Dalam naskah Hikayat Hang Tuah yang berusia lebih dari lima abad, dikisahkan sang laksamana dilahirkan dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di sebuah kawasan bernama Sungai Duyung. Tapi, Sungai Duyung yang mana? Apakah yang di Melaka, di Bintan, atau di Lingga?

Teks & Foto Fatih Muftih

BENAN adalah pulau pemberhentian pertama MV Oceanna Dragon, kapal cepat yang membawa saya dari Tanjungpinang ke Lingga, Kamis (25/3/2021). Dalam sehari, hanya ada dua jadwal. Saya memilih yang paling pagi karena pelayaran bisa memakan waktu 4—5 jam, sehingga saya bisa tiba di pelabuhan Jagoh saat langit Singkep sedang manja-manjanya.

Saya melongok ke jendela. Ada penumpang naik dan turun. Tapi, tidak saya jumpai yang saya cari: penjaja makanan. Melewatkan sarapan adalah tindakan tak terpuji yang membuat alun di luar kapal pindah ke dalam perut.

“Nanti di Rejai baru ada yang jual pemakan,” kata Rendra merespons ucapan saya bahwa Pop Mie yang dijajakan dalam kapal hanya menggelitik lambung.

Rejai masih dua jam di depan. Seharusnya tidur bisa melipat waktu, namun nyaris mustahil dilakukan dalam kondisi ‘kampung tengah’ melompong kosong. Obrolan. Ini mesin waktu satu-satunya agar Rejai bisa lekas tiba di depan mata.

Rendra Setyadiharja adalah dosen yang unik. Minatnya menyala-nyala di bidang kebudayaan, sementara kepakarannya di atas kertas adalah ilmu pemerintahan. Ia adalah lulusan magister di perguruan tinggi negeri elite di Yogyakarta. Jadi jangan heran jika cara berpakaiannya necis dan rambutnya tersisir klimis dan cara bicaranya manis. Maka jika Rendra disanding-sejajarkan dengan saya, saya adalah antitesa sempurna dari Rendra. Satu kesamaan yang membuat kami berlayar ke Lingga adalah permintaan Dato Rida K Liamsi untuk bertindak sebagai pemandu diskusi pada Seminar Internasional Kesejarahan: Hang Tuah dan Jejak Sejarahnya, di Gedung Nasional, Dabo Singkep, esok pagi.

“Awak ‘dah baca semua materi dari pembicara?” tanya Rendra.

Seperti yang saya bilang, kami adalah antitesa. Rendra adalah pribadi sistemis. Malam sebelum keberangkatan, ia mengaku sudah membaca lebih dari separuh makalah seminar dan tinggal beberapa lagi sudah kelar. Sementara saya—yang instingtif—baru membolak-balik dan membaca ala kadar, itupun lebih sering langsung ke bagian ikhtisar.

Bukan maksud saya bermalas-malasan dalam mempersiapkan diri sebagai pemandu seminar. Hanya saja, saya kurang suka membaca dokumen dalam format digital. Apalagi beratus-ratus halaman seperti yang terangkum dalam modul seminar ini. Mata saya mudah lelah dan pedas. Kalau dipaksakan, takut ada yang terlewat dari materi-materi penting dan itu bukan sesuatu yang baik buat seorang moderator. 

Mangga di pohon berbuah ranum,
petik sekantung bawa ke pekan.
Pedas di lidah bisa dibawa minum, 
pedas di mata hendak diapakan? 

Rencana saya: membaca seluruh materi dalam format cetak yang sudah tersedia di Dabo Singkep. Semalaman—dan ditemani secangkir kopi—adalah kesempatan yang melimpah untuk menikmati bentangan makalah dari Prof. Mohd Haji Salleh, Dr. Mu’jizah, Taufik Ikram Jamil, Prof. Madya Abdul Malik, Prof. Madya Dr. Rohaidah Kamaruddin, John N. Miksic, Dr. Anastasia Wiwik Swastiwi, Prof. Susanto Zuhdi, dan pemaparan hasil ekspedisi di Bintan dan Lingga.

Maka atas pertanyaan Rendra, saya sampaikan jawaban aman: “Baru baca garis besarnya saja, sih.”

Sebab Rejai masih jauh lagi dari mata, kami menghabisi waktu lewat diskusi tipis-tipis perihal Hang Tuah. Hitung-hitung sebagai upaya membangun kekompakan kami untuk memandu diskusi sehari penuh besok.

Bagi saya yang seorang Jawa, nama Hang Tuah tidak sepopuler Patih Gajahmada. Nama wira Melayu ini kali pertama saya dengar saat anjangsana ke Surabaya. Seorang kawan mengenalkan diri sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Hang Tuah. “Baru setelah bekerja di Tanjungpinang,” kata saya pada Rendra, “Aku jadi lebih akrab dengan Hang Tuah daripada Gajahmada.”

Rendra tertawa. Kacamatanya sampai naik-turun. Menurutnya, saya lambat kenal. Saya mendengus dalam hati, “Lebih baik lambat kenal, daripada tidak sama sekali.”

Kalau saya bisa mengenang masa kali pertama mendengar Hang Tuah, tidak halnya Rendra. Dalam keyakinannya, Hang Tuah tidak pernah terpisahkan dari orang Melayu, bahkan sejak lagi budak-budak. Epos ini diceritakan di rumah, di sekolah, di televisi, di mana-mana. Dalam cerita lisan, pertunjukan teater tradisional, film layar lebar, dalam ragam bentuk. Bahkan dari siaran televisi kanal Malaysia yang ditontonnya, Rendra menyebut ada beragam versi. “Yang P. Ramlee, awak nonton tak?” tanyanya.

Lagi-lagi jawaban aman yang meluncur: “Cuma sepotong. Adegan ketika Hang Tuah berkelahi dengan Hang Jebat di dalam rumah. Itu saja, sih.”

Dari hasil pembacaan saya, Hang Tuah memang telah hidup dalam alam pikir orang Melayu. Entah sejak bila. Naskah paling purba yang menyebut Hang Tuah ada dua: 1) Sulalatus Salatin; dan 2) Hikayat Hang Tuah. Latar waktu dua naskah ini berkisar sebelum abad ke-16 atau sebelum kejatuhan kerajaan Melaka lewat invasi Portugis.

Waktu bergulir. Penguasa berganti. Teknologi berkemajuan. Berabad-abab berbilang. Hang Tuah tetap satu dan hidup dalam alam pikir orang Melayu. Ketahanan Hang Tuah terhadap zaman adalah bukti tak terbantahkan betapa sosok wira ini tak tergantikan bagi orang Melayu. Tetapi, Melayu yang mana?

Rendra tercekat mendengar pertanyaan itu. Ia membenarkan posisi duduknya dan menarik jaketnya, yang telah dijadikan selimut sedari tadi, hingga ke leher. Suhu di dalam kapal sedingin kamar hotel bintang dua.

“Melayu serantau,” jawab Rendra diplomatis tanpa terkungkung politik geografis yang menjadikan serantau itu tiga negara: Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Makamnya, konon ada di Melaka. Tapi, di Hikayat, juga disebutkan ia pernah hidup di Bintan untuk belajar. Sedangkan soal kampung halamannya, disebutkan Hang Tuah semasa kecil tinggal di Sungai Duyung.

“Sungai Duyung pun masih diperdebatkan. Apakah yang di Melaka, Bintan, atau Lingga,” ucap Rendra. Itu mengapa, sambung dia, seminar besok akan membantu kita melihat lebih jernih dan memahami lebih jauh perihal fakta-fakta sejarah yang berkutat dalam pusaran hidup Hang Tuah.

“Tapi, kalau balik ke pertanyaan awak tadi, saya rasa Hang Tuah milik bersama. Tidak sebagai negara, tapi sebagai budaya. Orang Indonesia dan orang Malaysia boleh sama mengakui Hang Tuah adalah heronya. Karena kesejarahannya memang bertalian erat,” beber Rendra dengan bahasa khas dosen yang mengajar di kelas dan saya adalah mahasiswa yang cerewet.

“Kayaknya engkau lebih cocok jadi dosen sejarah Melayu, Ren,” saya meledek.

Kami berdua tertawa di antara para penumpang yang sebagian banyak sudah terlelap. Rejai belum lagi tampak dalam jangkauan. Pertanda masih jauh pula pemakan yang akan menenangkan ombak di lambung kami—eh, lambung saya saja. Saya menunda lapar dengan merokok sebatang di buritan. Rendra melipur dengan membaca makalah di layar ponsel.

Adalah benar: Kami memang sepasang antitesa. (bersambung)

Artikel SebelumRamadan yang Terindah
Artikel BerikutWira Budaya atau Wira Sejarah?
Membaca dan berkarya di halaman Jembia Tanjungpinang Pos Minggu.

Tinggalkan Balasan