GEMA suara Wak Entol memecah di ruang pertemuan rahasia itu. Dia menatap anak buahnya satu per satu dengan sorotan mata yang tajam, berwibawa. “Kita akan mendaki sampai ke puncak bukit itu. Hanya bukit itu harapan kita untuk bertahan.”
“Itu bukit larangan, Paduka. Tak seorang pun berani mendakinya,” Mat Sengih menyela instruksi bosnya. Di dalam Geng Entol memang hanya Mat Sengih yang berani menyela atau membantah ucapan Wak Entol. Dan, kebiasaan itu kerap dilakukannya.
Mata Wak Entol melotot bagai hendak meloncat keluar. Dia memandang Mat Sengih seperti hendak menerkam orang kepercayaan utamanya itu. Mat Borak, orang kepercayaan keduanya, sangat berharap Mat Sengih dicekik sampai mati. Namun, Wak Entol hanya menggertak saja. Dia tak berani kepada Mat Sengih. Agar terlihat tetap berwibawa, dia sekadar membentak ringan saja.
“Temberang punya bos. Kau sentuh aku, mampus kau kubuat. Semua rahasia kau ada padaku. Dengan satu sentuhan lunak, semua orang kampung ini akan tahu. Kau akan dikepung dan dicencang lumat!” sumpah Mat Sengih di dalam hati.
Wak Entol tak dapat berbuat banyak, bahkan tak berkutik, terhadap Mat Sengih. Apakah rahasianya, hanya mereka berdua yang tahu persis walau di antara anggota geng itu beredar juga kabar angin. Dia hanya mampu menggertak di depan orang agar tak hilang wibawanya. Di belakang, dia selalu menghiba berharap Mat Sengih bersabar untuk menggantikannya. Sebaliknya, jika diusik, Mat Sengih akan menghancurkan pemimpinnya itu.
Tinggallah Mat Borak yang kecewa berat. Walaupun begitu, dia masih setia menanti dukunnya dapat membunuh Mat Sengih dari jarak jauh. Jika perlu, Wak Entol juga dapat dibunuh dengan cara gaib.
“Dengarkan baik-baik. Tak ada tahyul di atas bukit itu. Jangan kalian ikut kepercayaan kuno orang kampung ini. Di puncak bukit itu ada telaga ajaib yang airnya sangat bening dan senantiasa penuh, tak pernah berkurang sepanjang masa. Sesiapa pun yang dapat mandi dengan air telaga itu akan berumur panjang. Lebih ajaib lagi, air telaga itu dapat berubah menjadi apa saja sesuai dengan permohonan kita kepada penunggunya. Kita harus segera naik ke bukit itu.”
Alhasil, gagasan Wak Entol untuk naik ke bukit larangan disetujui secara aklamasi. Mufakat sudah bulat: lebih cepat lebih baik. Jadi, malam ini juga!
Semua persiapan sudah diatur, termasuk dukun. Walau tegas mengatakan tak takut, ternyata Wak Entol ngeri juga. Dukun dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan gaib di bukit itu. Orang kampung percaya, siapa yang berani naik ke bukit itu akan hilang secara misterius.
Mat Borak menggunakan rencana ketiga setelah rencana pertama dan kedua belum juga berjaya. Apatah lagi, dukun yang dipercayainya ternyata juga digunakan Wak Entol. Dengan rencana ini, dia yakin impiannya untuk memimpin Geng Entol akan tercapai.
Malam semakin pekat disertai hujan dan petir. Geng Entol lengkap, termasuk pasukan parang dan panah, bergegas menuju bukit, menembus malam yang basah. Hanya sekira setengah jam sampailah mereka persis di kaki bukit.
Wak Entol sudah membayangkan indahnya meraup keuntungan dari harta yang diperoleh di puncak bukit sesuai dengan permohonannya kepada sang penunggu. Orang-orang kampung tentu tak berani keluar rumah. Mereka tidur lebih awal karena hujan disertai angin ribut.
“Alangkah bebalnya orang kampung ini. Beruntunglah aku berada di lingkungan mereka, para animal yang lugu dan lucu!” Dia tersenyum lagi, menyeringai, lebih lebar lagi.
“Hei, Entol keparat. Katamu akan menjaga kampung ini bersama kami dan semua penduduk kampung, termasuk menjaga pantang-larangnya. Ternyata, kau pengkhianat,” suara Wak Parah melengking keras di tengah hujan malam yang semakin menggila.
Wak Parah keluar dari semak-semak bersama anak buahnya, ketua kampung, dan semua orang kampung. Bahkan, di antara mereka ada pula kanak-kanak. Rencana rahasia Wak Entol ternyata bocor.
Wak Parah musuh besar Wak Entol. Begitu mengetahui rencana Wak Entol, dia segera mengumpulkan anak buahnya. Ketua kampung dan semua orang kampung juga dikumpulkannya. Disampaikannya rencana jahat Wak Entol kepada mereka.
Hati orang sekampung terbakar mendengarkan cerita Wak Parah. Mereka berangkat sebelum gelap dan bersembunyi di semak-semak sekitar kaki bukit. Geram dan was-was berbaur di dalam diri mereka.
Terkejutlah Wak Entol tertangkap basah oleh Wak Parah dan orang sekampung. Dia tahu pasti, tentu ada di antara anak buahnya yang berkhianat. Namun, tak mau dia memikirkannya pada saat genting itu.
“Oh, baru sampai di kaki bukit ini rupanya, Saudaraku Parah. Kami kira Saudaraku telah tiba di puncak bukit. Aku mendapat laporan, Saudaraku bersama geng akan mendaki bukit ini. Sebab itu, aku berupaya mengejar untuk mencegahnya. Itu perbuatan terkutuk dan dipantangkan dalam tradisi masyarakat kita, Saudaraku.”
Wak Entol membusungkan dadanya tanda kemenangan. Dia mematut-matut diri di dalam gelap sambil tersenyum menyeringai. Tembakannya tepat ke kening Wak Parah.
Ketua dan orang sekampung mengalihkan perhatiannya kepada Wak Parah. Mereka memandang Wak Parah dengan jijik. Ada yang meludah berkali-kali karena muak melihat Wak Parah. Mereka berbalik curiga kepada Wak Parah karena suatu ketika dahulu dia pernah berusaha mendaki bukit itu. Mata panah malah dibalikkan Wak Entol ke arah Wak Parah.
“Hei, Entol pembohong dan penipu. Kalau aku berkhianat, takkan kubawa ketua dan orang kampung bersamaku. Karena kutahu rencana jahat kaulah, aku bawa mereka untuk menjadi saksi kebejatan kau.” Wak Parah geram.
“Oh, kalau begitu kita sama-sama difitnah, Saudaraku. Ada orang yang berniat jahat. Dia ingin menghancurkan reputasi kita berdua. Nama baik kita sebagai pemimpin karismatik dicemarkan orang,” jawab Wak Entol sambil mendekati Wak Parah dan langsung memeluk musuhnya itu.
“Ketua kampung dan Saudara sekalian. Marilah kita akhiri kesalahpahaman ini. Rupanya, ada orang yang berusaha memfitnah saya dan Saudara Parah. Syukurlah, bukit ini masih terpelihara. Tak ada sesiapa yang berani melanggar pantang-larang tradisi nenek-moyang kita zaman berzaman.”
Mat Borak sangat gugup menyaksikan kejadian itu. Wajahnya pucat lesi. Dia diselamatkan oleh malam pekat sehingga orang-orang tak melihat gelagatnya. Orang-orang pun sangat terpukau akan akting Wak Entol sehingga tak hirau akan kejadian lain.
Wajah Mat Borak semakin pucat. Kedua kakinya gontai letoi. Tenaganya sirna dan bibirnya bergemetar cepat.
Wak Parah menangkap kegelisahan Mat Borak. Dia mengernyitkan mata kirinya kepada anak buah Wak Entol itu. Tak ada orang lain yang melihat kode mata Wak Parah. Perlahan tetapi pasti wajah Mat Borak terasa segar dan kakinya pun tegap kembali.
Khawatir orang kampung siuman dari kebingungan, Wak Entol segera mengajak mereka pulang bergandeng tangan. Anak buah mereka di belakang membuat lurus barisan. Barisan orang-orang yang setia, konon, menjaga kampung halaman.
Di puncak sekumpulan makhluk aneh menyaksikan peristiwa di kaki bukit itu. Rencana mereka berpesta malam itu terpaksa ditunda. Mereka hanya bernyanyi dan bersiul yang disenandungkan dengan sendu mendayu-dayu. Paduannya irama slow rock dan rentak mak inang sayang klasik.
Tak ada yang tahu isi pikiran makhluk-makhluk malam yang kebal kedinginan. Mereka hanya memandang sayu dari kejauhan. Koor mereka semakin menyayat hati, “Kapan-kapan ….”***