SULTAN Mahmud Syah I, Sultan terakhir Melaka, mangkatlah sudah adanya. Putra Baginda mendirikan kerajaan baru yang awalnya berpusat di Johor Lama. Kerajaan itu didirikan pada 1528 oleh Sultan Alauddin Riayat Syah II, putra Sultan Mahmud Syah I Melaka.
Kesultanan Melayu pasca-Melaka itu dinamakan Kesultanan Johor-Riau atau Riau-Johor atau lengkapnya Johor-Riau-Pahang-Lingga atau Riau-Lingga-Johor-Pahang. Wilayahnya meliputi Johor, Singapura, Pahang, Kepulauan Riau, dan sebagian Riau sekarang. Pada masa ini Kepulauan Riau menjadi bagian dari Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan menjadi kerajaan kedua yang menaungi wilayah ini.
Setelah sekian lama berpusat di Johor Lama, pusat Kesultanan Melayu itu dipindahkan ke Hulu Riau (kawasan Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau) pada 1678. Sejak itu, pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang berada di Hulu Riau, Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
Setelah itu, terjadi beberapa kali perpindahan pusat pemerintahan antara Johor Lama dan Hulu Riau. Baru kemudian dipindahkan ke Daik, Lingga, Kepulauan Riau, pada 24 Juli 1787 oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, yakni sultan yang berkuasa pada masa itu. Daik-Lingga menjadi pusat Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang sampai dengan 1900.
Setelah berpusat di Kepulauan Riau, tercatat dua kali terjadi perang besar-besaran Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dengan Belanda. Perang itu terjadi karena pihak Kesultanan Melayu melawan upaya Belanda hendak menjajah negeri mereka.
Pertama, Perang Riau I yang berlangsung dua tahun, 1782-1784, dengan pemimpin perangnya Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan Riau-Lingga-Johor Pahang (1777-1784). Perang berlangsung di laut Tanjungpinang dan sekitarnya sampai diteruskan ke Melaka.
Pada 6 Januari 1784 angkatan perang Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang berjaya mengalahkan pasukan Belanda di Tanjungpinang dalam suatu peperangan yang sangat dahsyat sehingga menjatuhkan banyak korban di pihak Belanda. Bersamaan dengan itu, Belanda yang kalah terpaksa keluar dari Tanjungpinang dan kembali ke markasnya di Melaka. Berkat perjuangannya yang heroik memimpin perlawanan terhadap Belanda, Raja Haji Fisabilillah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 072/TK/1997, 11 Agustus 1997.
Kedua, Perang Riau II sebagai kelanjutan dari Perang Riau I, yang berlangsung 1784-1787 dan dipimpin langsung oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761-1812). Perang ini juga terjadi di perairan Tanjungpinang dan sekitarnya dan berakhir pada 13 Mei 1787 dengan kemenangan besar pihak Sultan Mahmud Riayat Syah. Pasukan Belanda yang masih hidup dan pemimpinnya Residen Belanda di Tanjungpinang, David Ruhde, harus melarikan diri kembali ke markas mereka di Melaka dan menanggung malu tiada terkira.
Selanjutnya, sebagai strategi menghadapi Belanda, pada 24 Juli 1787 Sultan Mahmud berhijrah dan memindahkan pusat pemerintahan ke Daik-Lingga. Sejak 1788 sampai 1793 pasukan Sultan Mahmud melakukan gerilya laut dengan merampas timah di wilayah kekuasaan VOC di Kelabat dan Merawang di Bangka. Strategi gerilya laut pasukan Sultan Mahmud itu benar-benar merugikan Belanda. Menurut pengakuan Gubernur VOC di Melaka, de Bruijn, kekuatan armada VOC tak mampu menandingi kekuatan armada laut Sultan Mahmud di “belantara lautan” Kepulauan Lingga.
Dengan kegigihan perjuangannya, pada 29 Mei 1795 Gubernur Jenderal VOC-Belanda di Batavia mengakui kedaulatan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah. Pada 23 Agustus 1795 Gubernur Melaka mengirim surat kepada Baginda Sultan juga untuk menyatakan pengakuan yang sama. Bersamaan dengan itu, pada 9 September 1795 Residen VOC dan pasukan Belanda ditarik dari Tanjungpinang serta benteng-benteng mereka dibongkar.
Berkat peran dan perjuangannya bagi negara, melalui Kepres RI No. 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Gerilya Laut Indonesia kepada Sultan Mahmud Riayat Syah. Upacara penganugerahan dilakukan di Istana Negara pada 9 November 2017.
Dalam perlawanan terhadap Belanda, Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang selalu berkoalisi dengan Kerajaan-Kerajaan Nusantara yang lain seperti kerajaan-kerajaan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Begitu pula sebaliknya, kesultanan ini juga membantu kesultanan-kesultanan nusantara yang lain ketika mereka berperang dengan Belanda. Dalam masa damai, kesultanan-kesultanan ini melakukan hubungan dagang, kebudayaan, dan lain-lain.
Pada 17 Maret 1824 Inggris dan Belanda menandatangani perjanjian di antara mereka di London, Inggris. Perjanjian itu dikenal dengan Traktat London atau Perjanjian London. Berdasarkan perjanjian kedua kuasa penjajah itu, Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dipecah dua. Johor dan Pahang (bagian Malaysia sekarang) berada di bawah kuasa Inggris, sedangkan Riau-Lingga (Kepulauan Riau sekarang) di bawah pengawasan Belanda. Sebelum itu, Inggris telah mendirikan Kesultanan Singapura pada 1819 dengan melantik Sultan Hussein Syah, kakanda Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah I (1812-1824), Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang kala itu.
Pasca Perjanjian London Kepulauan Riau merupakan wilayah Kesultanan Riau-Lingga (1824-1913), yakni Kesultanan Melayu ketiga di daerah ini. Kerajaan ini awalnya masih berpusat di Daik, Lingga, dan dikenal dengan nama Kesultanan Lingga-Riau, karena berpusat di Lingga. Pada 1900 pusat kesultanan dipindahkan pula ke Pulau Penyengat Indera Sakti sampai 1913.
Pada 1885 berdiri Rusydiah Kelab di Pulau Penyengat, pusat Kesultanan Riau-Lingga. Rusydiah Kelab adalah organisasi modern para intelektual. Mereka berjuang melawan Belanda tak menggunakan senjata, tetapi melalui kritik dan opini, antara lain, diterbitkan dalam Majalah Al-Imam. Tokoh-tokoh Rusydiah Kelab, antara lain, Tengku Besar Umar ibni Sultan Abdul Rahman Syah II (Presiden Rusydiah Kelab), Raja Ali Kelana, Khalid Hitam (Raja Khalid Hasan), Sayid Sekh Al-Hadi Wan Anom, dan Syekh Jalaluddin Tahir Al-Azhari Al-Falaki, dan lain-lain. Mereka adalah golongan muda yang cerdas dan terpelajar, generasi cucu Sang Pemikir Besar, Raja Ali Haji.
Kesultanan Riau-Lingga hanya bertahan sampai 1913 karena pada tahun itu Kesultanan Melayu tersebut dihapus oleh Belanda. Sejak itu, Kesultanan Riau-Lingga benar-benar terjajah oleh Belanda hingga 1942. Dengan demikian, secara resmi Belanda dapat menjajah Kepulauan Riau selama 29 tahun.
Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, Kepulauan Riau telah sejak lama menjadi kawasan kosmopolitan. Masyarakat dari pelbagai wilayah nusantara telah sejak lama datang dan berbaur dengan masyarakat tempatan di daerah ini ketika daerah ini masih menjadi pusat Kesultanan Melayu. Begitupun bangsa asing, baik Timur maupun Barat, sejak dahulu berbolak-balik ke kawasan ini. Umumnya, bangsa-bangsa yang datang itu dengan tujuan berniaga, bermuhibah, dan berwisata, kecuali Belanda, kemudian Jepang, yang datang hendak menjajah.
Setelah mengalami suka-duka bersama dalam perjalanan sejarah yang panjang, dari mana pun asalnya, di kalangan masyarakat daerah ini telah lama berkembang wawasan kebangsaan. Mereka menjaga dan merawat negeri ini bersama-sama dengan kecintaan yang penuh ketulusan.
Bermodalkan wawasan kebangsaan itulah, mereka membangun negeri ini menuju kejayaan. Bersama-sama pulalah mereka melakukan perlawanan kepada sesiapa pun yang datang dengan matlamat penaklukan. Cobalah bermain kayu di Kepulauan Riau kalau hendak menyaksikan bala apa yang akan ditimpakan.***