Kawasan Labuhan Daik yang terletak di sekitar Kuala Sungai Daik dan Pulau Kelombok menurut peta laut Kepulauan Riau-Lingga abad 19. (dok: aswandi syahri)

Tulisan ini adalah terjmahan laporan pandangan mata G.F. De Bruyn Kops, letnan Angkatan Laut Belanda, yang menggunjungiDaik yang disebutnya kampung besar, ibu kota Kerajaan Lingga-Riau di Pulau Lingga, pada zaman pemerintahan Sultan Mahmud Muzafarsyah (1841-1857)

Untuk sampai ke Daik, Bruyn Kops tidak melalui Tanjung Buton seperti sekarang.Kapalnya berlabuh di labuhan antara Kuala Sungai Daik dan Pulau Kelombok, lantas menyusuri Sungai Daik menggunakan perahu. Sejak memasuki Kuasa Sungai Daik ia mencatat apa yang dilihatnya di sepanjang aliran sungai itu: Kampung Cina, Kampung Bugis, dan kompleks Istana Sultan Lingga yang semuanya berada di tepi Sungai Daik.

Laporan pandangan mata ketika ia megunjungi Negeri Daik ini adalah bagian dari sebuah laporan panjangnyasetelah mengunjungi beberapa kawsan penting di Kepulauan Riau-Lingga pada pertengan abad 19. Mula-mula laporan ini di publikasikan dalam bahasa Belanda dalam jurnal Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (Batavia, 1853).

Terjemahanlaporam tentang kunjungan ke Daik-Lingga yang disuguhkan dalam Kutubkhanah ini adalah bagian dari edisi bahasa Inggris laporanG.F. De Bruyn Kops  yang dipublikasikan dalam The Journal of The Indian Archipelago (Singapore,1854).

***

 Sungai Daik

Kampung Daik (campong Dai, sic), ibukota kerajaan Lingga-Riau, terletak di pulau Lingga, agak ke bagian hulu dari muara sungai, yang juga disebut Daik (Dai, sic), yang terbentang di kaki gunung, dan kemudian terus menjulur hingga ke laut di bagian Utara sekitar labuhan di depan Pulau Kelombok (Klombo, sic).

Daik adalah sebuah kampung besar dengan pemukiman yang luas pada kedua sisi sungai kecil. Dekat ke muara sungai itu, terdapat sekitar sepuluh pondok reyot milik nelayan.

Agak sedikit ke dalamnya, barulah pemandangan kampung itu dimulai. Mula-mula kami mencapai Kampung Cina (Chinese campong) di tebing sebelah kanan, dengan pasar ikan dan rumah-rumah kedai kecil untuk menjual pakaian dan barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Seperti di Tanjungpinang, rumah kedai-kedai itu adalah tempat-tempat dibawah sebuah beranda tertutup. Lantai bangunan rumah-rumah ini, terdiri dari belahan batang nibung, yang terletak kira-kira dua kaki diatas tanah.

Aga sedikit kedalam lagi, pada kedua sisi sungai itu itu kami menemukan beberapa rumah orang Bugis, yang dapat dikenali dari banyaknya hiasan dengan ukiran, dan dari atapnya yang tinggi, tumpang tindih antara satu dengan lainnya.

Selepas itu, kami menemukan kampung orang Melayu, kebanyakankan rumahnya dalam keadaan menyedihkan dan rusak, dikelilingi oleh pohon-pohon kelapa yang tumbuh setinggi 6  kaki dari permukaan tanah.

Di sini segala sesuatunya memperlihatkan ketidakteraturan dan kemalasan masyarakatnya; pohon-pohon tumbang, tidak pernah dipindahkan, semua sampah rumah tangga menumpuk dan berada di bawah rumah mereka, di mana-mana rumput tumbuh meninggi dan alang-alang tumbuh diantara pohon-pohon, menjadi saksi mata kecilnya kemauan untuk berbuat sesuatu pada sebagian masyarakat, melakukan sesuatu untuk meningkatkan kondisi tempat tinggal mereka.

Istana Sultan

Dalam, atau istana Sultan Lingga terletak lebih jauh kedalam, di sebelah kanan tebing Sungai Daik.

Sebuah dataran yang luas, yang sebagiannya dikelilingi oleh sebuah tembok, ditutupi oleh berbagai bangunan tempat tinggal. Beberapa diantaranya dari batu, namun kebanyakannya dari kayu.

Sebuah pintu gerbang menandakan jalan masuk ke bagian dalam, tempat dimana bunda Sultan, istrinya, gundik, para pelayan, dan sebagainya tinggal. Di hadapan tempat tinggal Sultan sendiri, terdapat  sebuah balai besar yang terbuat dari kayu, dengan beranda ganda menglilinginya: yang satu lebih rendah dari lainnya.

Di depan balai terdapat pula sejumlah meriam tembaga dan besi pada kereta kecil yang ditarik kuda. Kendati meriam ini hanya sekali-sekala digunakan untuk penghormatan, kondisinya bagaikan tidak berguna. Kadang-kadang mencelakakan orang yang menembakannya.

Perkalangan

Bentangan jalan yang melintasi kampung, pada tahun sebelumnya telah diperbaiki dengan menimbun pasir. Sebelum itu jalan tersebut adalah lobang-lobang lumpur, karena hujan setiap hari.

Terdapat pula sebuah mesjid dari batu yang letaknya tidak jauh dari Dalam atau istana Sultan. Dengan pengecualian beberapa rumah para bangsawan dan kepala-kepala, semua rumah tinggal beratap daun.

Lalu-lintas terpadat terdapat di Sungai Daik.  Secara teratur kami melihat sampan untuk penumpang, dan juga sampan air, yang mengangkut air minum dari daerah yang lebih tinggi di hulu, untuk dijual di daerah lebih rendah, daerah tebing-tebing berlumpur dimana tidak terdapat air yang dapat diminum.

Lalulintas  sungai sedikitpun tidak terhambat oleh padatnya perahu di sungai itu. Umumnya terdiri dari perahu tob (tope, sic) dan penjajab. Pada saat air pasang dalam, perahu-perahu ini hanyut ke hulu dan kemudian merapat pada kedua sisi tebing sungai. Jika sebuah perahu harus diperbaiki atau tidak digunakan untuk beberapa waktu, ia diletak pada dok kering (dry docks), yang disebut perkalangan.

Untuk keperluan ini, sebuah lobang yang memotong serong ke kanan dibuat di tebing sungai, selanjutnya perahu atau kapal ditarik ke dalamnya. Bagiaan yang terbuka di tepi sungai kemudian ditutup dengan membuat dam yang terdiri dari dua deretan tiang-tiang kayu yang diisi tanah diantara keduanya.

Selanjutnya air dibuang keluar. Perahu itu ditegakkan di atas beberapa potongan kayu sehingga setiap bagiannya terangkat. Kami menyaksikan banyak perahu diletakkan dengan cara seperti ini.

Rumah Baru Sultan Lingga

Sekitar satu mil (mile, sic) dari Dalam (Istana),  sebuah rumah sedang dibangun untuk Sultan (Mahmud Muzafarsyah), can dimaksudkan sebagai tempat untuk rekreasi dan bersunyi-sunyi sekali-sekali. Rancang bangunnya telah disiapkan di Singapura, namun dananya tidak cukup dan bangunan telah didirikan, sehingga rumah itu masih jauh dari sempurna.

Di daerah Lingga, Singkep (Sinkep, sic) dan pulau-pulau lainnya, kami menemukan kampung di mana-mana, yang mirip satu sama lain dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya.

Sekumpulan rumah, umumnya terletak berdekatan satu sama lain, tanpa aturan, kadang-kadang dikelilingi oleh pagar (paggar, sic). Jika rumah seorang kepala konsekwensinya ia harus mempunyai sebual balai (balei, sic) di depan rumahnya. Jika tidak, ia hanyalah rumah seorang masyarakat biasa.

Dimana-mana, kampung-kampung dibangun dekat sungai. Tidak ditemukan jembatan, sehingga masyarakat harus menyeberanginya dengan perahu atau mengarunginya. Jaringan jalan tidak lebih dari sebuah jalan setapak yang kecil, dimana masyarakat selalu menyingkap lututnya ketika berpapasan dengan lumpur.***

Artikel SebelumDatuk Kaya dan Penduduk Pulau Serasan Tahun 1896
Artikel BerikutRamadan yang Terindah
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan