
GEORGE WINDSOR EARL adalah mualim dan pelaut Inggris yang banyak menulis buku tentang Kepulauan Nusantara. Ia lahir di London 1813, dan mangkat di 1865. Nama G.W. Earl dikenal sebagai pencipta terminologi ‘Indu-nesian’ untuk menyebut Kepulauan Nusantara yang kemudian dopopulerkan dan digunakan sebagai nama Indonesia.
Sebagai pelaut, ia adalah pengelana yang akrab dengan dunia bahari yang terbentang antara Singapura dan Batavia. Karya-karya tentang Kepulauan Nusantara, umpamanya, telah mengilhami pemikiran dan teori Alfred Russel Wallace tentang sebaran fauna di Kepulauan Nusantara.
Tahun 1832-1833-1834, George Windsor Earl berkelana ke wilayah yang kini disebut Indonesia. Dalam pelayaran yang panjang tersebut, ia juga singgah ke Tanjungpinang yang ketika disebut juga Riau, pada 31 Desember 1832. Pada tahun 1837, kisah pelayaran terbut dipublikasikan dalan bentuk buku dengan judu, The Eastern Seas, or Voyages and Adventures In the Indiana Archipelago In 1832-33-34.”
Kisah pelayarannya ke Riau atau Tanjungpinang yang diterjemahkan ini adalah bagian dari Chapter IV bukunya yang berjudul, Voyage From Java to Singapore. Inilah kisahnya.
Memasuki Selat Riau
Setelah terombang-ambing selama beberapa hari melawan angin yang berlawanan arah, pada tang 31 kami memasuki bagian sempit dari Selat Riau, dan pada tanggal 2 Februari membuang sauh di seberang sebuah kota Belanda yang juga bernama Riau (Tanjungpinang), di pulau Bintan.
Bagian dari selat ini, tempat di mana kota tersebut terletak, semuanya tampak bagaikan sebuah telaga di pedalaman. Di sekitarnya terdapat sejumlah pulau kecil berwarna kehijauan, dihiasi dengan rumah-rumah penduduk setempat yang didirikan di atasnya. Di tengah-tengahnya terdapat hamparan pepohonan sejenis pisang yang besar dan pokok buah-buahan lainnya; sesekali sebuah sampan kecil mungkin telihat mengarungi lautan dari arah belakang pulau-pulau itu dan berhenti menghampiri kota.
Tidak kelihatan aktivitas perdagangan di kota itu. Sebuah kapal yang tampak sunyi labuh jangkar dekat kota, namun tak seorangpun tampak beraktivitas di geladaknya; dan sebuah dermaga kayu yang panjang hanya disibukkan oleh orang-orang pribumi awak perahu perang milik Belanda, yang dengan malas memperbaiki layarnya.
Bertemu Kapitan Cina
Saya telah diperkenalkan oleh kapten kapal yang saya tumpangi kepada seseorang yang selalu saya dengar dengan sebutan terhormat, Ban Ok, Kapitan Cina yang ramah dan baik serta tidak membeda-bedakan semua orang yang datang menghampirinya. Tak membedakan baik negeri asal atau warna kulit.
Kami dapat tahu ia tinggal di gudangnya, mengawasi pengepakan sejumlah keranjang gambir, dengan seorang pembantu yang bekerja meletakkan sebotol Hodgson’s, sejenis bir yang keras, dan sejumlah gelas pada bagian atas sebuah karung goni, untuk hiburan bagi dua orang Belanda yang terhormat, yang ada bersamanya saat itu.
Ban Ok, seorang yang gemuk, seorang lelaki yang kelihatannya punya rasa humor yang baik, maju ke arah kami, dan setelah satu sama lain berjabatan tangan dengan tulus, ia mempersilakan kami duduk dan mengambil botol bir (ale) yang lain.
Ketika kami mengambil munuman itu, ia mulai membicarakan urusannya, dan, karena kapten mempunyai beberapa keranjang tembakau untuk dijual, sebuah kesepakatan akhirnya dapat dicapai, dan sebuah perahu dikirim ke geladak kapal untuk mengambil barang-barang itu.
Ia kelihatan tersinggung ketika kami tidak dapat tinggal untuk makan malam bersamanya, namun ketika ia tahu bahwa dirinya memaksa kami untuk tetap tinggal, penganan ringan tengah hari disuguhkannya untuk hiburan kami.
Ban Ok, sebagaimana kemampuannya, adalah seorang yang kaya: ia seorang pedagang yang terpenting di Riau (Tanjungpinang). Bagian terbesar hasil-hasil yang berasal dari pulau-pulau ini dikeluarkan melalui tangannya.
Setelah singgah lebih kurang dua jam kami pun pamit. Ban Ok memohon agar kami menganggap rumahnya seperti rumah kami sendiri, dan mengharapkan agar kami kembali mengunjungi Riau.
Benteng
Apa yang disebut sebagai Pulau Bintan, sebenarnya terdiri dari kelompok beberapa buah pulau, yang mempunyai selat-selat yang dapat dilayari.
Beberapa tahun yang lalu, ketika bajak laut Ladrone dari daratan Cina coba meneror laut ini, sebuah armada besar mereka, yang dipimpin oleh orang-orang Spanyol yang membelot, dan tiba-tiba muncul di kota Tanjungpinang melalui salah satu dari selat ini, banyak membunuh penduduk setempat, menawan sisa daripadanya, yang kemudian menurunkan derajatnya menjadi budak.
Namun sekarang kota Tanjungpinang itu telah dilindungi dengan baik, sebuah benteng yang kuat dibangun diatas puncak sebuah bukit di dekatnya, yang secara efektif mencegah terulang kembali petistiwa yang sama.
Labuhan Riau
Kawasan pedalaman Pulau Bintan telah diolah dengan baik oleh sekelompok besar orang-orang Cina yang gigih berusaha, (dikatakan bahwa jumlah mencapai empat puluh ribu orang, namun belum ada sensus jumlah penduduk yang dlakukan), yang memiliki perkebunan lada dan gambir yang luas. Hanya sebagian dari produksinya dikirim ke Singapura melalui bagian Utara pulau ini.
Kawasan labuahan kapal di Riau (Tanjungpinang) telah dibuka sebagai pelabuhan bebas, dengan sebuah visi untuk mendorong penduduk asli kepulauan itu mengunjunginya guna menjual hasi alamnya. Namun program ini gagal, karena semua kapal-kapal masyarakat setempat yang berasal sebelah Timur mengabaikannya dan beralih ke Singapura, yang hanya 40 mil jauhnya dari pelabuhan Riau (Tanjungpinang}.
Namun demikian pembebasan pajak pelabuhan di kawsan labuhan Riau tidak dengan sendirinya menyebabkan orang pribumi mengunjungi pelabuhan Riau (Tanjungpinang), karena para pedagang yang gigih berusaha juga dibutuhkan.
Jumlah penduduk bangsa Eropa keseluruhannya terdiri dari individu-individu yang terdiri dari pegawai pemerintah, dan tak seorang pun pedagang Eropa yang menetap di sana.
Perdagangan kecil-kecilan dimiliki oleh kampung-kampung. Terutama dilakukan oleh orang Jawa. Sejumlah perahu pribumi tiba setiap tahunnya dari pulau itu membawa beras untuk keperluan penduduk setempat, yang ditukarkan dengan gambir.***