Pemandangan rumah Orang Kaja (Datuk Kaya) Serasan,lengakan dengan baleinya di Kampong Ajer Sekian (Kampung Air Sekian) di Pulau Serasan tahun 1896. Repro sebuah foto lawsa karya A.L. van Hasselt dan H.J.E.F. Schwartz. (dok. aswandi syahri)

Bulan Februari hingga awal bulan Maret 1896, Resident Riouw A.L. van Hasselt dan kontroluer Tanjungpinang J.J.E.F. Schwartz, serta Raja Ali Kelana yang dititahkan oleh Yamtuan Muda Riau X Raja Muhammad Yusuf, melakukan pelayaran inspeksi bersama ke kawasan Pulau Tujuh yang terletak di Selatan Laut Cina.

Menurut Raja Ali Kelana, pelayaran inspeksi bersama itu dilakukan bersempena “… memperiksa dan mensiasat hal ikwal di Pulau Tujuh di sebelah Lautan Cina yang [berada] dibawah kuasa dan naung kerajaan Lingga-Riau serta daerah takluknya”.

Selama pelayaran inspeksi bersama ini, masing-masingnya membuat catatan dan pengamatan menggunakan ‘kacamata’ berbeda, dan kemudian dipublikasikan. Raja Ali Kelana menghasilkan laporan yang kemudian diterbitkan di Pulau Penyengat dengan judul, Bahwa Inilah Cetera Yang Bernama Pohon Perhimpunan Pada Menyatakan Peri Perjalanan, pada 1897.

Sementara itu, A.L. van Hasselt dan H.J.E.F. Schwartz membuat pula sebuah laporan yang dipublikasikan dalam bahasa Belanda dengan judul, De Poelau Toedjoeh In Het Zuidelijke Gedeelte der Chineesche Zee [Pulau Tujuh di Bagian Selatan Lautan Cina].

Laporan A.L. van Hasselt dan H.J.E.F. Schwartz tersebut mula-mula dipublikasikan sebagai artikel dalam sebuah jurnal ilmiah perhimpunan geografi,Tijdschrift van Het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap,  yang terbit di Leiden tahun 1898. Pada tahun yang sama, laporan A.L. van Hasselt dan H.J.E.F. Schwartz itu dikemas dan diterbitkan pula sebagai sebuah buku oleh Boekhandel en Drukkerij di Leiden.

Berikut ini adalah terjemahan beberapa catatan A.L. van Hasselt dan H.J.E.F. Schwartz ketika mereka menyinggahi Pulau Serasan, setelah sebelumnya berkunjung ke Pulau Subi, seperti dimuat dalam laporan yang diterbitkan sebagai sebuah buku tersebut.

***

Dari Pulau Subi, haluan kapal diarahkan ke Selatan dimana terletak kelompok pulau-pulau Serasan (Serasangroep), yang dalam dalam peta-peta pelayaran disebut pulau-pulau bajak laut (Zeerooverseilanden). Dari bebebrapa pulau yang ada dalam kelompok pulau-pulau ini, hanya pulau utama (Pulau Serasan) yang penting, meskipun beberapa pulau lainnya juga dihuni dan dibudidayakan.

Pulau Srasan sendiri, pada mulanya terlihat seperti dua pulau, keduanya bergunung,  dan dihubungkan oleh formasi batu karang (koraalvorming) yang terangkat ke permukaan. Gunung Kota, yakni gunung berbatu yang terletak di bagian Barat Laut, terhubung dengan sebidang tanah berawa yang bagian Selatannya luas, dimana di arah Baratnya terletak sebuah teluk yang luas namun dangkal.

Disanalah kapal uap kami labuh jangkar; pemandangan teluk di pulau itu menakjubkan dan bagus, terutama sekali ketika kami melihatnya setelah badai menyibak gumpalan awan, dan panoramanya seolah-olah menunjukkan keindahannya kepada kita secara tiba-tiba.

Dengan seorang batinTeberian (kepala delapan belas keluarga orang laoet yang tinggal disana) sebagai pemandu, kami berkayuh di teluk itu dan mencapai Kampong Ajer Sekian (Kampung Air Sekian) yang terletak di sebuah sungai yang sempit, setengah jam kemudian.

Di sebelah kanan kami pulau pulau-pulau Tandjoeng Selemang, Moetoes, dan Poelau Besar yang diseliputi rimbunan hutan. Di belakangnya terletak Perajoen Besar dan Perajoen Ketjil. Kemudian kami melewati Pulau Semarap yang sangat kecil. Namun adakalanya kapal uap berlayar pada sebuah selat yang memisahkannya dengan Pulau Serasan yang disliputi rimbunan pohon kelapa. Sebuah pulau yang menurut cerita orang tua-tua adalah pulau ibu (moedereiland).

Pulau yang terakhir itu perlahan-lahan melandai ke laut.  Sejumlah puncaknya meninggi, dan nama-nama puncak itu tercatum pada sketsa yang telah kami gambar di atas kapal uap Flamingo. Di sebelah kiri adalah gunung Datoeq Gemoek (Datuk Gemuk) yang juga diseliputi  padang rumput dan rangkain pohon kelapa, dimana diatasnya, di kejauhan mencuat pucak Gunung Pajak.

Dekat rimbunan pohon bakau, dengan hamparan karang yang membentuk pantai tempat dimana kami berdayung kearah Gunung Pajak, berlabuh lima perahu besar dan tiga perahu kecil. Kesemuanya dalah perahu dagang yang datang dari Bandjermasin (Banjarmasin), Sambas, Pontianak, dan Serawak, dan agak jauh di anak sungai terdapat lima buah perahu yang sedang dipakal (ditambal menggunakan lilitan tali dan dempul khusus perahu).

***

Perkampungan di tempat ini, yang letaknya di kedua sisi anak sungai ini, terdiri dari rumah-rumah yang letaknya tersebar, termasuk rumah Orang Kaja (Datuk Kaya) yang bentuknya termegah dan terbesar. Bentuk rumah Orang Kaja itu membujur, atapnya dibagi tiga bagian (bersusun tiga), dan letaknya bersebelahan dengan bangunan lain, yang disebut balei, yaitu bangunan tempat kami diterima, dan oleh pemimpin setempat digunakan juga sebagai tempat pertemuan dan ruang sidang.

Serasan diperintah oleh dua Orang Kaja, dijabat secara turun temurun oleh menantu laki-laki dan ayah mertuanya, yang tugasnya adalah mengumpulkan pajak dari dua distrik yang telah dibagi.

Sementara itu urusan pengadilan dilakukan bersama-sama, dan dalam urusan pemerintah mereka dibantu pula oleh Imam yang juga bergelar hakim, serta empat orang penghoeloe atau kepala kampung (kamponghoofden) yang bertugas mengadili perkara-perkara yang kurang penting.

Tak ada perbedaan antara pajak penduduk di Poelau Pandjang dan juga disini, dimana orang laoet wajib mematuhi pajak hasil laut yang ditetapkan secara sewenang-wenang oleh para pemimpinnya.

Jumlah penduduk Serasan tahun 1896 kurang lebih 600 jiwa, termasuk 22 orang laki-laki dan 3 orang perempuan yang telah menunaikan haji.

Dua tahun yang lalu (1894), berkecamuk wabah kolera yang ganas di pulau ini. Akibatnya, lebih dari dua ratus orang meninggal dunia.

***

Perdagangan, industri, dan pertanian hampir sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang dari pulau-pulau yang lain di kawasan Pulau Tujuh. Namun demikian, hasil dari kebun kelapa yang luas dalam beberapa tahun terakhir sangat buruk. Akibatnya, tidak hanya ekspor kopra berkurang, tapi juga produksi gula kelapa yang cukup penting hampir harus dihentikan secara signifikan.

Usaha penangkapan bilis, ikan kecil berwarana keperakan dengan panjang 3 hingga 4 centimeter dan muncul tiap tahun dalam jumlah yang banyak, adalah sumber mata pencarian utama penduduk.

Di perkampungan, kami melihat juga sejumlah pohon cengkeh dan pala, dimana sebagian besar dari produksinya dipergunakan untuk untuk konsumsi setempat.

Rumah-rumah penduduk, semuanya rumah panggung, sederhana: sebagian masih berdinding anyaman daun sagu atau tikar yang terbuat dari daun nipah yang didatangkan dari Borneo (Kalimantan) dan bertapkan daun sagu. Beberapa rumah diantaranya, menggunakan sirap (terbuat dari sejenis kayu yang disebut belian) yang harganya di daerah Kenawei dekat Serawak adalah $ 18 per 10.000 keping dan $ 60 per 10.000 keping di Sambas.

Ternak yang ada terdiri dari sejumlah kerbau, kambing, dan unggas. Sementara itu, pelanduk liar, tupai, dan tikus begitu banyak ditemukan.

Penggunaan opium hanya terbatas kepada beberapa orang Cina, termasuk oleh seorang tukang emas, dan oleh sedikit orang Melayu.***

Artikel SebelumKisah Pelayaran Ke Riau Tahun 1832
Artikel BerikutMenyusuri Sungai Daik Melihat Istana Sultan Lingga Tahun 1853
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

2 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan