PEMIMPIN sejati senantiasa menyerlahkan kearifan dalam kepemimpinannya. Kearifan itu akan menampilkan kewibawaannya kepada bawahan dan seluruh rakyat dalam tanggung jawabnya. Kearifan itu pulalah yang memungkinkannya mewujudkan kinerja yang unggul sehingga pada gilirannya dia dihormati dan dimuliakan oleh bawahan dan rakyatnya. Betapa pun dia tak pernah memintanya.
Pemimpin berkarakter unggul itulah yang menjadi dambaan rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Rakyat bangga dipimpin oleh manusia arif yang memahami dan sanggup merasakan suka-duka rakyatnya.
Kata orang yang empunya peri Akan Baginda Sultan Barbari Gagah berani bijak bestari Khabarnya masyhur segenap negeri
Bait syair di atas merupakan nukilan dari karya Raja Ali Haji rahimahullah, Syair Abdul Muluk (Haji, 1846). Betapa suka citanya rakyat dipimpin oleh pemimpin terbilang, Sultan Barbari. Keterbilangan kepemimpinan itu, antara lain, karena tak hanya dia gagah-berani, tetapi pemimpin pujaan hati rakyat itu juga sangat arif dan bijak.
Karakter arif dan bijak bestari itulah yang membangkitkan keunggulan dirinya. Pasalnya, daya pikirnya yang bersebati dengan hidayah dan inayah Allah mampu membangkitkan keberanian untuk memperjuangkan kebenaran kepemimpinan. Serentak dengan itu, kekuatan rakyat terhimpun padu tanpa berbelah dalam menyokong kepemimpinannya yang membangkitkan harapan, kini dan ke depan.
Pemimpin yang mampu menggabungkan karakter gagah berani dan arif itulah yang akan abadi walau kelak dia tak memimpin lagi. Namanya akan dijulang sebagai Mahkota Negeri sebagai simbol daulat rakyat dan marwah negeri yang memang patut diamanahkan kepadanya sebagai pemimpin sejati. Dialah pemimpin yang kehadirannya senantiasa dinanti. Semua kebijakannya akan mengundang simpati dan partisipasi. Pasalnya, bagi rakyat, kepemimpinannya tak pernah menyakitkan hati.
Hendak pun kita nampakkan gusar Negeri Barbari terlalu besar Ke sana sini termasyhur khabar Sultan(nya) arif lagi pendekar
Bait Syair Abdul Muluk (Haji, 1846) di atas masih menegaskan mustahaknya pemimpin yang arif memimpin negeri. Nukilan itu merupakan bagian dialog antara Sultan Hindustan dan bawahannya yang membawa berita. Kabar yang datang sungguh menyakitkan. Kerabatnya dihukum oleh Sultan Barbari karena menipu penduduk Negeri Barbari.
Sultan Hindustan sangat murka dan tersinggung. Walaupun begitu, tak suatu perlawanan pun dapat dilakukannya. Pasalnya, secara hukum, tindakan Sultan Barbari benar. Kerabat Sultan Hindustan itu menipu orang sehingga tak mungkin perbuatannya itu dibenarkan dan atau dibela.
Lebih daripada itu, Sultan Barbari dikenal sebagai pemimpin yang sangat arif. Keunggulan karakternya memungkinnya tampil penuh wibawa sehingga mampu menghimpun kekuatan rakyat dan negeri-negeri sahabat untuk membelanya ketika ancaman datang dari arah mana pun.
Karena kearifan itulah, Sultan Barbari dan negerinya terkenal di negeri-negeri sahabat, sama ada jauh ataupun dekat. Kualitas arif dalam kepemimpinannya membangkitkan kecemerlangan sehingga dia disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan.
Tantangan kepemimpinan, antara lain, akan berdatangan pelbagai jenis aduan. Yang lebih menyudutkan pemimpin, biasanya, adalah aduan dan atau laporan yang berasal dari kalangan terdekatnya: bawahan, kerabat, sahabat, handai taulan, dan sejenisnya.
Dari mana pun aduan atau laporan itu berasal, pemimpin seyogianya tak boleh tergesa-gesa memutuskannya. Apatah lagi, sampai melakukan tindakan yang salah dan melampaui batas kepatutan. Pasalnya, menyenangkan atau menyedihkan pun aduan pasti ada yang benar dan ada pula hanya sekadar tipu helah dunia. Dari mana pun dan dengan motif apa pun sumbernya.
Berhubung dengan perkara itu, Muqaddima Fi Intizam (Haji, 1857) membedakan laporan atas tiga jenis. Pertama, aduan dari malaikat; kedua, aduan dari hawa nafsu; dan ketiga, aduan dari syaitan. Hanya aduan dari malaikat perkaranya boleh dan wajib segera diusut (diproses) sampai tuntas. Aduan itu dibenarkan oleh agama sesuai dengan petunjuk Ilahi.
Sebaliknya, aduan jenis lain memerlukan kearifan pemimpin untuk mempertimbangkannya secara bijak dan seksama. Pasalnya, aduan dari hawa nafsu dan dari syaitan berisi perangkap untuk menjerumuskan pemimpin, bahkan semua umat manusia. Itulah sebabnya, kearifan pemimpin memang sangat dituntut dalam mengelola rakyat dan negeri menuju kegemilangan dalam rahmat Ilahi.
“Nabi mereka berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya, Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun tak diberi kekayaan yang cukup banyak?’ Nabi (mereka) berkata, ‘Sesungguhnya, Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada sesiapa pun yang dikehendaki-Nya dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui,” (Q.S. Al-Baqarah, 247).
Firman Allah itu merupakan salah satu petunjuk untuk memahami hujah ini. Keberatan kaumnya terhadap Thalut menjadi pemimpin mereka karena beliau tak berharta. Rupanya, harta bukanlah standar Allah dalam menetapkan orang yang akan dijadikan-Nya pemimpin sejati. Allah justeru memilih Thalut setelah dirinya dianugerahi-Nya ilmu yang luas.
Anugerah ilmu itu, pada gilirannya, sanggup menyerlahkan kearifan kepemimpinan sehingga beliau mampu memuliakan rakyat dan memakmurkan negeri. Dengan demikian, tak ada rakyat yang berasa direndahkan martabatnya dan atau diperbedakan perlakuan oleh pemimpinnya. Dia pemimpin yang disinari cahaya kearifan.
Dalam konteks kearifan itulah sungguh sangat disayangkan ketika ditemui gejala ini. Ada pemimpin yang beranalogi begini. Kemuliaan yang dikumandangkan dari rumah Allah berbantukan pelantang suara sebanding dengan gonggongan anjing dari rumah penduduk. Masih adakah kearifan dalam analogi itu?
Azan, nama lantunan yang indah lagi mulia itu, berisi pujian kepada Allah, kalimah syahadat, dan panggilan menunaikan ibadah shalat wajib bagi umat Islam. Selanjutnya, juga ada seruan untuk melakukan kebaikan dan kalimah tauhid.
Lantunan azan berdasarkan keyakinan Islam, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, mampu mengusir syaitan yang menjadi musuh umat manusia. Ianya juga mengingatkan untuk melawan hawa nafsu yang menjerumuskan manusia, memungkinkan penghapusan dosa, serta dengannya manusia berpotensi dimuliakan dan dibanggakan oleh Allah.
Kesemuanya itu adalah ajaran Islam, satu di antara agama resmi dan telah bertapak lebih dari seribu tahun di Bumi Pertiwi. Tentulah umat Islam mengagungkannya karena mereka memang wajib meyakininya.
Ketika lantunan mulia azan berbantukan pelantang suara dari rumah Allah dianalogikan sejajar dengan gonggongan anjing dari rumah penduduk, betapa pun anjing itu dipuja, tak wajarkah umat Islam tersinggung? Tak ada celah untuk membandingkan suatu apa pun dengan nilai azan yang agung.
Jika pernyataan itu bersumber dari pemimpin, di manakah ditempatkan nilai kepatutan dan kearifan sebagai karakter kepemimpinan yang agung? Apatah lagi, keyakinan mulia umat Islam itu berdasarkan petunjuk Allah Yang Mahaagung.***