GEORGE François de Bruyn Kops adalah seorang Letnan Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Lahir di Haarlem pada 20 Agustus 1820, dan wafat di Batavia 1881. Pengetahuannya tentang sejarah, geologi, botani, dan etnografi wilayah Kepulauan Riau-Lingga yang dipublikasikan melalui sejumlah jurnal ilmiah pada abad ke-19 adalah bahan sumber yang sangat berharga dan kaya untuk studi-studi tentang sejarah, geologi, dan botani Kepulauan Riau pada masa lalu dan masa kini.
Pada awal tahun 1850-an, Bruyn Kops melakukan pelayaran ilmiah keliling wilayah Kepulauan Riau-Lingga. Hasilnya adalah sebuah laporan panjang tentang berbagai hal di Kepulauan Riau-Lingga pada abad ke-19, yang kemudian dipublikasikan dalam jurnal berbahasa Belanda, Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie di Batavia (1853), dan diterbitkan pula dalam jurnal berbahasa Inggris The Journal of The Indian Archipel and Eastern Asia di Singapura (1854).
Artikel berikut ini adalah petikan dari catatan George François de Bruyn Kops tentang pelabuhan utama Kepulauan Riau-Lingga: Pelabuhan Tanjungpinang, serta labuhan Lingga yang ketika masih terletak di depan Pulau Kelombok dan Kuala Sungai Daik pada awal tahun 1850-an. Diterjemahkan dan dikemas semula dari keringkasan laporan George François de Bruyn Korp dalam bahasa Inggris yang berjudul “Schetch of The Rhio-Lingga Archipelago”, yang dimuat dalam junal The Journal of The Indian Archipel and Eastern Asia di Singapura (1854).
Pelabuhan Riau
Pelabuhan Riau terletak antara pulau Piningat (Penyengat) atau Mars, dan Tanjungpinang. Jalur untuk memasuki pelabuhan ini dibagi menjadi “jalan sebelah luar” dan “jalan sebelah dalam”, yanc dihubungkan oleh sebuah selat sempit antara daratan Pulau Bintan dan Pulo Paku (Pulau Paku).
Pada “jalan sebelah luar”, kedalaman air antara 4 dan 5 fathom (1 fathom setara dengan 1,9 meter atau 6 kaki), sehingga kapal-kapal besar dapat lego jangkar di situ. Sedangkan pada “jalan sebelah dalam” kedalaman air lautnya sekitar dua fathom, dan hanya dapat digunakan oleh perahu-perahu kecil. Selat antara Pulau Bintan dan Pulo Paku itu sendiri sempit dan dangkal.
Di sebelah Utara Pulau Mars (Pulau Penyengat) terdapat pula sebuah alur perlayaran; namun dihalangi oleh batu dan karang sehingga hanya digunukan oleh perahu-perahu. Di kawasan pelabuhan ini, pada saat air pasang dalam, kadang-kala arusnya digunakan oleh kapal-kapal layar untuk mengelakan kesulitan melalui selat yang sempit itu.
Pada masa-masa sebelumnya, tempat kapal-kapal belabuh di kawasan ini terletak jauh di dalam teluk, di depan Campong Rhio Lama (Kampung Riau Lama), tempat kediaman Sultan dan Raja,namun sekarang telah ditinggalkan..
Di sebelah Barat, dimana terletak sebuah alur masuk dengan kedalam air 3½ fathom, namun lebarnya hanya 3 cable (1 cable adalah sepersepuluh mill laut, yang setara pula dengan 608 kaki). Bagian Utara pelabuhan ini dibatasi oleh batu karang panjang yang patut dipertimbangkan, dan sebagiannya terlihat ketika air surut.
Labuhan Lingga
Sementara itu, labuhan Lingga terletak antara pantai Pulau Lingga dan Pulau Klombo (Kelombok). Ia dapat dicapai dari kedua sisi pulau itu. Jalur sebelah Timur adalah bagian yang terluas, dan pada saat tertentu mendangkal, sehingga tidak dapat digunakan oleh kapal besar.
Tanda yang mudah terlihat sebagai pedoman untuk memasuki alur pelabuhan ini adalah bukit hijau muda di puncak tertinggi pada bagian timur kawasan pegunungan. Bukit ini, yang terletak di tepi pantai, dapat dilihat dari kejauhan.
Penanda itu ditutupi oleh rumput panjang (alang-alang) dan tidak ada pohon kecuali di puncaknya: dimana terdapat sekelompok kecil pepohonan. Sebelumnya disini terdapat sebuah benting (benteng) kecil, namun sekarang tinggal reruntuhan. Lurus ke arah Utara di bagian Barat di ujung Pulau Klombo terletak laut luas dengan
kedalam air 8 hingga 9 fathom.
Sedikit ke arah Barat pulau Klombo, tapi dekat ke arah pantai, terletak Pulau Mapar (Mepar), dengan sebuah kampung yang besar. Orang Kaya, yang memerintah pulau tersebut, tinggal disini. Kedua pulau ini (Kelombok dan Mepar) dipenuhi dengan pohon-pohon kelapa, dimana dari niranya gula dihasilkan.
Sungai Daik
Sepanjang pantai pulau Lingga, terutama di daerah pelabuhannya, terdapat tebing lumpur yang luas, dengan lumpur lembut kebiru-biruan, dimana tidak memungkinkan seseorang berdiri. Melalui kawasan ini, Sungi Dai (Sungai Daik), tempat dimana sebuah kampung terletak, telah membentuk terusan yang lebarnya hanya 30 atau 40 fathom, sebuah alur pelayaran yang kerap kali berubah. Umumnya cabang-cabang dahan kayu tersangkut di sungai ini untuk menunjukkan arah mana yang harus dilalui oleh orang yang menyusurinya.
Bagaiman pun, ketika air pasang dalam, tepi tebing sungai itu dapat dilalui perahu. Tepat di muara sungai kita akan menemukan sebuah benteng kecil dalam keadaan terabaikan, dijaga dengan dua meriam kecil, yang sepenuhnya tidak berguna untuk pertahanan pelabuhan, dan kecil kegunaannya dalam melindungi pintu masuk menuju sungai.
Sungai tersebut agak sedikit dangkal, sehingga kadang-kadan perahu-perahu harus menggunakan galah untuk bergerak. Aliran air pasang mengarah ke Campong (kampung) Daik. Dan secara umum, arus di sungai itu tidaklah terlalu kuat. Tebing-tebing di bagian muara terdiri dari lumpur yang ditutup rapat dengan pohon-pohon bakau. Tampaknya, mereka terbentuk dari formasi tanah endapan.
Tepat ke arah hulu Campong itu, tanah mulai keras. Terbentuk dari pasir dan tanah liat. Di dasar sungai terdapat sejumlah batu sungai (kebanyakan dari jenis kwarsa), yang dibawa hanyut oleh arus sungai dari pegunungan. Berdasarkan laporan, tanah pulau Lingga subur, namun sedikit sekali yang diolah, karena kemalasan penduduk setempat.***