TULISAN berikut ini adalah bagian dari laporan Cecil Boden Kloos, seorang ahli botani dan fauna asal Inggris yang pernah menjadi Direktur Raffles Museum Singapura pada 1923, dan pernah berlayar menjelajahi kawasan Pulau Tujuh, Kepulauan Riau pada tahun 1900.
Dalam pelayaran itu, Boden Kloos dan rombongannya juga singgah ke Pulau Tambelan setelah mengunjungi Pulau Benoa. Banyak hal tentang Pulau Tambelan dan penduduknya yang ia catat. Di antara yang menarik perhatiannya adalah industri kapal tradisional di Pulau Tambelan, di samping sambutan ramah dan hormat dari Datuk Kaya Pulau Tambelan yang menjadi pemimpin di pulau itu.
Berikut ini adalah sedutan beberapa catatan menarik tersebut. Diterjemahkan dan dikemas semula dari laporan perlayaran Cecil Boden Kloos yang dipublikasikan dengan judul, “Note on a Cruise in the Southern China Sea”, dan dimuat dalam Journal of The Straits Branch Royal Asiatic Society edisi bulan Januari 1904.
Dari Pulau Benoa
Pada tanggal 8 Agustus 1900, kami berlayar dari Pulau Benoa menyeberang ke Pulau Tambelan ketika fajar menyingsing, dipandu seorang mualim yang berasal dari kalangan penduduk setempat, dan labuh jangkar di palabuhn pulau itu tiga jam kemudian.
Pulau Tambelan adalah pulau terbesar di Kepulauan Tambelan. Panjangnya sekitar 4 ½ mil dan bentuknya hampir menyerupai segitiga. Dekat pantai sebelah timur lautnya, terdapat sejumlah perbukitan. Yang tertinggi di antaranya yaitu Puncak Tambelan (Tambelan Peak) yang menjulang hingga ketinggian 1300 kaki. Sementara itu, tidak berapa jauh ke arah Timurnya adalah Thum Peak, sebuah puncak bukit yang luar biasa dengan ketinggian 950 kaki.
Pulau ini hampir terpisahkan menjadi dua bagian oleh sebuah teluk kecil yang membelah dari arah Utara ke Timur menuju ke sisi sebelah Baratnya. Teluk kecil ini hampir satu mil lebarnya, dilingkari dan dibatasi oleh terumbu karang. Ada pula sisasisa pemecah gelombang dari batu karang yang melintasinya, terletak sekitar 1 ½ mil dari jalan masuk ke teluk.
Suatu ketika, sebuah tembok pertahanan (stockade) pernah membentang dibelakang pemecah gelombang ini, dan sebuah benteng (fort) berdiri di pantai. Semuanya dibangun untuk mempertahankan kampung yang terletak di ketinggian dari serangan bajak-bajak laut Illanum (orang Ilanun) yang kadang-kadang mengunjungi pulau ini pada tahun-tahun yang lalu.
Kami meneruskan perjalanan kami disela-sela karang, dan membuang sauh pada perairan yang jernih dekat sederetan perahu layar (schooners) kecil milik penduduk setempat: yang terlindung dengan baik dari sebarang hempasan gelombang besar dari arah barat daya, dan dekat dengan kawasan Kampung Tambelan.
Keadaan sekitarnya memungkin sejumlah orang Melayu mandi sambil berenang dengan gembira dan sangat aman, karena buaya dan ikan jerung tak berusaha masuk kedalam kawasan sekitarnya. Mualim perahu kami yang sekaligus menjadi juru pandu menolak sejumlah uang lelah yang kami berikan untuk pelayanan yang ia berikan. Namun demikian, dengan senang hati ia menerima obatobatan untuk anggota keluarganya yang sakit.
Begitu juga dengan masyarakat yang membawakan kami sejumlah specimen binatang, mereka selalu lebih suka obat-obatan sebagai imbalannya. Orang putih tampaknya sedikit membuat penduduk di kawasan ini penasaran, dan pada hari-hari selanjutnya, meskipun jarang, dua puluh atau tiga puluh orang selalu melihat apa yang kami lakukan.
Datuk Kaya Tambelan
Pada pagi berikutnya, kami pergi ke kampung untuk mengunjuni Dato (Datuk Kaya Tembelan) dan memperlihatkan kepadanya selembar surat yang ditulis oleh Sultan Lingga, yang berada dibawah pemerintah Belanda, menguasai semua pulau di kepulauan ini.
Sebuah bangunan panggung-beratap dengan bangku-bangku bertingkat-tingkat membentuk sebuah tempat singgah dan tempat duduk yang menyenangkan, terletak menjelang kampung itu. Di sebuah tempat di dekat sebuah kapal asing berlabuh – terdapat pula sebuah prau (perahu) kira-kira seukuran perahu penangkap paus, dijejali oleh keluarga orang laut yang mencolok. Dari djambatan itu kami menuju ke rumah Dato (Datuk Kaya Tambelan).
Kampung itu terdiri dari sekitar 250 buah rumah yang dihubungkan oleh bentangan jalan yang rapi dan pasokan air besih melalui sejumlah panchurans bambu yang berasal dari tempat yang lebih tinggi di belakang kampung.
Tak seorang perempuan pun terlihat, namun dari rumah-rumah di kampung itu mucul suara ‘kletakkletuk’ sejumlah alat tenun: kain sarong yang kuat dan baik dibuat di kampung ini, dicelup dengan warna-warna berbahan kimia yang dibeli di Singapura.
Meskipun merupakan wilayah kekuasaan Belanda, Straits Dollar (uang Dollar Negeri-Negeri Selat yang berlaku di Singpura-Melakadan Pulau Pinang) adalah satu-satunya coin mata uang yang berlaku di semua pulau yang kami jelajahi.
Setelah melewati sebuah masjid, sebuah bangunan beratap kerucut bersusun tiga yang dibangun menggunakan batu dan kayu, dan sejumlah meriam tua yang letaknya menyebar, kami mencapai rumah Dato (Datuk Kaya). Sebuah bangunan beratap tunggal yang bagus, yang dilengkapi dengan sebuah beranda panjang berpagar di sepanjang rumah itu, dan di situlah kami disambut oleh tuan rumah.
Dato (Datuk Kaya) adalah orag tua yang ramah. Ia dimuliakan oleh rakyatnya sebagaimana ia memuliakan surat Sultan Lingga yang kami serahkan dengan rasa hormat yang besar. Kursi-kursi telah diatur pada salah satu ujung sebuah ruangan. Ketika kami mengambil tempat duduk, bagian lantai yang lebih rendah di ruangan itu dipenuhi oleh rakyat jelata. Kaum perempuan menyaksikan melalui kisi-kisi jendela ruangan bagian dalam.
Seorang petugas berdiri, lalu membungkuk merapatkan kedua telapak tangannya dengan hormat, membaca hukum (keputusan) Sultan Lingga yang menjelaskan maksud kedatangan kami dan menganjurkan semua bentuk bantuan. Kemudian, Dato (Datuk Kaya) dan semua yang hadir menjelaskan hal ikhwal fauna setempat kepada kami.
Masyarakat di Pulau Tambelan tampaknya sangat makmur dan merupakan salah satu dari beberapa tempat yang luar biasa karena tanpa kehadiran orang Cina, yang tampaknya belum lama ini telah dipaksa keluar dari pulau itu.
Industri Kapal
Di tepi pantai sekitar pelabuhan di kampung ini, terdapat dua puluh hingga tiga puluh perahu layar jenis schooner buatan penduduk setempat: semua perahu itu tampaknya milik masyarakat kampung tersebut. Dengan schooner itulah seluruh kegiatan perdagangan dilakukan dan semua yang dihasilkan daerah ini kadang-kadang dikapalkan lansung ke Singapura.
Pembuatan kapal menjadi idustri yang terbesar di kampung itu, dan kami melihat setengah lusin atau lebih lambung kapal berukuran panjang tiga puluh hingga empat puluh kaki. Seluruhnya dalam tahap penyelesaian.
Kapal-kapal itu dibangun menggunakan kayu cenghai (cengal) dan kayu merbau setempat.Seluruhnnya diperkuat dengan pasak-pasak kayu. Setiap perahu tampaknya dikerjakan oleh sejumlah laki-laki secara bergotong-royong dan membutuhkan waktu dua tahun atau lebih untuk menyelesaikannya. Mula-mula beberapa buah kerangka perahu dibangun, dipasangkan dinding papan, dan setelah itu bingkai lainnya dipasangkan sehinggalah mejadi cukup kuat.
Kami diberi tahu bahwa sebuah perahu dengan ukuran 33 kaki (berbobot 10 ton) lengkap, harganya $ 350. Semuanya dibangun menggunakan bahan yang baik dan kuat.
Bagaimana pun, sampan kolek penduduk setempat (Kolek Tambelan), adalah sesuatu yang indah: dibuat dengan kokoh menggunakan dua jenis kayu keras yang warnanya berbeda: terdiri dari kayu putih dan coklat tanpa sebatang paku, dengan bagian haluan yang mencuat ke atas dan bagian buritan dihiasi dengan lukisan kepala burung, tepat dibawah sauk penyangga layar jib dan tiang layar. Semua itu adalah hasil kerja yang indah dari seorang tukang yang mahir dan cekatan.***