke dalam istana Sultan Riau, sembari ia bercerita kepada kami dengan stengah-stengah.
Istana Sultan
Istana Sultan yang menyenangkan ini letaknya menghadap laut, dan dari luar tampak cukup bersahaja. Namun di dalamnya anda akan menemukan ruang perjamuan indah yang paling mewah, dalam gaya Barat (in western style).
Di ruang resepsi itu terdapat hiasan dinding. Dan langit-langitnya diperkaya dengan kilauan cahaya lampu kraun (chandeliers) yang tergantung. Dindingnya berhiaskan cermin panjang yang bersinar, dan sejumlah foto serta gambar yang tak terhitung jumlahnya.
Banyak perabotan yang tak berguna, namun mutu dan pengerjaannya halus: ada divan atau dipan (bangku panjang yang rendah), meja untuk bermain kartu (card-tables), baju besi (armour), meja tulis (escritoires), spesimen porselin yang indah, dan lain-lain yang berlimpah.
Kebanyakan dari barang-barang dan perabotan tersebut adalah buatan Belanda. Sebuah patung perunggu Ratu Wilhelmina, yang menempati posisi sentral dalam sebuah ruangan, menambahkan petunjuk kesetiannya kepada Belanda.
Di ruang musik di istana itu, ada sebuah piano besar merek Erard (Erard grand piano) lengkap dengan peralatan dan sejumlah alat musik lainnya. Yang mencolok di ruangan ini adalah sebuah lukisan-cat minyak sultan sebelumnya dan pemerintah saat ini.
Sultan yang memerintah saat ini (Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah), kabarnya telah berpergian ke berbagai tempat dan dapat berbicara dalam berapa bahasa, kecuali bahasa Inggris.
Sudah kami duga bahwa alat-alt musik itu adalah bagian dari band pribadinya yang sempat kami dengar ketika mendekati istananya, dan Sultan sendiri adalah seorang pemain piano (pianist) yang piawai.***