BAHASA Melayu dan atau bahasa Indonesia ternyata sangat diminati oleh masyarakat berbilang bangsa. Minat bangsa asing, baik Timur maupun Barat, terhadap bahasa dan budaya nusantara sebetulnya telah dimulai sejak mereka mengenal alam dan tamadun nusantara.
Keperkasaan dan kemahiran kebaharian bangsa nusantara pada masa lampau menjadi salah satu penyebab budaya kita dipelajari oleh masyarakat berbilang bangsa. Di samping itu, mereka sangat tergiur terhadap kelimpahan alam kita. Pada era sekarang, justeru, minat masyarakat antarbangsa terhadap bahasa dan budaya kita semakin menggelora.
Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia sampai setakat ini paling banyak dipelajari di banyak negara luar. Kenyataan itu sesuai dengan salah satu fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Hal itu berarti untuk mengenal bangsa Indonesia dan budayanya, orang asing terlebih dahulu harus menguasai bahasa Indonesia. Bahkan, selain bahasa nasional, bahasa-bahasa daerah di Indonesia memiliki kelompok peminat yang tak sedikit di luar negeri.
Salah satu stasiun TV swasta di Jakarta beberapa waktu lalu menampilkan liputan perkuliahan bahasa Indonesia di University of Melbourne, Australia. Gambar diambil ketika para mahasiswa sedang berdiskusi di bawah bimbingan dosennya. Terlihat jelas para mahasiswa itu sangat tekun mengikuti perkuliahan.
Sebagai perbandingan, selama saya menjadi dosen, tak kurang dari 35 tahun, belum pernah saya menjumpai mahasiswa Indonesia belajar bahasa Indonesia seserius itu. Kecuali, ketika saya mengajarkan mahasiswa Universitas Leiden, Belanda, dan mahasiswa National University of Singapore, Singapura, yang tingkat kesungguhannya hampir sama dengan mahasiswa Australia yang diliput oleh TV swasta tersebut.
Memang demikianlah adanya. Bagi penutur asli, berbahasa sendiri ibarat bernapas. Ketika orang selesa (nyaman) bernapas, napas dan proses bernapas tak pernah menjadi perhatian utama. Bilakah pernapasan itu mulai menarik perhatian manusia? Jawabnya, ketika manusia terserang semput (sulit bernapas). Kala itu barulah napas dan pernapasan mendapat perhatian yang seserius-seriusnya.
Para mahasiswa Australia tadi dibimbing oleh profesor bahasa yang berasal dari Amerika Serikat. Beliau, bahkan, bukan sarjana bahasa Indonesia, melainkan sarjana bahasa Inggris. Akan tetapi, beliau pernah mengajarkan bahasa Inggris di salah satu universitas di Indonesia. Selama di Indonesia beliau juga banyak belajar kebudayaan dan kesenian Indonesia, khasnya gamelan Cirebon, yang menarik perhatiannya.
Sebagai profesor bahasa, pengetahuan kebahasaan (linguistik) sang dosen tak perlu diragukan. Hanya dalam hal lafal (ucapan) dan intonasi bahasa Indonesianya memang menjadi masalah. Beliau belum dapat berbahasa Indonesia dengan lafal dan intonasi yang seharusnya. Bahasa Indonesia diucapkannya dengan lafal dan intonasi bahasa Inggris seperti lazimnya orang Barat berbahasa Indonesia. Walaupun begitu, kita dapat memahami bahasa Indonesia yang diucapkannya kendatipun kedengaran “aneh” dan di sana-sini cenderung lucu.
Selain mengajarkan bahasa, sang profesor juga mengajarkan kesenian Indonesia, khasnya gamelan Cirebon. Sekali lagi, para mahasiswa itu menunjukkan keseriusan yang luar biasa. Apakah yang menjadi penyebab kesemuanya itu?
Para mahasiswa Australia belajar bahasa Indonesia dengan pelbagai latar pengalaman sebelumnya. Ada di antara mereka yang memang telah belajar bahasa Indonesia sejak sekolah dasar karena di sekolahnya bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib. Ada pula yang baru belajar setelah di sekolah menengah, baik sebagai mata pelajaran pilihan maupun wajib.
Kesemuanya mengaku belum lancar berbahasa Indonesia walau telah belajar bertahun-tahun. Keadaan itu menggesa mereka untuk belajar lebih giat lagi supaya betul-betul fasih berbahasa Indonesia. Hambatan seperti itu memang lumrah dihadapi karena mereka bukan penutur asli bahasa Indonesia dan hidup di luar lingkungan Indonesia.
Hambatan yang dihadapi oleh peserta didik Indonesia yang belajar bahasa asing di dalam negeri begitu juga. Pasalnya, sehari-hari mereka berbahasa Indonesia dan atau berbahasa daerah. Pembelajar Singapura lebih cepat menguasai bahasa Inggris, misalnya, karena bahasa sehari-hari antaretnis di sana adalah bahasa Inggris Singapura (Singlish). Dengan kata lain, di Singapura bahasa Inggris menjadi bahasa kedua seperti halnya kedudukan bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia umumnya.
Yang juga menarik adalah motivasi peserta didik dan mahasiswa Australia belajar bahasa Indonesia. Di antaranya dengan motivasi integratif yaitu mereka ingin bergaul dengan orang Indonesia. Menurut mereka, masyarakat dan budaya Indonesia umumnya baik sehingga mereka hendak mengenal dan bergaul lebih rapat lagi dengan bangsa Indonesia sebagai tetangga.
Memang ada juga kekhawatiran mereka tentang pelbagai peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu. Dalam peristiwa berdarah “Bom Bali”, misalnya, pelancong Australia termasuk yang terbanyak menjadi korban.
Bagaimanapun mereka menyadari bahwa kekerasan bukan karakter asli orang Indonesia. Kesemuanya itu dipicu oleh motivasi politik dan ekonomi oleh segelintir orang, Indonesia dan asing, untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi dari keadaan Indonesia yang agak labil.
Sebagian mahasiswa asing itu belajar dengan motivasi instrumental. Mereka hendak bekerja di Indonesia suatu hari kelak. Begitulah Indonesia menjadi negara tujuan utama mereka sebagai tempat bekerja. Mereka berasal dari pelbagai spesialisasi ilmu: kedokteran, teknik, pendidikan, kelautan, pertambangan, dan lain-lain. Dengan demikian, mereka menganggap bahwa Indonesia merupakan pasar kerja yang menjanjikan, sekarang dan ke depan.
Sebagai orang asing, apatah lagi Barat, tentulah mereka akan mendapatkan gaji yang lebih besar. Bukankah aksi mogok yang dilakukan oleh pilot Garuda beberapa waktu lalu di Jakarta dipicu oleh alasan itu? Dalam hal ini, pilot Indonesia menuntut gaji yang sama dengan pilot asing. Kenyataannya di negara kita segala yang berbau asing cenderung mendapat tempat yang terhormat. Indonesia juga memang dikenal sebagai surga bagi (orang) asing.
Di Jepang pun kegilaan terhadap bahasa dan budaya Indonesia semakin menjadi-jadi. Selain bahasa, musik Indonesia, terutama musik dangdut, menjadi hiburan yang banyak dicari. Bahkan, kini telah ada musisi Jepang yang membentuk kelompok musik dangdut Indonesia dan sangat digemari di sana. Gejala serupa juga terjadi di Amerika Serikat.
Kuliner Indonesia pun menjadi primadona di Negeri Sakura. Jepang, selain dikenal sebagai bangsa yang pernah menjajah Indonesia, sekarang bagi orang Indonesia lebih menarik perhatian. Pasalnya, selain kemajuannya pada segala bidang, pemimpinnya siap mundur jika ternyata gagal memenuhi janji kampanyenya walaupun baru menjabat dalam hitungan hari. Fenomena itu nyaris tak ditemukan di Indonesia.
Begitulah apresiasi bangsa asing terhadap bahasa dan budaya kita. Di negara kita, justeru, budaya sendiri nyaris asing di kalangan peserta didik. Kalau keadaan itu terus berlanjut, bukan tak mungkin, suatu ketika nanti bangsa asinglah yang lebih menguasai dan mendapatkan manfaat lebih dari kekayaan dan keunikan budaya kita. Semoga perkara serius ini mendapat perhatian ekstra dalam program pembangunan bangsa kita.
Gejala positif tentang minat bangsa asing terhadap bahasa (dan budaya) kita seyogianya dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mengangkat kedudukan bahasa Indonesia. Dalam hal ini, bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa internasional yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lagi pula, bahasa kita termasuk lima besar dunia. Moga dipermudahkanlah urusan ini hendaknya.***