BUAH-BUAHAN ajaib itu dihimpun oleh Raja Ali Haji rahimahullah (RAH, 1809-1873) dan dinamai Tsamarat al-Muhimmah. Lengkap namanya Tsamarat al-Muhimmah Dliyafat lil-Umara’ wal-Kubara’ lil- Ahli al-Mahkamat, Buah-Buahan yang Dicita-Citakan Jadi Jamuan bagi Raja-Raja dan Orang Besar-Besar yang Mempunyai Pekerjaan di dalam Tempat Berhukum. 

Buah-buahan itu ditemukan tepat pada pukul 02.00 dini hari, Selasa, 10 Syakban 1275 H. (1859 M.) seperti yang ditulis beliau pada akhir karyanya itu. Inilah matlamatnya buah berkah dari pohon rahmat itu disuguhkan. 

“Inilah akhir barang yang dikurniakan Allah Ta’ala atasku pada menzahirkan sedikit tertib kerajaan dan rahasia pekerjaan ahl al-mahkamah atas pahamku yang singkat dan atas ilmuku yang kurang. Akan tetapi, daripada sangat hajatku hendak menzahirkan atas kaum kerabatku pada tempatku ini, maka aku perbuat juga alakadar pahamku yang kurang jikalau aku bukan ahli daripada demikian itu sekalian,” (Haji, 1887). Jelaslah bahwa buah-buahan ini disajikan khas bagi para pemimpin yang menerajui pemerintahan.

Di kulit buah itu (mukadimah) terdapat tuntunan berkenaan dengan keutamaan ilmu dan akal. Tanpa keduanya, manusia laksana hewan. Ditegaskan bahwa sangat mustahak ilmu dan akal itu dituntut dan diamalkan. 

Tanpa diamalkan, sia-sia sajalah ilmu, terutama pelaksanaan kepemimpinan harus menggunakan ilmu yang benar. Bakti kepemimpinan tak boleh menyimpang dari kebenaran ilmu yang dianugerahkan oleh Tuhan. Bersamaan dengan itu, para pemimpin diharapkan jangan pernah melangkahi wahyu Allah dalam melaksanakan amanah yang dititipkan kepada mereka. 

Di isi dalamannya yang ranum (bab-bab utama) terdapat hikmah yang kian memesona. Kepala pemerintahan melaksanakan tiga fungsi bakti yang diamanahkan kepadanya. Pertama, sebagai khalifah dengan kewajiban menegakkan agama. Kedua, sebagai sultan dengan kewajiban menegakkan hukum secara adil berdasarkan pedoman Allah dan Rasulnya. Ketiga, sebagai imam yang wajib berada di posisi terdepan dalam semua siatuasi serta menjadi anutan dan ikutan rakyat di bawah pemerintahannya. 

Catatan yang terbaca seterusnya, pemimpin seyogianya memiliki derajat yang tinggi asal memenuhi syarat. Dia berjuang membela kebenaran dan memerangi kejahatan. Dia tak boleh sedikit pun terbabit dalam kejahatan dan membinasakan kebenaran. 

Jika pantangan itu dilanggar, jadilah dia pemimpin yang sewenang-wenang, berbuat sekehendak hati, mempermainkan hukum, bahkan mengaku diri sebagai bayangan Tuhan di muka bumi, tetapi menerapkan kebiasaan syaitan. Itu haram hukumnya bagi pemimpin mana pun. Akan datang juga pembalasannya di akhirat kelak jika di dunia belum dilunasinya.

Para pemimpin seyogianya berilmu, barakal budi, bermarwah, adil, berijtihad baik, tekun beramal, di samping memiliki pancaindera yang baik. Para pemimpin harus berbuat kebajikan yang terbilang: benar dan patut menurut agama, bangsa, dan negara. 

Dia wajib bertindak benar berdasarkan perspektif orang-orang yang mempunyai mata hati dan berakal budi. Jika kedapatan fasik, banyak aduan orang, zalim, khianat, belot, tak bermarwah, dan sejenisnya, pemimpin itu patutlah diragukan baktinya. Sampai ketikanya dia akan diazab, tak di dunia, pasti di akhirat.

Di kedalaman lebih jauh dari isi buahan-buahan itu tersurat pula etika membangun negeri. Lima perkara utama yang wajib diperhatikan. Pertama, pembangunan tak boleh bertentangan dengan syarak (hukum). Kedua, tak boleh mendatangkan mudarat terhadap tubuh dan jiwa manusia. Ketiga, jangan memusnahkan harta-benda rakyat. Keempat, tak boleh menyebabkan rakyat mendapat aib dan malu. Kelima, tak menjatuhkan nama pemimpin itu sendiri.

Dijumpai pula pedoman tentang pembinaan moral bagi penyelenggara negara di bagian isi yang lebih jauh ke dalam. Mereka wajib memelihara ruh (jiwa), badan (jasad), dan nama. Jiwa harus dijaga supaya tak terdedah kepada virus penyakit batin. Penyakit zahir pun memengaruhi batin. Kedua jenis penyakit itu, lebih-lebih penyakit batin, dapat menyebabkan pemimpin jadi tercela.

Penyelenggara negara harus menjaga nama baiknya. Jika ada cacat-celanya, kesemuanya itu menjadi percakapan orang setiap hari. Punca kesemuanya itu adalah sifat yang jahat, sama ada secara terang-terangan ataupun tersembunyi.  

Itulah kejahatan hati yang paling berbahaya jika melanda para pemimpin dan penyelenggara negara. “Sejahat-jahat nama kepada raja-raja dan kepada orang besar-besar itu, yakni nama zalim dan nama bodoh dan nama lalai, nama penakut,” (Haji, 1887).

Di lapisan isi terdalam buah-buahan itu terdapat catatan indah tentang tujuan bernegara yang asas, yakni mewujudkan keamanan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Kesemuanya itu dapat diraih jika perhubungan antara penyelenggara negara dan rakyat dengan Tuhan berjalan serasi, selaras, dan seimbang sesuai dengan petunjuk Tuhan. Pemimpin yang berilmu dan berakal tak pernah berani melangkahi ajaran Tuhan dalam kepemimpinannya. 

Pemimpin seyogianya terus berupaya menjaga perilaku dan moral rakyat agar tetap baik. Tentu, dengan tauladan yang baik pula dari sang pemimpin. Sebaliknya, jika pemimpin terbiasa dengan saling fitnah, dengki, khianat, hasad, lalai, serakah, menjauh dari nilai-nilai agama, rakyat mendapat contoh yang buruk dan keji. Dalam keadaan demikian, negara tinggal menanti detik-detik kebinasaan.

“Seyogianya hendaklah raja-raja dan segala orang besar-besar menjauhkan penyakit berdengki-dengki itu karena banyaklah dan zahirlah di dalam suatu negeri akan ahlinya [pemimpin dan rakyatnya, HAM] banyak berdengki-dengkian, alamat negeri itu akan binasa jua akhirnya. Apa lagi orang besarnya berdengki-dengkian makin segeralah binasanya…. Bermula raja yang adil itu bersungguh-sungguh ia pada mencarikan muslihat melepaskan daripada jalan yang membawa kepada kebinasaan ini adanya, intaha,” (Haji, 1887).

Mahadahsyat penyakit dengki. Jika mewabah, ianya dapat meruntuhkan sebuah negara yang pada mulanya dibangun untuk mencapai tujuan bersama berasaskan keadilan untuk semua. Jika para pemimpin dan penyelenggara negara terjangkit penyakit jiwa itu, mereka tak hanya mencuaikan nilai-nilai agama yang agung, tetapi juga bagai menandatangani kontrak kesediaan menerima balasan azab. Itulah hukuman yang telah dijanjikan oleh Tuhan di alam baka dan pasti datangnya. 

Jelaslah sudah kehebatan buah-buahan yang bernama Tsamarat al-Muhimmah itu. Betapa tidak ianya menjadi jamuan segar, manis, lezat, dan mujarab untuk jamuan para pemimpin dan penyelenggara negara. 

Sesiapa pun pemimpin yang berjaya mencicipi kekhasan cita rasanya, pastilah akan merasakan kenikmatan yang tiada bertara. Seyogianya, buah-buahan itulah yang menjadi dambaan pemimpin ketika dia berada di puncak mahligai pohon yang didambakan. Menariknya, jika niat dan matlamat pemimpinnya suci, buah-buahan bertuah itu pun dengan suka rela datang menyerahkan dirinya. Kalau itu terjadi, tak seorang pun sanggup melukiskan kekenyangan batinnya.

Sempurnalah jamuan yang penuh hikmah. Bukan juadah sebarang juadah. Juadah diadun permaisuri jelita. Bukan buah sebarang buah. Buah berasal dari pohon surga.*** 

Artikel SebelumEtika Berbahasa Bangsa Terala
Artikel BerikutTragedi Kerajaan Barbari
Budayawan, Peraih Anugerah Buku Negara Malaysia 2020 ,Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang pada masa jabatan 2007-2021, Anggota LAM Kepulauan Riau masa khidmat 2017-2022, Peraih Anugerah Jembia Emas tahun 2018, Ketua Umum PW MABMI Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan