DALAM Kitab Pengetahuan Bahasa (Haji, 1858) Raja Ali Haji rahimahullah (RAH) menempatkan tujuh lema (entri) utama pada bagian paling awal karya kamus ekabahasa Melayu yang masyhur itu. Ketujuh lema itu adalah Allah, al-nabi, al-ashab, al-akhbar, al-insan, al-awwali, dan al-akhirat dengan perian yang sangat jitu. Inilah ringkasan dari uraian ketujuh lema penting itu.

Pertama, Allah yaitu nama zat Tuhan Yang Mahabesar dan Mahamulia. Dialah Tuhan yang wajib adanya, mustahil tiadanya. Keberadaannya tak disebabkan oleh sesuatu. Dialah yang menjadikan alam dari tiada kepada ada. Allah memiliki sifat-sifat Yang Mahasempurna, dari-Nyalah segala makhluk dapat berwujud dari mulanya tiada.

Kedua, al-nabi yaitu Ahmad yang masyhur namanya Muhammad. Dialah Rasul Allah yang wajib diikuti dan haram atas segala makhluk mendustakan dan menyalahinya. Dengan mengikutinya, manusia akan memperoleh kesempurnaan, tetapi durhaka dan merugilah orang-orang yang menolaknya.

Ketiga, al-ashab yaitu semua sahabat Nabi Muhammad SAW. Mereka dimulai dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Sayyidina Umar ibn Al-Khatab, Sayyidina Umar ibn Affan, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, dan seterusnya. Semua sahabat itu menyertai pekerjaan dan berjuang bersama Rasulullah SAW dalam mendirikan agama Islam.

Keempat, al-akhbar yaitu segala ulama yang besar-besar yang alim lagi muhtadi, yang menyebarkan agama Islam sampai ke akhir zaman. Orang-orang yang mengikuti dan membesarkan segala ulama sama halnya dengan mengikuti dan membesarkan segala Nabi Allah dan Rasul-Nya, yang berarti juga patuh terhadap Allah SWT.

Kelima, al-insan yaitu manusia yang tiada lain makhluk yang dijadikan Allah dari tiada kepada ada. Jasadnya dijadikan dari empat anasir: api, angin, air, dan tanah. Manusia terdiri atas jasad dan ruh yang menyebabkan tubuhnya dapat hidup. Manusia menjalani takdirnya masing-masing.

Keenam, al-awwali yaitu dunia yang juga dijadikan oleh Allah dari tiada. Ada yang nampak dipandang dengan mata dan pancaindera dan ada yang halus. Segala perbuatan dan kelakuan manusia sebelum dia mati yang tak berguna bagi akhirat, juga disebut dunia walaupun bentuknya seperti perbuatan akhirat. Sebaliknya, perbuatan dan kelakuan sebelum mati yang berguna bagi akhirat, walaupun berbentuk dunia, tetaplah dinamai akhirat. 

Di antara syurah dunia yang tak berfaedah bagi akhirat seperti bermegah-megah, menumpuk harta kekayaan, takabur, dan pelbagai perbuatan tercela lainnya. Sebaliknya, berbuat adil dan menyenangkan hati rakyat, misalnya, akan jelas kebaikan dan pahalanya, sangat berfaedah bagi akhirat dan bermanfaat bagi dunia. 

Ketujuh, al-akhirat yaitu kesudahan perjalanan manusia. Bermulanya dari keluarnya ruh dari badan, masuk ke alam barzah yang zahirnya kubur, yang dapat berupa kebun dari beberapa kebun surga atau satu galian dari beberapa galian api neraka. Yang hidup di dalam surga adalah mereka yang sa’adah, mati dalam hasanul khatimah, yang diampuni Allah segala dosanya. Yang tinggal di dalam neraka adalah mereka yang syaqawah, yakni yang mati tak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Jelaslah bahwa pemerian ketujuh lema itu berdasarkan sudut pandang ajaran Islam. Mengapakah ketujuh lema itu ditampilkan pada bagian awal? Jawabnya, pengkajian bahasa, menurut penulisnya,  adalah ilmu untuk mencapai makrifat, yakni mengenali Allah dan segala kewujudannya, memperteguh keimanan dan ketakwaan, serta mempertinggi adab-pekerti dan karakter mulia. Itulah juga sandaran utama setiap ilmuwan Islam ketika mereka membahas ilmu bahasa. 

Menurut RAH, tiada beda antara manusia dan binatang, kecuali pada akal-budi dan ilmu yang makrifat. Itulah sebabnya, ilmu harus dipelajari dan diajarkan secara benar dan baik dengan menggunakan bahasa yang beradab.

Di dalam muqadimah karya bidang bahasanya yang ditulis lebih awal, yakni Bustan al-Katibin (1850), RAH menegaskan perhubungan antara kemahiran berbahasa, ilmu yang tinggi, dan adab-pekerti yang mulia.

“Bermula kehendak ilmu perkataan pada jalan berkata-kata karena adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian baharulah pada kelakuan. Bermula apabila berkehendak kepada menuturkan ilmu atau berkata-kata yang beradab dan sopan, tak dapat tiada mengetahui ilmu yang dua itu yaitu ilmu wa al-kalam (ilmu dan pertuturan). Adapun kelebihan ilmu wa al-kalam amat besar. Ini sangat zahir pada orang yang ahli nazar (peneliti, HAM).”

Itulah kedudukan bahasa bagi manusia. Ianya memungkinkan manusia mampu mencapai taraf orang yang beradab sopan, berakal-budi, berilmu yang tinggi lagi bermanfaat, dan memuaskan hati orang yang beradab ketika mendengar dan atau membacanya.

Di dalam muqadimah karya yang disebut terakhir itu juga, lebih awal dijelaskan begini.

“Kelebihan akal dan adab itu tiada sebab bangsa dan sebab asal. Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya. Buah akal itu menaikkan ikhtiar. Barang siapa jahat adabnya sia-sialah bangsanya. Apabila tiada ilmu dan akal, alamat tiadalah ia mencium bau kemuliaan dan sangatlah jinak kehinaan kepadanya. Maka tatkala itu hukumnya badan itu seperti binatang.” Itu karena akal telah keluar dari tubuh sehingga laknat Allah akan datang karena ketiadaan ilmu dan adab-pekerti.

Itulah sebabnya, sangat mustahak tertib bertutur dan berbahasa. Pasalnya, bahasa menjadi dasar pembinaan ilmu dan adab-pekerti. Setiap orang harus memahiri bahasa secara benar dan baik, terutama untuk mencapai makrifat mengenali Allah, mengagungkan-Nya, dan mensyukuri nikmat dan rahmat ilmu serta akal yang dianugerahkan-Nya. Alhasil, manusia itu menjadi makhluk yang lebih mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain. 

Kenyataan yang tak terbantahkan bahwa manusia menjadi  berbeda dari hewan, misalnya, karena memiliki bahasa. Dengan bahasanya, manusia memiliki kebudayaan sehingga terus dapat memperbaiki dan memperbaharui kehidupan sampai ke puncak tamadun yang tertinggi. Oleh sebab itu, manusia yang beriman, berilmu, dan beradab sangat menjaga tutur bahasanya. 

Menariknya, telah berlangsung berbilang abad bangsa kita sangat memperhatikan adat dan adab berbahasa. Ketentuan itu sudah menjadi kearifan lokal bagi bangsa Indonesia, khasnya, dan Melayu, umumnya, di mana pun mereka berada. 

Begitu mereka mendengar dan atau membaca ungkapan bahasa yang menyimpang dari nilai adab dan adat, kegusaran nyaris tak teredamkan. Pasalnya, seolah-olah ada nilai luhur atau terala yang hendak dilenyapkan dari Bumi Nusantara. Mereka memang tak terbiasa dalam budaya kesombongan yang meraja lela, dengan apa pun tabir sulapannya.  

Penggunaan bahasa menyiratkan nilai kebesaran Allah dengan ikutan segala konsekuensinya. Keimanan, ketakwaan, adat, adab, serta kemuliaan karakter dan budi pekerti telah sejak lama menjadi pakaian hidup bangsa ini. 

Kesemuanya itulah, pada gilirannya, yang akan dibawa mati. Dalam pada itu, harta, pangkat, jabatan, atau apa pun yang setara dengan itu adalah fana belaka dan tak jarang menjerumuskan manusia di dunia ini. Tak perlu silau dengan kefanaan sehingga mengorbankan nilai-nilai azali.*** 

Artikel SebelumPelabuhan Utama di Kepulauan Riau-Lingga Abad ke-19
Artikel BerikutBuah-Buahan yang Didambakan
Budayawan, Peraih Anugerah Buku Negara Malaysia 2020 ,Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang pada masa jabatan 2007-2021, Anggota LAM Kepulauan Riau masa khidmat 2017-2022, Peraih Anugerah Jembia Emas tahun 2018, Ketua Umum PW MABMI Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan