Sebahagian Anggota Rusydiah Club, Dokumentasi : Aswandi Syahri

MASA Kesultanan Riau-Lingga nama Rusydiah Kelab sangat terkemuka. Lembaga cendekiawan Melayu itu berdiri pada 1885. Di antara tokoh pendirinya adalah pengusaha, politisi, pejabat pemerintah, dan penulis handal Raja Ali Kelana ibni Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi, YDM X Riau-Lingga. Dengan jabatan Kelana yang disandangnya, beliau adalah calon Yang Dipertuan Muda, penerus ayahandanya, tetapi tak sempat dijabatnya. Pasalnya, pada 1913 Kesultanan Riau-Lingga dijajah oleh Belanda. 

Beliau tak sudi bertuankan Belanda, lalu memilih berhijrah ke Johor. Di sana beliau diangkat menjadi Penasihat Rahasia (Politik) dan Ketua Urusan Agama Islam Kerajaan Johor. Baginya itu jauh lebih mulia daripada menjadi penguasa boneka penjajah Belanda di tanah tumpah darahnya sendiri. Akan tetapi, beliau terus berupaya membebaskan tanah airnya dari cengkeraman penjajah. 

Malangnya, walau telah melakukan pelbagai upaya bersama Khalid Hitam, termasuk meminta bantuan Pemerintah Turki dan Jepang, semua upaya itu gagal. Jadilah negara dan bangsanya tetap dalam cengkeraman penjajah Belanda sampai 1942, sekitar 29 tahun.     

Sebagai pengusaha, beliau adalah pemilik perusahaan batu bata Batam Brickworks di Pulau Batam. Pengusaha banyak rumah sewa di Singapura dan pemilik perkebunan yang luas di Batam dan Bintan. 

Misi bisnis para pemimpin Kesultanan Riau-Lingga kala itu adalah agar kehidupan rakyat dan sanak-saudara tak susah dan terbentuk persatuan yang kokoh di kalangan anak watan (Junus 2002, 141-142). Bagi Raja Ali Kelana, begitu beliau memutuskan melawan Pemerintah Hindia-Belanda, semua hartanya ditinggalkannya ketika beliau berhijrah ke Johor dan melakukan perlawanan dari sana.

Tokoh-tokoh lain Rusydiah Kelab di antaranya Khalid Hitam (Raja Khalid ibni Raja Hasan), Sayid Sekh Al-Hadi Wan Anom, dan Syekh Jalaluddin Tahir Al-Azhari Al-Falaki. Sayid Syekh Al-Hadi adalah anak angkat Raja Ali Kelana dan pengelola perusahaan batu bata milik ayah angkatnya. Beliau pernah belajar di Mesir dan berguru dengan Muhammad Abduh di Kairo. Beliau kemudian menjadi tokoh pemikir besar di Malaysia. 

Sejak 1904 perkumpulan cendekiawan ini dipimpin oleh Tengku Besar Umar ibni Sultan Abdul Rahman al-Muazam Syah II, yang dipanggil pulang dari Bandung ketika belajar di Hoofdenschool karena khawatir pengaruh negatif Belanda. Beliau dididik langsung oleh pamannya Raja Ali Kelana dan Khalid Hitam untuk menjadi calon sultan. 

Selain menerbitkan buku-buku, Rusydiah Kelab juga mengelola berkala atau majalah Al-Imam. Penyandang dana utamanya tentulah Raja Ali Kelana. Penanggung jawab redaksinya Syekh Jalaluddin Tahir Al-Azhari Al-Falaki.

Di antara perkara yang pernah disorot oleh Al-Imam adalah konsep raja, penguasa, atau pemimpin. Dalam teori lama Melayu disebutkan bahwa raja adalah zhilullahi fil ardh atau bayang-bayang Allah di bumi. Berhubung dengan itu, Al-Imam mengulasnya secara kritis.

“Doktrin ini walau bagaimanapun memerlukan sumbangan dan kualiti tertentu yaitu pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran, kesengajaan, kelakuan yang baik, bersimpati kepada yang lemah, sayang akan rakyatnya, cakap dalam pentadbiran dan politik, memahami sejarah raja-raja masa silam. Ini ialah karena dunia ini dari satu segi adalah warisan kerajaan-kerajaan mereka, lalu usaha-usaha mereka menjadi kenangan kerajaan-kerajaan yang selanjutnya”  (Al-Imam, Vol. 2, No. 8, 4 Februari 1908, 24).

Jelaslah bahwa Al-Imam tak membantah bahwa raja atau pemimpin merupakan bayang-bayang Allah di muka bumi. Akan tetapi, penguasa yang ideal itu harus memenuhi syarat tertentu. Di antaranya (1) memiliki ilmu dunia dan ilmu akhirat yang berimbang; (2) bijaksana; (3) memperjuangkan kebenaran; (3) berkeinginan untuk menjadi pemimpin (bersedia); (4) berkelakuan baik dalam arti sesungguhnya; (5) berani membela yang lemah; (6) cinta kepada rakyat sehingga tak rela rakyat menderita; dan (7) cakap dalam pemerintahan dan politik. Jika memenuhi syarat itu, seseorang boleh dijadikan pemimpin dan dapat pula menyandang bayang-bayang Tuhan di bumi.   

Sebaliknya, menurut Al-Imam, sifat dan perilaku berikut tak boleh melekat pada pemimpin. “Jika raja jahil dan berkelakuan jahat, tiada cita-cita, tamak dan mengingini (merampas) hak orang lain (rakyat), berpikiran sempit, bodoh, bermotif jahat, tak jujur, maka tak ragu-ragu sikap sedemikian itu akan menyebabkan keruntuhan negaranya ke jurang yang merugikan akibat penyimpangan dari jalan yang benar” (Al-Imam, Vol. 2, No. 12, 12 Juli 1907, 26-27).

Jelaslah bahwa, menurut Al-Imam, seseorang yang berperangai jahat tak patut dan tak layak dijadikan pemimpin. Dia tak berupaya membangun negeri, negara, dan rakyat, tamak, senantiasa berupaya mengumpulkan harta dengan mengambil hak orang lain, berpikiran sempit hanya mementingkan lingkungan dan golongannya sendiri, bodoh secara harfiah karena kurangnya ilmu dunia dan akhirat, menjadi pemimpin dengan motif jahat seperti menumpuk kekayaan, menekan pihak lain, dan curang dalam kepemimpinannya. 

Penyebabnya adalah kalau menjadi pemimpin, dia akan membawa negara dan bangsanya ke jurang kehancuran. Jelaslah bahwa para pengasuh Majalah Al-Imam sangat kental berkiblat kepada pemikiran senior mereka Raja Ali Haji rahimahullah

Pemimpin, menurut Tsamarat al-Muhimmah (Haji, 1858), meliputi tiga konsep sesuai dengan fungsi dan tugas yang diamanahkan kepadanya. Pertama, konsep khalifah dengan kewajiban menjalankan pemerintahan sejalan dengan ajaran agama. Kedua, konsep sultan dengan kewajiban menegakkan hukum secara adil. Ketiga, konsep imam yang berada di posisi terdepan dalam mengatasi masalah dan menjadi ikutan semua orang. Dalam hal ini, jikalau tak tergolong kufur dan maksiat, perintahnya sejajar dengan hukum yang harus ditaati semua orang di bawah pemerintahannya.

Pemimpin seyogianya bermartabat tinggi. Syaratnya, dia berjuang membela kebenaran dan memerangi kejahatan apa pun bentuknya. Tak boleh sebaliknya, dia bersuka ria di dalam kejahatan yang nyata dan melenyapkan kebenaran demi kekuasaannya. Yang disebut terakhir itu adalah pemimpin yang berlaku sewenang-wenang, berbuat sekehendak hati, mempermain-mainkan hukum, bahkan mengaku diri sebagai bayangan Tuhan di bumi, tetapi bertindak laksana syaitan, melawan Allah. 

Para pemimpin seyogianya berilmu, barakal budi, bermarwah, adil, berijtihad yang baik, suka dan tekun beramal sebagai keunggulan karakternya. Para pemimpin negeri haruslah berbuat kebajikan yang terbilang: benar dan patut menurut agama, bangsa, dan negara. Begitu pulalah menurut penilaian orang-orang yang terbuka mata hatinya dan berakal sehat. Jika kedapatan fasik, banyak aduan orang, zalim, khianat, belot, tak bermarwah, dan sejenisnya; pemimpin itu patutlah diragukan baktinya.  Untuk itu, akan datang juga azab dari Tuhan pada ketikanya.

Perkara yang juga mustahak, menurut Al-Imam, penguasa negeri harus memahami sejarah raja-raja masa silam. Negeri ini adalah warisan kerajaan mereka (raja-raja dahulu itu). Karena upaya merekalah kerajaan-kerajaan yang selanjutnya berdiri, apa pun bentuk dan nama “kerajaan” itu kemudian. 

Jika ketakziman dan peristiadatan itu diabaikan atau dilanggar, penguasa lalai itu pasti kena tulah atau kuwalat-nya. Padah (akibat buruk)-nya telah banyak terbukti sangat pedih lagi mendera. Dan, penerimanya justeru tak jauh-jauh bangat dari sekeliling kita.*** 

Artikel SebelumDatuk Kaya dan Industri Kapal di Pulau Tambelan Tahun 1900
Artikel BerikutSyekh Ismail al-Minangkabauwi Pembawa Tarekat Naqsyabandiah di Kerajaan Riau-Lingga
Budayawan, Peraih Anugerah Buku Negara Malaysia 2020 ,Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang pada masa jabatan 2007-2021, Anggota LAM Kepulauan Riau masa khidmat 2017-2022, Peraih Anugerah Jembia Emas tahun 2018, Ketua Umum PW MABMI Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan