
TULISAN ini diterjemahkan dan dikemas semula dari bagian-bagian bab berjudul Riouw, yang terdapat dalam buku bertajuk Neerlands-Oost-Indie Reizen, karya pendeta Dr. Steven Adriaan Buddingh.
Buku berbahasa Belanda yang terdiri dari 3 jilid tebal ini (terbit secara berturut-turut pada 1859-1860-dan1861) berisikan catatan dan kisah-kisah penulisnya selama mengunjungi lebih dari 40 kota dan pulau-pulau di Hindia Belanda (Kepulauan Indonesia) pada tahun 1852 hingga tahun 1857.
Pada 8 September 1854, Dr. Steven Adriaan Buddingh bertolak menuju daerah Residentie Riouw yang ketika itu berpenduduk 23.334 jiwa. Tiga hari kemudian, 11 September 1854, ia tiba di Riouw (Tanjungpinang) ibu kota Residentie Riouw.
Selama berada di Riouw (Tanjungpinang), Dr. Steven Adriaan Buddingh menjadi tamu resmi Resident T.J. Willer dan diterima di rumah keresidenan yang besar (Gedung Daerah), yang letaknya berdepan-depan dengan bangunan Masjid empat menara yang terletak pada pulau di seberangnya, Pulau Penyengat.
Di Riouw (Tanjungpinang) Dr. Buddingh menjelajahi sudut-sudut ibu kota keresidenan itu, bertemu dengan komunitas bangsa Cina yang beragama nasrani dan Kapitannya. Ia juga mengamati berbagai hal berkenaan dengan potensi alam, dan mengunjungi sisa reruntuhan ibukota kerajaan Johor yang lama di Hulu Riau bersama Resident T.J. Willer.
Selain itu, Resident T.J. Willer juga membawa Dr. Buddingh mengunjungi Yamtuan Muda Riau VIII, Raja Ali Marhum Kantor (1844-1857), di istananya yang besar dan indah di Pulau Penyengat, yang disebut oleh orang Belanda ketika itu sebagai eiland Mars (Pulau Mars).
Ada beberapa hal menarik yang dicatat Dr. Buddingh selama mengunjungi Pulau Penyengat, terutama sikap dan keramahan Yamtuan Muda Raja Ali Marhum Kantor yang menjadi perhatiannya. Inilah laporan tangan pertama dari seorang Eropa yang pertama kali mengunjungi seorang raja Kerajaan Melayu Riau-Lingga pada pertengan abad ke-19.
Berikut ini adalah sekelumit catatan Dr. Steven Adriaan Buddingh ketika ia mengunjungi Yamtuan Muda Riau Raja Ali Marhum di Pulau Penyengat pada tahun 1854.
***
Pada tanggal 26 September 1854, saya dibawa oleh ‘tuan rumah saya’, yaitu tuan Resident Riouw, mengunjungi Yamtuan Muda Riau di Pulau Mars ( Pulau Penyengat), yang terletak sekitar setengah milj dari Riouw (Tanjungapinang). Yamtuan Muda itu bermastautin di sana, dan memerintah Riouw dan Pulau Bintang (Bintan) sebagai daerah takluk Lingga atas nama Sultan Mahmud Muzafarsyah.
Yamtuan Muda Raja Ali (Raja Ali Marhum Kantor), yang beberapa hari lalu telah saya lihat di Riouw (Tanjungpinang), menerima kedatangan kami di Dalm-nya (Dalam, bahasa Melayu lama untuk istana) yang besar dan indah, dengan penuh kesopanan dan memuaskan.
Seorang Haji bangsa Arab (een Arabische hadjie) atau ulama, adalah satu-satunya orang yang mendampingi ketika Yamtuan Muda Riau itu menyambut kedatangan kami.
Suasana percakapan kami pun menjadi hidup, dan saya merasa senang. Saya juga dapat berbicara dengan lancar karena belajar bahasa Melayu-Tinggi selama 16 bulan tinggal di Maluku. Dan oleh karena itu, Tuan Resident T.J. Willer, dan Yamtuan Muda Riau serta ulama besarnya yang berbicara dalam bahasa bahasa Melayu Sumatra, dengan mudah memahami, dan saling memahami dengan baik.
Yamtuan Muda Raja Ali segera menyadarinya. Ketika beliau mengungkapkan rasa terkejutnya, saat saya berbicara dalam bahasa Melayu-Tinggi, dan ia bertanya, sudah berapa lama saya mempelajarinya. Karena, saya yang baru saja tiba di Riouw, tidak mungkin mengetahui bahasa Melayu murni Kepulauan Riau. Beliau bertanya telah berapa lama saya tinggal di Sumatera.
Dalam jawaban saya, saya katakan bahwa saya belum pernah berada di Sumatra. Beliau tampak lebih terkejut. Mungkin hal itu karena ketidaktahuan beliau bahwa, semua Radja atau para Bupati (Regenten), dan Guru-Guru di Maluku berbicara dan saling mengirim surat dengan orang-orang Eropa dalam bahasa Melayu-Tinggi.
Sang ulama, seorang bangsa Arab yang berasal dari golongan yang tinggi dan sopan, adalah seorang yang cerdas, dan tampaknya kurang fanatik dibanding yang lainnya, dan memimpin ranah hukum dengan hati nurani.
Singkatnya, kami telah melakukan sebuah percakapan yang lebih bermakna dari biasanya yang terjadi dalam kunjungan resmi seperti itu. Dan ketika kami berpisah karena waktu tak lagi mengizinkan, Yamtuan Muda mengungkapkan rasa penyesalannya.
Ungkapan ini ditunjukkan kepada kami dengan sangat hormat dan ramah, dan bukanlah suatu kesantunan yang polos dan tata krama istana yang harus dipatuhi. Ketika kami beranjak, beliau mengantarkannya hingga ke ambang batas pintu istana, dan sang ulama besar itu menemani kami jauh hingga ke luar istana.
Sepanjang perjalanan saya melihat lebih dekat kotta (pagar tembok atau benteng) istana anak negeri, yang mengelilingi Dalm (Dalam atau istana) kerajaan, masjid dengan 4 menara yang dindingnya diplaster putih (hare wit-gepleisterde muren), serta rumah-rumah anak negeri.
Ketika mengamati pulau itu dari pantai Riouw (Tanjungpinang), seperti melihat sebuah pertunjukan tonil yang indah; sebuah pertunjukan yang lebih menarik dari pertunjukan tonil yang sesungguhnya. Karena, pulau kecil Mars ( Pulau Penyengat) dengan boekit yang ada di situ, dan kotta yang bergaya amphitheaters, yang menempel pada lereng bukit, dimahkotai oleh menara pintu gerbang utama istana dan mesjid 4 menara yang dindingnya diplaster putih.
Vegetasi di sekitar kompleks istana ini sangat rendah. Hanya terdapat beberapa batang pohon yang terletak berselang-seling di antara dinding pagar istana dan rumah-rumah di dalamnya. Lebih jauh ke arah utara, di sekitar lereng bukit hingga ke daerah pesisir pantai, vegetasinya lebit lebat, dan kampong yang terletak di ujung utara pulau ini sepenuhnya tersembunyi dalam kerimbunan yang hijau.
Diantara kampoeng di sebelah utara dan kotta atau istana Yamtuan Muda yang terletak di sebelah Selatan atau Tenggra ini, terletak sebuah sebuah pangong bamboo (panggung bambu) berkubah yang menjorok ke laut, tinggi, dan terus dikunjungi penduduk Riouw dari waktu ke waktu, untuk menikmati pemandangan indahnya sambil menghirup udara laut yang segar.***