Bubur Pedas Melayu Medan Tradisi ramadhan masjid Al Mashun Medan. sumber: medcom.id

MATAHARI terbenam di ufuk barat penanda magrib telah tiba. Orang-orang yang berpuasa pun berbuka. Berbeda dengan orang lain, mu’azin hanya mencicipi minuman perbukaan sekadar saja. Beliau langsung melaksanakan tugas rutinnya. 

Azan pun bergumandang mendayu-dayu memecah senja, membahana ke angkasa raya, menyeru manusia untuk merebut kemenangan sebagai undangan dari Allah Yang Mahakuasa. Dua kemenangan besar diperoleh sekaligus. Kemenangan menunaikan ibadah puasa dan kemenangan mendirikan salat, seperti yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah pilihan-Nya.

Di rumah-rumah orang berbuka bersama keluarga. Mereka makan bersama menikmati perbukaan yang telah dipersiapkan sejak senja. Pada hari-hari lain di luar Ramadan, entah karena kesibukan masing-masing, barangkali ada di antara anggota keluarga tak sempat makan malam bersama. 

Tatkala Ramadan setiap orang senantiasa berupaya agar dapat berbuka bersama keluarga. Jika karena sesuatu hal seseorang tak dapat bersama keluarga saat berbuka, maka berkuranglah bahagia, berganti duka.

Berbuka bersama menjadi bagian dari tradisi Ramadan. Di dalam masyarakat modern berbuka bersama biasa dilakukan oleh orang-orang sekantor, seperusahaan, separtai, seperkumpulan, sesekolah, dan sebagainya. Tempat-tempat tertentu—biasanya restoran, rumah makan, aula, dan sebagainya—menjadi pilihan untuk tempat berbuka bersama. Tempat-tempat yang memiliki fasilitas untuk salat berjamaah selalu menjadi pilihan utama. Pasalnya, setelah berbuka, orang harus melaksanakan salat magrib. 

Alangkah malangnya jika acara berbuka bersama tak diiringi salat magrib berjamaah karena tempat berbuka tak memiliki fasilitasnya, misalnya. Akibatnya, puasa dikerjakan, tetapi salat magrib terpaksa ditinggalkan. Di tempat-tempat berbuka bersama yang menyediakan fasilitas salat berjamaah tak jarang juga dilangsungkan ibadah salat isya dan tarwih berjamaah. Itulah tempat yang baik untuk menjalin tali silaturahim dengan menggunakan media berbuka bersama.

Masih di dalam masyarakat modern, tradisi berbuka bersama sering juga dimanfaatkan oleh mereka yang sedang memiliki hajat besar yang harus memobilisasi masyarakat. Contohnya, Ramadan datang menjelang dilaksanakannya pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Tradisi berbuka puasa bersama biasanya dijadikan media oleh para calon untuk menyosialisasikan diri dan atau programnya kepada konstituen dan atau masyarakat pemilih. 

Tak jarang pula tradisi itu dimanfaatkan sebagai unjuk kekuatan kepada calon(-calon) lain di “seberang” yang lain. Kesemuanya sah-sah saja untuk ukuran dunia, selagi tak menyalahi akidah. Asal jangan berbuka bersama, justeru, berubah menjadi perilaku riya. Jika hal yang disebutkan terakhir itu terjadi, nilai ibadah puasa pun sekurang-kurangnya berkurang, kalau tak sampai tercemar sama sekali. Pendek kata, kesemuanya tergantung pada niat dan implementasinya pada saat kegiatan berlangsung.

Dalam acara itu, kita dapat menyaksikan fenomena yang sangat menarik. Walaupun mungkin tak dimaksudkan demikian, susunan duduk orang-orang di dalam majelis itu pun ternyata berlapis-lapis. Lapis pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya sampailah kepada lapis awam yang diukur dari jarak kepentingan dengan sang calon. 

Dapat diduga fenomena yang terjadi jika calonnya menang kelak. Orang-orang yang “menikmati kemenangan” itu sesuailah pula dengan susun-lapis duduknya. Entah calonnya menjadi anggota legislatif atau pemimpin eksekutif (kepala negara atau kepala daerah).

Itu pun jika tak terjadi “kecelakaan” di belakang hari. Misalnya, jasa pemenangannya terlupakan setelah sang calon naik ke singgasana kekuasaan. Padahal, susun-lapis itu terbentuk berdasarkan “kekuatan” yang dimiliki sang tokoh, entah karena kontribusi pemikiran taktik pemenangan yang cemerlang, sederet panjang calon pemilih yang ada di belakang dan dimanfaatkannya, taksiran ketokohannya di dalam masyarakat, dan pelbagai pertimbangan kekuatan lainnya. 

Faktanya senantiasa ada akhir bahagia. Akan tetapi, tak kurang juga akhir duka berkaitan dengan fenomena politik praktis itu. Pendeknya, tak pernah ada penyesalan di depan hari.

Terlepas dari gejala modern yang diperikan di atas, tradisi berbuka bersama yang sesungguhnya dan sebenarnya terjadi di rumah-rumah ibadah, di musalla dan masjid, misalnya. Kegiatan itu diusahakan oleh masyarakat secara mandiri, tanpa campur tangan penguasa. Berbuka bersama dilengkapi dengan menu utama yang disebut bubur berlauk

Di tempat tertentu mungkin ada nama lain seperti bubur pedas atau, bahkan, ada variasi nama lain di daerah lain. Apa pun namanya, jenis juadahnya relatif sama atau mirip. Begitu pula tujuan, proses dan teknik memasaknya, serta cara menikmatinya sama, yakni sama-sama dalam kebersamaan. 

Yang pasti, bubur berlauk itu adalah makanan khas perbukaan berupa bubur nasi atau nasi bubur. Bukan bubur sebarang bubur, melainkan bubur yang segala lauk-pauknya yang terdiri atas ikan, udang, daging, sayur-sayuran, rempah-ratus, dan rencahnya dicampur dan dimasak di dalam kawah (kuali besar) atau periuk besar. 

Aroma lada hitam atau merica begitu terasa. Tak heranlah makanan ini tergolong agak pedas. Kepedasan itu pulalah yang menjadi satu di antara sekian variasi rasa sedapnya, yang sulit dilupakan oleh sesiapa pun yang pernah menikmatinya.

Sesungguhnya, rasa sedap dan keindahan utamanya ada di sini. Masyarakat membawa bahan-bahannya dari rumah masing-masing ke masjid. Biasa juga mereka menyumbangkan sejumlah uang untuk membeli bahan-bahannya. Mereka pulalah yang memasaknya secara bersama-sama di halaman samping atau belakang masjid untuk kemudian dinikmati secara bersama-sama kala berbuka puasa. 

Tentulah ada seorang juru masak yang memimpin proses memasaknya. Namanya juga juru masak, dia seseorang memang ahli memasak dan biasanya dia adalah tukang masak untuk acara-acara besar di kampung seperti acara pesta pernikahan. 

Sesiapa pun yang datang ke masjid untuk salat magrib berjamaah boleh menikmati bubur berlauk itu walaupun dia tak ikut memasaknya. Pendek kata, bubur berlauk memang makanan khas untuk berbuka bersama dan terbuka bagi semua untuk menyantapnya bersama-sama dengan hati yang terbuka. Bahkan, juga terbuka untuk mereka yang tak berpuasa.

Tradisi berbuka bersama dengan menu utama bubur berlauk dilaksanakan untuk memperindahkan Ramadan. Suatu masa dahulu, masa-masa emas kesejahteraannya, hampir merata masyarakat di kawasan berbudaya Melayu-Islam melaksanakannya. Setakat ini, di Kepulauan Riau tradisi itu telah mulai berkurang walaupun belum punah sama sekali.  

Di satu-dua kampung tradisi itu masih berlangsung dengan semarak. Berbeda dengan daerah kita, tradisi itu masih sangat terasa di kalangan masyarakat muslim negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusslam. Di sana masjid-masjid pasti menyediakan makanan perbukaan untuk jemaah dan makanan khas lagi istimewanya tentulah bubur berlauk.

Begitulah Ramadan yang penuh berkah. Ianya menyerlahkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi manusia. Tradisi berbuka bersama, apatah lagi yang dilaksanakan di rumah-rumah ibadah, sarat akan nilai sosial-kemasyarakatan. Nilai yang dimaksudkan itu adalah kebersamaan dan bertimbang rasa (empati), yang menjelma dari nilai religius yang terpatri di hati. 

Di dalam bulan yang penuh maghfirah ini janganlah sampai terjadi yang sebaliknya. Ada orang tak dapat berpuasa. Pasalnya, hanya karena mereka tak sanggup menyediakan makanan dan juadah ketika bersahur dan berbuka. Seyogianya, Ramadan membawa berkah bagi semua umat manusia.***

Artikel SebelumSang Pengokoh Persatuan Bangsa
Artikel BerikutCahaya Malam Tujuh Likur
Budayawan, Peraih Anugerah Buku Negara Malaysia 2020 ,Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang pada masa jabatan 2007-2021, Anggota LAM Kepulauan Riau masa khidmat 2017-2022, Peraih Anugerah Jembia Emas tahun 2018, Ketua Umum PW MABMI Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan