
SEJAK pertengahan abad ke-19 hingga menjelang akhir abad itu, ajaran tasawuf atau tarekat yang diamalkan oleh kaum sufi mewarnai kehidupan istana dan penduduk di Kerajaan Riau-Lingga.
Pada masa-masa itu, Pulau Penyengat tidak hanya menjadi tempat Yamtuan Muda Riau mentadbir Kerajaan Lingga dan Riau, tapi juga menjadi salah satu pusat syiar Islam yang penting di Alam Melayu melalui Tarekat Naqsyabandiah yang diamalkan dan dipimpin langsung oleh Yamtuan Muda Riau yang bermastautin di pulau itu.
Meski pun semuanya telah lama berlalu, namun jejaknya belum seluruhnya hilang di pulau bersejarah itu. Dua buah sumur tua tempat para pengamal Tarekat Naqsyabandiah bersuci sebelum melaku zikir dalam amalan Suluk yang biasanya dilakukan selama bulan Ramadan, atau setiap hari Jumat dan Selasa pada suatu masa dulu, masih kekal disebut sebagai Perigi Suluk.
***
Di Kerajaan Riau-Lingga (terutama di Daik dan Pulau Penyengat) pernah berkembang dan diamalkan dua aliran tasawuf Tarekat Naqsyabandiah, dalam masa yang berbeda. Aliran pertama adalah Tarekat Naqsybandiah Khalidiah, dan aliran kedua adalah Tarekat Naqsyabandiah Mazhariah atau Ahmadiah.
Dari kedua aliran ini, maka Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah, sebuah sebuah aliran pembaruan dalam Tarekat Naqsyabandiah yang dipelopori oleh Maulana Khalid atau Diya’ al-Din Khalid al-Baghdadi dari Damaskus, adalah tarekat yang mulamula diperkenalkan dan diamalkan di Pulau Penyengat. Setelah itu barulah masuk Tarekat Naqsyabandiah Mazhariah atau Ahmadiah.
Kehadiran amalan dan tradisi tasawuf aliran Naqsyabandiah Khlidiah ini di Pulau Penyengat tak terlepas dari peranan Syekh Ismail bin Abdullah, yang namanya dalam sejarah perkembangan Tarekat Naqsyabadiah di Alam Melayu dikenal luas sebagai Syekh Ismail bin Abdullah al-Minangkabauwi al-Khalidi al-Naqsyabandi al-Syafi’i. Beliau seorang sufi dan ulama besar yang berasal dari Nagari Simabur, dekat Batusangkar, Ranah Minangkabau.
Menurut catatan Wan Muhammad Shaghir Abdullah (1985:3), Syekh Ismail Minangkabauwi ini punya hubungan keluarga dengan salah seorang anak raja bugis lima saudara. Di Pulau Penyengat, ia juga beristrikan seorang anak Tuan Khatib Abdulrasyid dan mendapat anak yang diberi nama Haji Muhammad Nur yang juga menjadi ulama tarekat di Mekah al-Musyarafah.
Selain itu, masih menurut Wan Muhammad Shaghir, beliau juga punya pertalian darah dengan Syekh Abdurahman bin Abdullah, datuk Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang mendirikan kompleks surau Naqsyabandiah terbesar dan terkenal di Dataran Tinggi Minangkabau, di Nagari Batu Hampar, dekat Payakumpuh pada abad ke-19.
Ketika masih kanak-kanak Syeikh Ismail telah dibawa oleh ayahnya merantau ke Mekah al-Musyarafah. Di Mekah dan Madinah Syekh Ismail belajar ilmu agama selama lebih kurang 35 tahun. Mula-mula ia belajar ilmu ilmu agama Islam dengan Syekh Usman ad-Dimyathi (1781-1848). Setelah ulama besar itu wafat, Syeih Ismail Minangkabau belajar pula kepada Syeih Ahmad ad-Dimyathi. Bahkan, ia sempat belajar kepada Mufti Mazhab Syafie di Masjidil Haram, yakni Syekh Muhammad Sa’id bin Ali asy-Syafi’ie al-Makki al-Qudsi. Selain itu ia juga mendalami ilmu agama dengan ulama Melayu yang bermukim di Mekah ketika itu, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Dalam hal tasawuf , Syekh Ismail mula-mula belajar kepada Syekh Muhammad Salih bin Ibrahim al-Ra’is, seorang mursyid tarekat Syaziliyah. Selepas itu mendalami Terekat Naqsyabandiah dari Sayid Abi Abdillah bin Abdullah Afandi al-Khalidi, murid Syeikh Khalid al-’Utsmani al- Kurdi. Setelah itu, barulah ia menerima bai’ah dan tawajjuh secara langsung dari Syeikh Khalid al-’Utsmani al-Kurdi. Dari Syekh Khalid ini Syekh Ismail mendapatkan tambahan al-Khalidiyah di hujung namanya, karena Syeikh Khalid al- ’Utsmani al-Kurdi adalah seorang Mujaddid (pembaharu) dalam tarekat yang sangat terkenal itu. Dari Syekh Khalid inilah Syekh Ismail mendapatkan ijazah Isrsyad yang menjadikannya sebagai seorang khalifah Tarekat Naqsyabandiah.
Menurut Chairullah (2016), semasa hidupnya Syekh Ismail sangat terkenal di Alam Melayu dan menjadi rujukan kalangan intelektual dari Alam Melayu selama mereka belajar di Mekah. Khusus untuk kawasan Alam Melayu, Syekh Ismail bahkan mengangkat dua orang khalifah atau “wakilnya” yang berasal Minangkabau yaitu Syekh Muhammad Taher Barulak dan Syekh Abdurrahman (datuk Wakil Presiden Muhammad Hatta) dari Batu Hampar (Payakumbuh).
Selain memiliki banyak murid dari kawsan Alam Melayu, Syekh Ismail juga mempunyai murid yang berasal dari Timur Tengah, seperti Syekh Sulaiman Zuhdi. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syekh Sulaiman Zuhdi dalam kitabnya yang berjudul Majmu’ah al-Rasail: Syekh Ismail adalah gurunya dalam tarekat Naqsyabandiah.
***
Menurut Wan Muhammad Shaghir (1985), kebesaran nama Syekh Ismail itu telah menarik perhatian Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau- Lingga. Pada awal tahun 1850-an, Syekh Ismail yang telah menjadi khalifah Tarekat Naqsyabandiah itu untuk pertama kalinya kembali ke Alam Melayu setelah puluhan tahun bermastautin di Mekkah. Daerah pertama yang disinggahinya adalah Singapura. Di Singapura ia diterima oleh Temenggung Ibrahim yang ketika itu memimpin pemerintahan orang Melayu di Singapura.
Ketika berada di Singapura inilah Syekh Ismail mengirim sepucuk surat kepada Yamtuan Muda Riau Raja Ali (1844-1857), yang ketika itu sedangkan gencar-gencarnya menegakkan syiar Islam di Pulau Penyengat. Gayung bersambut, keinginan Syekh Ismail disambut dengan suka cita oleh Raja Ali (yang gelarnya setelah mangkat adalah Marhum Kantor).
Kisah kedatangan Syekh Ismail Minangkabauwi ke Pulau Penyengat sempena mengajarkan Tarekat Naqsyabandian Khalidiah ini dicatat dengan lengkap oleh Raja Ali Haji dalam kitab Tuhfat al-Nafis. Menurut Raja Ali Haji, Syekh Ismail dijemput ke Teluk Belanga, Singapura, untuk dibawa ke Pulau Penyengat dengan perahu kruis milik Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali. Dan, ketika perahu yang membawanya itu sampai di laut Pulau Terkulai, “…maka Yang Dipertuan Muda Raja Ali [sendiri] pun berkayuhlah pergi menyambut Tuan Syekh Ismail itu,”.
Selama Syekh Ismail Minangkabauwi di Pulau Penyengat, maka berhimpunlah segala anak rajaraja dan anak pembesar istana Kerajaan Riau-Lingga setiap hari mempelajari segala hukum sah, batal, dan haram. Bahkan Raja Haji Abdullah Engku Haji Muda dan Raja Ali Haji bertekuntekun pula mempelajari Kitab Tarikat Muhammadiyah dan kitab-kitab Fara’it Matan Sanusi.
Seluruh keluarga Yang Dipetuan Muda Riau Raja Ali dan sanak saudaranya dibai’at oleh Syekh Ismail Minangkabauwi masuk Tarekat Naqsyabandiah al-Khalidiah. Dalam tuhfat al-Nafis, Raja Ali Haji mencatatkan peristiwa itu sebagai berikut: “…Kemudian Yang Dipertuan Muda pun mengambillah ia Tarekat Naqsyabandiah, serta segala anak raja-raja yang didalam Pulau Penyengat itu, serta duduk masuk suluk. Maka tiap-tiap hari Jum’at da hari Selasa, tawajuh khatam dan sembahyang jamaah pada tiap-tiap hari…”
Sejak saat itu, ritual tasawuf Tarekat Nasyabadiah al-Khalidiah telah menjadi amalan keluarga diraja Riau-Lingga dan penduduk Pulau Penyengat. Bahkan, Raja Haji Abdullah Engku Haji Muda yang kemudian menggantikan Raja Ali Marhum Kantor sebagai Yang Dipertuan Muda Riau, diangkat pula sebagai Mursyid Naqsyabandiah dan Khalifah bagi Syekh Ismail al-Minangkabauwi. Karena itulah setelah mangkat, gelar posthumous Yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji Abdullah adalah Marhum Mursyid.
Amalan dan tradisi tasawuf Tarekat Nasyabandiah Khalidiah ini tampaknya terus diamalkan di Pulau Penyengat hingga menjelang Yamtuan Muda Riau X, Raja Muhammad Yusuf yang bergelar Marhum Ahmadi (1858-1899) dibaiat masuk Tarekat Naqsyabandiah al- Ahmadiah oleh Syekh Muhammad Saleh al-Zawawi.***