TAK sesiapa pun berhajatkan hidup menderita. Hidup kacau-balau, zahir-batin tiada selesa. Penderitaan membuat manusia berasa bagaikan duduk di atas bara. Idealnya, manusia sangat mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Ternyata, kesemuanya itu harus bermula dari keluarga.
Kalau zahir-batin bahagia, kehidupan dijalani dengan penuh suka-cita. Seberat apa pun beban dan tanggungan akan dapat dikerjakan dengan cara yang benar, baik, dan menyenangkan. Karena perasaan senang dan pikiran tenang, pekerjaan yang berat pun menjadi ringan, menjadi mudah semudah-mudahnya.
Siapakah yang tak mendambakan kehidupan yang berseri begitu rupa? Itulah sebabnya, jika mampu meraih kebahagiaan dalam hidup, yang diawali kebahagiaan dalam keluarga, manusia bagaikan hendak hidup selama-lamanya atau membayangkan boleh hidup seribu tahun lagi. Kalau keyakinan itu disepadukan dengan kehidupan akhirat, harapan itu adalah wajar sewajar-wajarnya. Kebahagiaanlah kunci untuk meraih cita-cita dalam kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat.
Tak terlalu sukar untuk mencapai kebahagiaan hidup yang menyeluruh dan menyelaruh. Kuncinya hanya sanggup menciptakan kebahagiaan di lingkungan keluarga dan orang-orang terdekat. Pasalnya, anggota keluarga dan kerabatlah yang paling banyak berinteraksi dengan kita dalam kehidupan sehari-hari. Sesiapa pun yang sanggup membuat dirinya bahagia, mudahlah baginya menciptakan kebahagiaan dalam perhubungan dengan orang lain, apatah lagi dengan orang-orang terdekat, yakni keluarga dan para sahabat.
Raja Ali Haji rahimahullah (RAH) dalam Gurindam Dua Belas (GDB, 1846), Pasal yang Kesepuluh, memberikan kunci cara meraih kebahagiaan bersama keluarga dan orang-orang terdekat. GDB Pasal yang Kesepuluh memang berbicara tentang akhlak dan muamalah, khasnya tentang perhubungan manusia dengan orang-orang yang terdekat, sama ada kerabat ataupun sahabat. Kunci pertama kebahagiaan sejati itu terekam pada bait 1.
Dengan bapa jangan durhaka Supaya Allah tidak murka
Sesiapa pun boleh berharap dapat hidup bahagia. Untuk itu, pertama-tama, jangan menentang atau melawan bapak kita. Pasalnya, sikap dan perilaku melawan bapak menimbulkan murka Allah. Tuhan sangat benci terhadap anak(-anak) yang menentang dan atau melawan bapaknya. Kemurkaan Allah itulah sesungguhnya yang menyebabkan manusia jadi menderita. Anak yang durhaka akan jauh dari rahmat dan pertolongan Allah.
Ternyata, memang ada pedoman yang diberikan oleh Allah berkenaan dengan perkara tersebut. Petunjuk-Nya, antara lain, tersurat dalam ayat Al-Quran berikut ini.
“Dan, Tuhanmu telah memerintahkan kamu supaya jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan, “Ah!” dan janganlah kamu membentak mereka. Dan, ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia,” (Q.S. Al-Israa’, 23).
Memang, dalam perjalanan hidup ini ada kemungkinan pikiran, pendapat, pandangan, dan atau gagasan anak(-anak) tak sejalan dengan bapaknya. Bapak, misalnya, terkesan terlalu konservatif (kuno) memandang suatu masalah. Anak pula terlalu maju dalam pandangan Sang Bapak. Kesemuanya dapat terjadi karena perbedaan latar kehidupan (lingkungan, suasana, dan waktu). Orang tua hidup pada masa kini dengan kenangan masa lampau, sedangkan anak(-anak) hidup pada masa kini dengan cita-cita masa depan. Atas dasar itulah, di dalam ungkapan Melayu ada disebutkan, “Orang muda menanggung rindu, orang tua menanggung ragam.”
Dunia orang tua yang tak sama dengan dunia anak(-anak) menyebabkan munculnya perbedaan. Akan tetapi, keadaan itu tak boleh dijadikan alasan oleh anak(-anak) untuk mendurhaka kepada bapaknya. Anak(-anak), dengan segala kemampuan yang dimilikinya, seyogianya juga mampu menyenangkan hati, melegakan kerunsingan kini, lalu berbuat bakti, kepada orang tuanya.
Itulah anak yang akan menikmati kebahagiaan sejati. Dia atau merekalah anak(-anak) yang boleh dibilangkan nama. Dan, anak(-anak) dengan kualitas hebat itu jati diri, karakter, dan marwahnya akan dijulangkan oleh Allah.
Masih dalam konteks perhubungan anak(-anak) dengan orang tuanya jugalah GDB Pasal yang Kesepuluh, bait 2, berwasiat.
Dengan ibu hendaklah hormat Supaya badan dapat selamat
Di samping tak boleh mendurhaka, anak yang hendak selamat, hendak berbahagia dalam arti yang sesungguhnya, haruslah hormat kepada ibu-bapaknya. Apa pun dan bagaimanapun keadaan orang tua, kewajiban anak(-anak) adalah menghormatinya. Tak boleh terjadi, misalnya, kala orang tua kuat, sehat, dan berharta; anak-anak menyanjunginya. Akan tetapi, begitu orang tua mulai lemah, sakit-sakitan, atau bahkan tak lagi berharta; anak-anak, justeru, menganggapnya sebagai beban. Apatah lagi, anak(-anak) sampai sanggup menelantarkan kedua orang tuanya.
“Berkata Isa, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan, Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana pun aku berada, dan Dia memerintahkanku untuk (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. Dan, berbakti kepada ibuku dan Dia tak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka,” (Q.S. Maryam, 30-32).
Ayat dalam kutipan di atas merupakan pedoman bagi manusia tentang perintah Allah agar ikhlas berbakti kepada Sang Ibu. Kiranya, bukan pengetahuan yang banyak, pangkat dan jabatan yang tinggi, dan harta yang melimpah yang dapat menyelamatkan manusia.
Banyak contoh, dan setakat ini bertambah-tambah banyak pula, orang yang pengetahuannya di atas rata-rata, pangkat dan jabatannya tak ada yang menyamainya, dan hartanya tak hanya ada di dalam negeri, di luar negeri pun berlimpah ruah tak terkira. Bahkan, puluhan keturunan harta itu tak akan habis dalam taksiran manusia. Bukankah harta merupakan salah satu ujian Allah kepada manusia?
Malangnya, dia bagai hidup di atas bara, menanggung malu tiada terkira. Anehnya, dengan kekuasaan yang dimilikinya, dia selalu berupaya menyeret orang lain pula untuk menutupi angkara yang menimpa dirinya.
Tak ada artinya itu semua. Kelimpahan zahiriah itu ternyata palsu belaka. Hormat kepada ibu-bapaklah yang membuat diri selamat dalam hidup di dunia yang fana. Bahkan, ianya juga menjadi jaminan kebahagiaan hidup di alam baka. Sikap, perilaku, dan karakter hormat yang tulus kepada orang yang menyebabkan kita lahir ke dunia itulah yang membawa bahagia yang sesungguhnya. Karakter itu juga memungkinkan anak boleh dibilangkan nama. Bahkan, jati diri dan martabatnya akan menjulang selama-lamanya. Allah mengangkat martabatnya karena dia ikhlas berbakti kepada ibu-bapaknya. (Bersambung)