MALAM ke-27 Ramadan tepatnya hari itu. Malam Tujuh Likur setiap Ramadan memang senantiasa ditunggu. Dapat berjumpa dengannya saban tahun membuat sesiapa pun begitu bahagia berbaur haru.
Setelah berbuka puasa dan shalat magrib, Awang dan Dara, kanak-kanak berdua beradik itu, sama-sama membilang. Satu, dua, tiga, Bismillah! Keduanya menyotongkan korek api ke colok khas masing-masing yang sudah dibuatkan oleh ayah mereka sejak dua hari lalu. Begitu disotong, colok Dara memancarkan cahaya api dengan motif “Selendang Delima Melayang Manja” dan milik abangnya, Awang, bercorak “Tanjak Tuah Bersanding Keris Pusaka”.
Begitu rangkaian colok berhias itu menyala, mereka bersorak gembira. Wajah mereka merona bahagia. Ibu dan ayah saling berpandang sekejap di anjung rumah untuk kemudian ikut ketawa. Colok berhias corak Melayu menjadi ikon rumah mereka sampai dengan malam-malam Aidilfitri nanti. Rumah-rumah jiran pun dihiasi colok-cangkok bercorak istimewa sesuai dengan selera masing-masing.
Langit cemerlang, gemintang berkelip-kelip riang. Hujan pun tak hendak mengusik kebahagiaan. Cahaya colok dan cangkok penuh menghiasi malam: dari rumah ke rumah sampai sepanjang jalan, seluruh kampung. Kanak-kanak berdua beradik itu berpimpin tangan memandangi colok-colok yang menghiasi rumah mereka. Wajah mereka bercahaya, hati keduanya berbunga-bunga.
Tak lama selesai magrib, jemaah telah sampai ke rumah mereka. Acara berdoa pun dimulailah oleh imam masjid. Doa mengucapkan syukur kepada Allah karena mereka sekampung telah dapat melaksanakan rangkaian ibadah Ramadan. Bersamaan dengan itu, mereka bermohon kepada Allah agar dapat melanjutkan ibadah pada sisa Ramadan sampai ke Aidilfitri. Doa juga dimohonkan bagi para arwah yang telah mendahului dan untuk keselamatan serta kesejahteraan kampung halaman mereka.
Tak lama, hanya sekitar lima belas menit saja. Orang-orang mencicipi hidangan. Kanak-kanak mendapat hadiah juadah utama: apam beras bertabur kelapa parut (kadang-kadang kelapa dicampurkan gula pasir) atau belebat (lepat) dan bingka ubi. Mereka bersorak gembira menerima juadah khas malam tujuh likur itu.
Pak Imam mengucapkan salam seraya minta izin untuk meninggalkan rumah Pak Likur, lalu menuju rumah Pakcik Atan. Pak Likur sekeluarga tentu saja ikut serta. Memang begitulah tradisinya.
Rumah Makngah Minah, janda dengan tiga orang anak, mendapat giliran dikunjungi terakhir sebelum salat Isya dan tarwih. Kebetulan rumah perempuan shalihah itu di samping masjid. Kendati orang-orang menaruh kasihan kepadanya karena harus membesarkan anak-anaknya seorang diri, Makngah Minah tak pernah menunjukkan kesedihannya. Perempuan itu senantiasa tegar menghadapi dan menjalani kehidupan.
“Tak baik bagi perkembangan anak-anakku kalau aku bersedih,” jawab perempuan yang ketika daranya dulu menjadi bunga desa itu kepada sahabatnya, Mak Likur suatu hari dahulu. Ketika sedang sendiri, barulah terasa olehnya segala remuk-redam dan rindu-dendam. Aminah tak pernah dapat melepaskan kenangan bersama suaminya tercinta yang tenggelam di laut ketika sedang menjaring ikan, tiga tahun lalu. Mayat suaminya sampai hari ini tak ditemukan. Tiga orang menjadi korban dalam peristiwa angin ribut yang membawa naas itu.
Bakda tarwih, doa bersama dari rumah ke rumah dilanjutkan. Tentulah rombongan harus dibagi-bagi dalam kelompok. Soalnya, semua rumah seisi kampung harus mendapat giliran dalam satu malam. Tak boleh disambung malam besok. Berkat malam tujuh likur ada pada malam ini. Besok dan seterusnya berkat lain lagi, bukan berkat cahaya malam tujuh likur.
Tiba pula giliran rumah Paklong Basar. Long nampaknya agak malu menerima jemaah. Sebaliknya, istrinya, Maklong Buntat menyambut para tamu dengan ramah dan senyum khasnya yang membuat sesiapa pun sulit melupakannya. Anak-anak mereka yang berempat itu pun langsung berbaur dengan teman-teman mereka yang datang dan bermain dengan gembira.
Acara berdoa di rumah keluarga-berada di kampung itu selesailah sudah. Orang-orang akan meminta diri untuk ke rumah yang lain pula. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh tingkah Paklong Basar. Dia menangis sejadi-jadinya sambil memeluk erat Pak Imam. Semua mata tertuju kepadanya dengan pandangan hiba, termasuk anak-istrinya.
“Maafkan saya, Pak Imam. Selama ini saya kurang bergaul di kampung ini. Saya larut dalam urusan sendiri. Saya jarang berjamaah ke masjid. Nyaris lupa dengan saudara-saudara sekampung, bahkan kepada istri dan anak-anak. Saya minta maaf karena lupa diri dan berubah menjadi sombong belakangan ini.”
Paklong Basar termasuk orang yang paling berhasil secara politik dan ekonomi di kampung itu. Dia dapat membesarkan bisnisnya sehingga terkenal ke mana-mana. Karena keberhasilan itu, dia diangkat menjadi pengurus inti partainya. Dengan jabatan itu, dia semakin mudah memperbesarkan bisnisnya dan kelompoknya. Dia jadi lebih banyak bergaul dengan orang-orang luar. Nyaris tak bersinggungan lagi dengan orang-orang sekampungnya belasan tahun.
Itulah yang menyebabkan dia lupa diri, termasuk lupa kepada kawan-kawan yang menolongnya dulu. Pak Imam termasuk sahabatnya yang paling banyak membantu karir politik Long Basar. Sayangnya, Long bagai kacang lupakan kulit. Padahal, dia hanyalah pemuda dari keluarga yang sangat sederhana sebelumnya, sama dengan masyarakat di kampung itu umumnya.
“Sudahlah, Long. Lupakan saja semua yang telah berlalu. Yang penting Long mau berubah, balik ke pangkal jalan. Kami semua di kampung ini sayang kepada Long sekeluarga. Kita ini keluarga besar, harus saling membantu, saling mengingatkan. Syukurlah sekarang Long sudah sadar. Dunia ini sampai di manalah batasnya, Long,” nasihat Pak Imam kepada Paklong Basar.
Paklong Basar tak kuasa menahan deraian air mata. Dia terisak-isak. Semua yang hadir juga larut dalam isak tangis. Mereka bersyukur, Long Basar telah kembali ke fitrahnya semula. Masih menangis, Long Basar menyalami jemaah satu per satu, besar-kecil semua disalaminya.
Sudah lama perbuatan baik itu tak dilakukannya secara ikhlas, kecuali basa-basi untuk kepentingan politik dan bisnisnya. Dia pun memeluk anak-istrinya. Long Basar sungguh berasa tercerahkan pada malam bersimbah cahaya itu.
Pak Imam mengajak Long Basar ikut berkeliling ke rumah-rumah masyarakat. Ajakan itu langsung diterima Long dengan suka cita. Telah lama kebiasaan itu ditinggalkannya, kecuali dalam acara Safari Ramadan, yang juga lebih banyak berhias ungkapan basi daripada basanya yang murni.
Lampu-lampu colok di sekeliling dan di sekitar rumah keluarga Long Basar semakin terang menyala. Ditiup angin sepoi-sepoi malam itu cahayanya menjadi begitu indah. Ada desauan merdu dari elusan kayu dan bambu yang saling menyentuh membuat malam semakin cemerlang. Kanak-kanak semakin asyik bermain dengan riang gembira di ruang bebas beratapkan langit terbentang yang berhias bintang nan sungguh memesona.
Awang dan Dara berpandang-pandangan setelah mendengarkan kisah keistimewaan Malam Tujuh Likur di pengujung malam itu dari orang tua mereka. Mata mereka berkaca-kaca. Dalam hati, mereka bangga memiliki ayah dan ibu yang sangat mencintai mereka. Mereka pun sangat bahagia karena ayah dan ibu senantiasa menjaga adat-istiadat dan tradisi yang baik. Dan, mereka dididik dengan tradisi yang baik pula. Serentak, mereka memeluk ayah-bunda.
Colok dan cangkok pun meneruskan bakti, memancarkan terang sampai ke pagi. Cahayanya semakin berseri-seri.
Taqabballahu minna wa minkum. Mohon maaf zahir dan batin. Salam Aidilfitri.***