PEMIMPIN, di lingkungan, jenis, dan peringkat apa pun kepemimpinannya, seyogianya berkarakter religius. Karakter itu diterapkannya dalam kepemimpinannya secara serius. Dengan demikian, dia tak pernah tergoda oleh rayuan penyimpangan, apa pun bentuk dan caranya, yang cenderung membius. Jika gagal dalam penerapannya, jadilah dia sekadar pemimpin semasa yang segera lenyap diterbangkan bayu yang kencang berhembus.

Satu di antara karakter utama religius itu adalah beriman kepada Allah. Pedomannya sangat jelas dan langsung dari Sang Pencipta. Di antaranya, perkara serius itu termaktub di dalam firman Allah.

 “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya,” (Q.S. An-Nisaa, 136).

Karakter religius beriman kepada Tuhan itu jugalah yang banyak disorot oleh Raja Ali Haji rahimahullah di dalam karya-karya beliau. Amanat itu, antara lain, tertera di dalam Syair Abdul Muluk (Haji, 1846).

Barang apa pun kulihat segala
Kebesaran Tuhan Azza wa Jalla
Jikalau sungguh asal kemala
Masakan cahayanya tiada bernyala

Bait syair di atas merupakan bagian dari kisah tentang sifat, sikap, dan karakter penjual gandum, si penyelamat Abdul Gani, putra Sultan Abdul Muluk dan istrinya, Siti Rafiah. Sesuai dengan profesinya, penjual gandum bukanlah pemimpin besar, kecuali bagi keluarga dan orang-orang yang diamanahkan oleh manusia dan Tuhan di bawah penjagaannya. Termasuk, menjaga putra seorang pemimpin besar dari negeri yang ternama, yang dijumpainya nyaris secara kebetulan belaka. Itulah tanda-tanda amanah Allah memang sengaja dihampirkan ke pundaknya. 

Dalam melaksanakan amanah itu, dia yakin seyakin-yakinnya bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini karena kekuasaan Allah. Kepada-Nya-lah dia memohon pelindungan dan pertolongan dalam kepemimpinannya. Itulah sebabnya, segala tantangan dan cobaan yang dihadapinya dalam melindungi putra Sultan Barbari dapat diatasinya secara mengagumkan. 

Sifat dan sikapnya itu menunjukkan bahwa dia beriman kepada Allah. Dan, karakter religiusnya itulah yang menjayakan kepemimpinannya. Alhasil, dia tak sekadar beroleh nikmat iman yang menjamin kehidupan akhiratnya. Dia, bahkan, beroleh rahmat duniawi yang tak pernah terpikirkan olehnya walau seketika sebelumnya, beroleh limpahan harta.

Karya Gurindam Dua Belas (Haji, 1847) memuat perihal kewajiban beriman kepada Allah pada Pasal yang Pertama, bait 3. Walaupun digunakan diksi mengenal, maksudnya tak sekadar itu (mengenal), tetapi lebih-lebih mengimani atau memercayai-Nya.

Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

Larik kedua bait gurindam di atas lebih menegaskan lagi bahwa manusia memang wajib memercayai Allah. Sebagai buktinya, manusia, apatah lagi pemimpin, wajib melaksanakan suruhan dan meninggalkan larangan-Nya. Jelaslah, bait gurindam di atas menegaskan mustahaknya keimanan kepada Allah sebagai karakter utama yang seyogianya melekat dalam diri setiap manusia. Pada pemimpin seyogianya karakter itu menyerlah dalam semua tindakan kepemimpinannya.

Perihal kewajiban beriman kepada Allah juga terkandung dalam syair nasihat Tsamarat al-Muhimmah, bait 16 (Haji dalam Malik (Ed.), 2013). 

Jika benar yang kita hukumkan
Di belakang jangan kita hiraukan
U(m)pat dan puji kita biarkan
Kepada Allah kita saksikan

Jika pemimpin melaksanakan tugasnya secara benar dan tak menyimpang dari ketentuan Allah, tak ada sesuatu apa pun yang perlu dihiraukan di dunia ini. Tak kira pujian ataupun umpatan, termasuk dalam penerapan hukum. Bukankah pujian dan hujatan itu memang menjadi bunga-rampai dalam kepemimpinan? 

Yang perlu diwaspadai, justeru, penerapan hukum yang berlawan dengan ketetapan Tuhan. Balanya tiada sesiapa boleh menahan. Rumitnya, perkara itu tak selesai hanya kepada Tuhan, tetapi mesti ada jaminan dari manusia yang teraniayakan. 

Hal itu bermakna keimanan kepada Allah yang diutamakan. Apa pun cabaran atau tantangan yang datang kemudian, harus dipulangkan kepada Tuhan.

Itulah kunci kejayaan pekerjaan sekaligus bukti keimanan manusia kepada Allah. Akan tetapi, kesemuanya harus benar-benar berdasarkan pedoman-Nya, bukan helah untuk kejahatan tersembunyi dengan membabitkan, apatah lagi sampai mengobral, nama Allah.

Yang disebut terakhir itu, justeru, menjadi perbuatan dosa yang ditunggani oleh syaitan atau iblis. Padahnya pun, kalau demikian, tak kunjung habis. Iblis diikuti, dunia jadi kikis, padah akhirat pun pasti  takkan tertangkis. Meranalah jiwa dalam isak berharu tangis.

Apa pulakah yang didendangkan oleh Syair Sinar Gemala Mestika Alam? Inilah nukilan syair naratif religius itu pada bait 76 (Haji dalam Malik & Junus, 2000). 

Lain daripada itu beberapa pula
Suruh dan larang Allah Ta’ala
Di dalam Quran ‘Azza wa Jalla
Perintahkan yang baik tiada cela

Bait syair di atas menyegarkan hati dan pikiran bahwa segala perintah dan larangan Allah itu adalah baik belaka bagi manusia dan alam semesta. Itulah sebabnya, kesemuanya harus diimani dan dilaksanakan tanpa ragu oleh sesiapa sahaja. Barang siapa mampu mengikuti pedoman mulia itu, bermakna dia telah beriman kepada Allah Azza wa Jalla. Jika ianya seorang pemimpin, maka yakinlah kepemimpinannya akan diridhai oleh Tuhan Yang Mahakuasa. 

Beruntunglah pemimpin yang mampu mengimplementasikan semua kebijakan dan pelaksanaan kepemimpinannya berdasarkan keimanannya kepada Sang Pencipta. Jika dia pemimpin pemerintahan, beruntung jugalah rakyat di bawah pemimpin yang berkarakter  religius lagi mulia. Dia mendasarkan perkataan, perbuatan, dan tindakannya atas cahaya Ilahiah yang bersalut berkah.Hendaknya memang begitulah adanya. Dan, semoga tak ada pemimpin, lebih-lebih pemimpin pemerintahan, yang bercita-cita dan bertindak seperti yang dilukiskan oleh Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau dalam Perhimpunan Pantun Melayu, 1877.

Baik-baik melayar jung 
Tali-tali biarlah kokoh 
Dipukul ombak di Laut Merodong 
Nakhoda mabuk beranda pun roboh 

Tak ada harapan yang dapat disandarkan kepada nakhoda mabuk. Setiap hari dan masa terlihat sibuk. Rupanya, eh… semata-mata berjual abuk. Halal dan haram kesemuanya ditebuk. Larangan Allah pula diperolok-olok. 

Rakyat merana, negeri pun rontok. Padah baginya kelak bolehlah ditengok. Tak seorang dua yang telah berlapuk.*** 

Artikel SebelumSyekh Ismail al-Minangkabauwi Pembawa Tarekat Naqsyabandiah di Kerajaan Riau-Lingga
Artikel BerikutKearifan Pemimpin
Budayawan, Peraih Anugerah Buku Negara Malaysia 2020 ,Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang pada masa jabatan 2007-2021, Anggota LAM Kepulauan Riau masa khidmat 2017-2022, Peraih Anugerah Jembia Emas tahun 2018, Ketua Umum PW MABMI Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan